Wednesday, August 21, 2019

Katanya Merdeka

Bagi saya, ini mungkin keteledoran pemerintah. Kita masih ingat, bagaimana era Presiden Habibie terpeleset bujuk rayu suara - suara yang memintanya melakukan referendum Timor-Timur. Bahkan ada suara yang meyakinkan, bahwa referendum-pun, hasilnya adalah Timor-Timur tak hendak lepas dan pasti memilih bersatu dalam NKRI. Namun kenyataannya jebol. Habibie terpeleset dalam pengambilan keputusan, dan para pembisik tadi kabur, berkilah, cuci tangan, dan menikmati dagangannya dengan diam - diam sambil terkekeh menertawakan nasib bangsa ini. Satu propinsi terlepas dari pangkuan NKRI.  Berubah menjadi negara tersendiri dengan nama Timor Leste. Hanya gegara bisikan tak bertuan tadi. Ini keteledoran. Indonesia bingung. Bagaimana nasib warga Timor selepas melepaskan diri dari NKRI ? Wallahualam. Kalo disebut makmur sejahtera sih sepertinya masih jauh.

Lima tahun terakhir Papua beberapa kali membara. Kadang bara kecil, kadang baranya cukup besar. Sejatinya belasan tahun lalu sudah dimulai dimana panji - panji bintang kejora sering dipublikasikan, yel - yel dan lagu - lagu heroik kedaerahan sering diperdengarkan. Terjadi gesekan di grass root. Kala itu Presiden Gus Dur berusaha kalem menanggapi hal ini. Salah satu kekalemannya adalah menyetujui perubahan nama dari Irian Jaya menjadi Papua. Plus pembentukan propinsi baru. Memang cuma ganti nama, tapi bisa jadi ini juga salah satu keteledoran. Entah kenapa, paska penggantian nama, bukannya kericuhan mereda, malah muncul beberapa kali.

Kala nama, jargon, panji sudah berhiruk-pikuk, maka kali ini memasuki fase akut. Panen banyak bermunculan narasi - narasi yang menegasikan NKRI dalam wacana pemisahan Papua. Salah satunya adalah jargon "Kami Bukan Merah Putih, Kami Bintang Kejora" yang demikian populer. Menanggapi kasus tersebut pemerintahan Jokowi mencoba hati - hati dan cenderung permisif. Apalagi media saat itu masih menyorot perkembangan Freeport yang selalu berkesan kontroversi. Tak cuma jargon, lama - lama kasus berlanjut dengan kerapnya bentrok antara aparat dengan kelompok masyarakat lokal Papua, kadangkala berbaku tembak. Bahkan belum sebulan lalu ada prajurit yang terbunuh kala terjadi baku tembak. Lagi - lagi pemerintah permisif. Ini blunder keteledoran yang bukan main mencolok. Prajurit TNI telah terbunuh. Namun, permisif. Kita bisa apa.

Okelah bisa jadi tensi permisif ini penilaian subyektif, dan lantas kita butuh perbandingan. Mari kita bandingkan. Saya sebut permisif setidaknya bila dibandingkan dengan era Orde Baru yang nampak sama sekali tidak permisif. Terlihat Orde Baru sangat struggling dalam berjibaku mempertahankan Irian Jaya, dan juga menjaga simbol - simbol NKRI dimanapun termasuk di Irian Jaya. Buktinya, setidaknya ada pasukan yang berjaga di tanah Papua. Itu pemberangkatan yang resmi diumumkan oleh pemerintah. Yang operasi senyap tentunya tidak ada yang faham. Itu bedanya. Sifat permisif pemerintah terhadap riak - riak subversif seperti yang sering muncul sekarang, sepertinya tidak pernah ada di jaman Orde Baru. Orde baru memang struggle dalam hal seperti ini. Cenderung over dosis, namun terbukti mampu mempertahankan Irian Jaya dan memadamkan gejolak yang ada.

Tak bisa dipungkiri, memang Orde Baru memiliki gen militeristik sebagai garda depan kestabilan pemerintahan. Dwi Fungsi ABRI menjadi mesin stabilitas di semua sektor. Seakan tidak peduli dengan LSM - LSM yang mengritiknya dengan berbagai alasan humanisme dan romantisme nilai universal. Gak ada romantisme. Pokok e NKRI harga mati, gak ikut NKRI ya digebug. Itu gaya Orde Baru dulu.

Bila pemerintah kali ini memang cermat dan tidak sedang disibukkan dengan hal - hal yang tidak perlu, harusnya pemerintah sekarang waspada. Meluangkan waktu untuk memikirkan hal ini. Bukan merespon alakadarnya lantas permisif dan pembiaran "entar - besok - entar - besok". Karena potensi disintegrasi bangsa itu terlihat makin menganga. Apa yang dilakukan pemerintah rasanya kurang strategis. Hanya semacam respon unyu-unyu semata. Bila ada kasus, maka ujug - ujug berusaha dipadamkan. Apa yang dilakukan adalah lebih sebagai tindakan koreksi, bukan pencegahan. Memang sih, ini terserah pilihan pemegang kekuasaan. Namun, sebaiknya jangan teledor. Jangan merespon ala unyu-unyu saja. Sekali teledor mercon renceng akan meletus-letus berturutan.

Memang potensi permasalahan disintegrasi seperti apaan sih ? Sejatinya ada beberapa wilayah yang berpotensi memisahkan menjadi negeri kecil, seperti Aceh. Alhamdulillah ternyata Aceh lebih sabar dalam menyikapi keteledoran - keteledoran ini. Aceh dengan pola hukum syariah yang tersendiri, tidak lantas melepaskan diri, walau potensi itu ada dan kadang juga meletup. Demikian juga Jogyakarta yang memiliki sistem kepemimpinan yang berbeda dengan cara daerah lain. Ndilalah-nya Jogyakarta juga masih bersabar dan bisa memandang sisi positif yang selalu ada, entah besar - entah kecil. Cool aja.

Di banyak ragam hiruk - pikuk problem kesatuan bangsa, ternyata ada hal - hal  konyol. Segala hiruk - pikuk yang mengancam integrasi bangsa kali ini, entah kenapa kambing hitamnya adalah umat Islam. Memang paling gampang menyalahkan umat Islam. Pada kasus black out PLN mati lampu, ada saja yang menyalahkan Islam. Kasus bentrok di Papua, yang disalahkan FPI dan HTI. Ini memang cara termudah, namun tidaklah tepat. Ya memang cara konyol itu kebanyakan tidaklah tepat. Tapi bisa jadi jalan termudah. Wacana "pengambilan jalan termudah" ini malah menjadi rentetan keteledoran berikutnya, jadi berkesan asal -asalan. Solusi yang sering dilontarkan hanya untuk menutup sebuah kasus tanpa memperhatikan akarnya. Mungkin pemerintah sibuk mengurus proyek - proyek infrastruktur, sibuk mendongkrak nilai rupiah, sibuk memangkas subsidi, sibuk menaikkan pajak, sibuk mengurus BUMN yang bangkrut satu persatu. Tapi, pemerintah tidak bisa teledor terus - menerus. Seyogyanya pemerintah jangan berulang - ulang melakukan blunder.

Tak lepas dari sejarah jua. Mengkambing-hitamkan sesuatu memang menjadi keniscayaan disini. Sebagai bentuk simplifikasi itu tadi, metode termudah menyelesaikan persoalan adalah mencari kambing hitam. Jaman Orde Baru segala sesuatu problem subversif punya kambing hitam, kambing naas itu namanya PKI. Ada kerusuhan sedikit saja, disebutlah dalangnya PKI. Ada kritik kecil terhadap pemerintah, dituduhlah sebagai PKI. Ada kaki kursi patah, menuduh siapa ? Yang menggelikan ternyata metode ini dicoba dijalankan lagi kali ini. Namun hasilnya "zonk" alias fatal. Ternyata metode tersebut sudah tidak implementatif. Entah kenapa nasibnya meleset melulu. Karena meleset melulu, rakyat jadi makin tidak percaya. Dalam keadaan berkuasa tanpa kepercayaan rakyat, penguasa memang mengijinkan dirinya sendiri untuk mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara. Teori Macchiavellian bilang begitu. Dan kenyataannya memang begitu. Maka, blunder keteledoran makin menggunung. Kita semua menyaksikan gunung - gunung itu. Hanya melihat sambil menunggu akibatnya. Mau mengoreksi, takut digebug. Lho kok begitu ? Lha iya, itu keteledoran paling blunder. Sekarang lagi musim yang digebung bukan perusuh, tapi yang kritis. Mau ? [] haris fauzi, Jirak Jaya - Musi Banyuasin, 21 Agt 2019 [] tukang jepret : Koh Ikhsan
 

No comments: