Thursday, January 09, 2020

Buzzer Kacung Sang Bohir


Pada akhirnya saya tergelitik juga untuk me-respon tulisan - tulisan dari para buzzer islamphobia, yang sepertinya memang dikomando secara khusus, dengan pesanan khusus, untuk menciptakan dan menyebarkan berita khusus, agar masyarakat ter-opini sesuai kemauan Sang Bohir (pemegang dana). Salah satu contohnya adalah berikut :


Lihatlah bagaimana mereka secara terus menerus meng-opini-kan 2 hal tersebut. Yang pertama adalah soal kemenangan Anies Baswedan dalam pilkada DKI mengalahkan Ahok. Kemenangan Anies mereka nilai licik, kotor, dan curang. Licik dan kotor ? Dalam pandangan saya, cara Ahok berkampanye yang menistakan ayat suci, pasti lebih licik dan kotor. Dan bila memang Anies dinilai curang, dimana buktinya ? Adakah elemen yudikatif yang men-vonis kecurangan Anies ? Saat pilkada DKI, Anies adalah oposisi, bagaimana dia bisa curang sementara perangkat pemilu ada di organisasi petahana ? Klaim masyarakat mana yang dominan memberi bukti kecurangan Anies dalam pilkada DKI ? Bahkan, menurut saya, fenomena tindak kecurangan lebih banyak mewarnai kemenangan sang petahana Jokowi dalam Pilpres 2019  lalu. Petahana tentunya banyak menguasai infrastruktur lembaga pemilihan. Wallahualam.

Item no.2, yakni ihwal 'unjuk kerja' dan 'Perbaikan Jakarta', sepertinya juga kurang pas. Karena selama 2 tahun menjabat, Anies Baswedan nampaknya sudah lebih banyak bekerja secara gemilang dibanding gubernur - gubernur sebelumnya. Dibanding Jokowi, dibanding Ahok, dibanding Djarot. Penghargaan - penghargaan yang diraih Anies jauh melebihi mereka walau bertiga digabung. Memang pencapaian Anies sebagai gubernur tidaklah terpublikasi secara proporsional, karena banyak media --entah kenapa--  enggan memberitakan keberhasilan Anies, mereka lebih suka memberitakan kegagalan Anies. Mungkin ini peran Sang Bohir ? Bisa saja.
Soal opini 'kejar jabatan', sepertinya buzzer ini terlambat respon. Beberapa tahun lalu ada yang melakukan hal tersebut, persis seperti yang dituduhkan. Kejar jabatan dari walikota menjadi gubernur, trus mengejar jabatan presiden. Bukannya begitu ?

Khusus item no.2, ada sedikit kekhawatiran Sang Bohir yang disiratkan dalam tulisan para buzzer. Yakni mereka khawatir bila Anies mencalonkan diri dalam kontestansi pilpres 2024. Entah kenapa.

Keberpihakan kepada kaum Islamphobia ternyata makin kentara pada paragraf - paragraf berikutnya. Lihatlah pada poin 1, bagaimana mereka memuja Ridwan Kamil sebagai Gubernur Jawa Barat. Padahal, pada awal tahun 2020 banjir di Jawa Barat lebih dahsyat daripada di DKI. Memang sebagian besar media --lagi - lagi lebih menyukai memberitakan kegagalan Anies. Tengoklah fakta banjir bandang hingga longsor di Bogor yang berakibat rumah terhanyut dan mobil berhumbalangan di Bekasi, dan kejadian menyeramkan lainnya pada banjir 2020. Semua terjadi di Jawa Barat. Dan hal tersebut terjadi saat sang Gubernur Kamil beserta handai taulannya sedang perayaan tahun baru-an di kawah Ijen. Di saat yang bersamaan, Gubernur Anies turun ke lapangan membereskan bencana. Beda kelas, kata netizen.

Ini mau tidak mau akan membandingkan DKI dengan Jawa Barat. Nuansa Islamphobia nampak pada poin no.2. Yakni nyinyir kepada gubernur Jawa Barat sebelumnya, Pak Aher yang menjabat selama dua periode, yangmana merupakan kader PKS. Dalam hal ini memang wajar, PKS merupakan partai yang ditakuti oleh kaum islamphobia.

Yang lucu, adalah tindakan para buzzer yang sangat tergesa - gesa dan membabi buta membela gelap mata terhadap junjungannya, menuduhkan kelakuan mereka kepada para pendukung Anies. Lihatlah bagaimana para buzzer menulis bahwa Anies memotong anggaran proyek normalisasi sungai. Padahal belakangan kita faham, bahwa pekerjaan normalisasi sungai ada di tangan kementerian PUPR, dengan pak Basuki sebagai menteri-nya. Pak Basuki adalah menteri dua periode yang loyal kepada petahana, kubu yang selalu dipuja oleh para buzzer bayaran tersebut.

Pola tulisan para buzzer itu cukup jelas, setelah menyalahkan dengan membabi-buta, kemudian mengangkat para tokoh petahana sesuai pesanan, tahap berikutnya adalah menebarkan fitnah. Lihatlah bagaimana sistematika tulisan para buzzer yang demikian runut men-fitnah para oposisi, men-fitnah umat islam, dengan tuduhan makar dan rencana mengganti bentuk dan dasar negara.

Nah, setelah cukup mereka menebar fitnah, para buzzer melakukan closing dengan sangat patronable. Yakni memberitakan hal biasa, istilah jurnalistiknya adalah "berita ringan", namun kurang --atau bahkan tidak proporsional. Dibilanglah Anies tidak turun tangan, dibilanglah orang buddha yang memberi bantuan kepada korban banjir. Okelah. Memang ada ummat Buddha yang membatu korban banjir, namun, kenapa tidak memberitakan peran FPI yang demikian masif menolong korban banjir ? Kenapa ? Jawabnya jelas. Pesanan dari Sang Bohir adalah seperti itu. FPI harus diberitakan kejelekannya, FPI harus difitnah, dan jangan memberitakan kebaikan FPI. Lho kok Sang Bohir demikian kelakuannya ? Kenapa ? jawabannya jelas : FPI adalah organisasi Islam, sementara kongsi Sang Bohir adalah kaum Islamphobia. [] Bogor, 9 Januari 2020

No comments: