Sunday, April 12, 2020
Saturday, April 11, 2020
KONTROVERSI COVID 19 : LOCKDOWN
Indonesia mengalami kontroversi berkepanjangan ihwal pejalanan 'lockdown' dalam menghadapi wabah Covid-19. Tercatat deru usulan lockdown semenjak Januari 2020. Kemudian kebutuhan akan aspek ekonomi dan keberpihakan kepada negara tertentu membuat pemerintah gagap menyikapi hal lockdown ini. Gamang mengambil keputusan. Awalnya ketika pada Desember 2019 Wuhan didera wabah, sudah seharusnya pemerintah RI mengunci akses keluar - masuk jalur internasional, terutama dari China. Namun ini hanya menjadi perbincangan di media sosial saja, tidak dilakukan apapun. Pemerintah lebih memprioritaskan hal sebaliknya, menggalakkan pariwisata untuk menangguk dollar di tengah banyaknya 'travel warning'. Presiden mengeluarkan paket wisata murah, tiket murah, hotel diskon. Saat itu, para menteri beranggapan bahwa wabah itu tidaklah ada. Bahkan di-bercanda-i dengan goyang tik-tok segala. Apa yang dilakukan para pejabat ini ternyata tidak sinkron dengan apa yang dikehendaki masyarakat umumnya. Masyarakat banyak yang ketakutan dengan wabah dari Wuhan ini, dan menghendaki agar akses dengan luar negeri ditutup. Sementara pemerintah malah mengajak wisatawan asing ber-darmawisata ke Indonesia. Tercatat penerbangan luar negeri masihlah terbuka, kapal - kapal pesiar dari mancanegara masih boleh sandar di Semarang. Bahkan hingga akhir Maret 2020 pemerintah RI masih mengucapkan selamat datang kepada pekerja - pekerja dari China, dipersilakan masuk ke Indonesia. Kondisi penuh kontroversi ini terus terjadi selama beberapa minggu. Keputusan buka tutup di gerbang bandara - bandara terkatung - katung tidak jelas. Kadang iya, kadang tidak, selebihnya terserah saja.
Beberapa minggu kemudian, di awal Maret 2020, muncullah kasus Covid-19 di Indonesia. Muncul dari kota satelit Depok, Jawa Barat. Setelah awalnya ditutup - tutupi, akhirnya diumumkan juga. Kasus pertama ini bersinggungan dengan WNA dengan origin di sebuah kafe diskotik Nah. Berawal dari kasus inilah, maka bandara Internasional di Indonesia mulai meningkatkan pengetatan dan pembatasan pendatang. Aksi pembatasan ini terlambat beberapa langkah. Karena sudah terlanjur masuk, dan seminggu setelah itu Covid-19 mulai menggila di Jakarta dan sekitarnya. Saat itu Gubernur DKI berkeras hati hendak melakukan lockdown Jakarta, namun polemik berkepanjangan dengan pemerintah pusat, tanggapan para menteri yang tak seirama, malah membuat tergagap - gagap gak jelas maunya gimana. Pada pertengahan Maret 2020, tercatat sekolah, area pariwisata dan tempat hiburan disetujui untuk ditutup untuk area DKI. Namun perkantoran, angkutan umum, dan pusat belanja masih buka. Hal ini segera diikuti oleh propinsi lain, Jawa Barat diantaranya.
Keberhasilan Gubernur DKI melobi pemerintah pusat agar melakukan penutupan keramaian diikuti oleh himbauan dari kalangan agama, akhir Maret 2020 masjid banyak tidak mengadakan ritual sholat jumat lagi. Pada akhir Maret resmi tempat-tempat ibadah tidak melakukan ibadah jamaah / massal lagi. Entah sampai kapan.
DKI terus didera jatuhnya korban. Korban dari pasien, korban dari pejuang medis, berjatuhan di DKI sebagai epicentrum wabah Covid 19. Menengok hal ini, Gubernur DKI terus berupaya dan mendesak pemerintah pusat agar segera memberi lampu hijau untuk melakukan lockdown. Fakta yang demikian mengerikan, membuat pemerintah pusat agak gamang. Mulai berpikir. Namun rupanya pemerintah masih berkutat ihwal istilah. Muncul istilah 'karantina', 'pembatasan', 'isolasi' dan hal - hal yang kurang penting malah bermunculan menjadi polemik. berputar - putartidak jelas entah menunggu wangsit apa. Kegamangan dan polemik yang tidak jelas ini membuat kontroversi lanjutan. Tak pelak Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, menyampaikan anjuran agar masyarakat Jawa Barat untuk di rumah saja. Dua detik setelah itu, Kamil mengumumkan bahwa armada angkutan umum akan ditingkatkan kembali ke jumlah semula. Masalah angkutan umum ini menjadi kontroversi yang tidak bisa dipecahkan oleh negara. Ketika jumlah armada dikurangi, masyarakat berjejal-jejal mengantri diangkut. Namun ketika armada berjumlah banyak, masyarakat mengartikan bahwa sudah boleh jalan - jalan lagi. tetap saja mereka memenuhi armada angkutan untuk pergi kemana - mana.
Awal April 2020, belum ada keputusan dari pemerintah ihwal 'lockdown' atau apapun istilahnya. Pemerintah pusat masih belum berani mengambil keputusan. Pada akhirnya kota - kota di Jawa mulai mengambil keputusan masing - masing, memberi pelajaran berharga kepada pemerintah pusat. Tercatat kota Malang, Tegal, Yogyakarta, memulai mengisolasi diri. Beberapa kampung dan desa mulai memagari jalanan. Lockdown versi masing - masing. Lockdown versi masing - masing ini berpotensi menimbulkan kericuhan. Setiap kota, setiap desa, bahkan lockdown kampung, tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan warganya. Maka lockdown semacam ini bisa - bisa malah menyengsarakan warganya. Area lockdown idealnya memiliki dan melingkupi lokasi cadangan - cadangan pemenuhan kebutuhan, sehingga warga yang di-lockdown bisa memenuhi kebutuhannya. Bisa secara pemberian bantuan pemerintah, atau bisa secara mandiri dengan ber-jual beli antar warga setempat. Untuk Indonesia, lockdown ter-aman adalah skala nasional. Artinya menutup pintu akses dari dan ke luar negeri. Tapi ini sudah terlambat. Maka yang ada adalah lockdown - lockdown yang dilakukan sporadis, dan ini sangat berpotensi ricuh bila tidak ada bantuan kebutuhan pokok dari pemerintah.
Hingga akhirnya setelah berpikir dan berkutat sekian lama, ada secercah harapan dari pemerintah pusat. Melalui Menteri Kesehatan, pemerintah pusat mengijinkan Gubernur DKI untuk menerapkan sesuatu yang bernama PSBB, Pembatasan Sosial Berskala Besar. Berlaku mulai 10 April 2020. Petugas berkeliling kota untuk menegur warga yang melanggar ketentuan PSBB. Dua hari kemudian, diikuti oleh kota satelit di wilayah Jawa Barat. Penerapan PSBB di DKI cukup serius, walau mungkin masih terlalu longgar. Tak kurang Presiden RI dan Gubernur DKI berinisiatif membagikan bantuan kepada warga DKI agar mereka tak perlu keluar rumah. Agar tak melanggar klausa PSBB. Sejumlah petugas disebar untuk memonitor kelakuan warga DKI. Yang melanggar, ditegur. Bahkan konon ada ancaman penjara.
Kontroversi lain yang berkembang di awal April 2020 adalah keinginan pemerintah melalui menteri terbaiknya menfasilitasi untuk membebaskan para narapidana dari penjara - penjara mereka. Para narapidana dengan kriteria tertentu kontan dibebaskan gratis saat itu. Maksudnya agar penjara tidak menjadi pusat penyebaran virus Covid-19. Atau bisa jadi hal ini untuk mengurangi biaya katering penjara. Who knows. Beberapa ribu narapidana berhasil dibebaskan oleh pemerintah, bertaburan di masyarakat. Beberapa diantaranya dalam dua tiga hari setelah pembebasan malah beraksi kriminal kembali menggarong orang lain. Mereka belum insyaf. Dan yang jelas, mereka butuh makan. [] haris fauzi - 11 April 2020
ilustrasi : bukan bikinan saya, lihat identitas di kanan bawah gambar.
Beberapa minggu kemudian, di awal Maret 2020, muncullah kasus Covid-19 di Indonesia. Muncul dari kota satelit Depok, Jawa Barat. Setelah awalnya ditutup - tutupi, akhirnya diumumkan juga. Kasus pertama ini bersinggungan dengan WNA dengan origin di sebuah kafe diskotik Nah. Berawal dari kasus inilah, maka bandara Internasional di Indonesia mulai meningkatkan pengetatan dan pembatasan pendatang. Aksi pembatasan ini terlambat beberapa langkah. Karena sudah terlanjur masuk, dan seminggu setelah itu Covid-19 mulai menggila di Jakarta dan sekitarnya. Saat itu Gubernur DKI berkeras hati hendak melakukan lockdown Jakarta, namun polemik berkepanjangan dengan pemerintah pusat, tanggapan para menteri yang tak seirama, malah membuat tergagap - gagap gak jelas maunya gimana. Pada pertengahan Maret 2020, tercatat sekolah, area pariwisata dan tempat hiburan disetujui untuk ditutup untuk area DKI. Namun perkantoran, angkutan umum, dan pusat belanja masih buka. Hal ini segera diikuti oleh propinsi lain, Jawa Barat diantaranya.
Keberhasilan Gubernur DKI melobi pemerintah pusat agar melakukan penutupan keramaian diikuti oleh himbauan dari kalangan agama, akhir Maret 2020 masjid banyak tidak mengadakan ritual sholat jumat lagi. Pada akhir Maret resmi tempat-tempat ibadah tidak melakukan ibadah jamaah / massal lagi. Entah sampai kapan.
DKI terus didera jatuhnya korban. Korban dari pasien, korban dari pejuang medis, berjatuhan di DKI sebagai epicentrum wabah Covid 19. Menengok hal ini, Gubernur DKI terus berupaya dan mendesak pemerintah pusat agar segera memberi lampu hijau untuk melakukan lockdown. Fakta yang demikian mengerikan, membuat pemerintah pusat agak gamang. Mulai berpikir. Namun rupanya pemerintah masih berkutat ihwal istilah. Muncul istilah 'karantina', 'pembatasan', 'isolasi' dan hal - hal yang kurang penting malah bermunculan menjadi polemik. berputar - putartidak jelas entah menunggu wangsit apa. Kegamangan dan polemik yang tidak jelas ini membuat kontroversi lanjutan. Tak pelak Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, menyampaikan anjuran agar masyarakat Jawa Barat untuk di rumah saja. Dua detik setelah itu, Kamil mengumumkan bahwa armada angkutan umum akan ditingkatkan kembali ke jumlah semula. Masalah angkutan umum ini menjadi kontroversi yang tidak bisa dipecahkan oleh negara. Ketika jumlah armada dikurangi, masyarakat berjejal-jejal mengantri diangkut. Namun ketika armada berjumlah banyak, masyarakat mengartikan bahwa sudah boleh jalan - jalan lagi. tetap saja mereka memenuhi armada angkutan untuk pergi kemana - mana.
Awal April 2020, belum ada keputusan dari pemerintah ihwal 'lockdown' atau apapun istilahnya. Pemerintah pusat masih belum berani mengambil keputusan. Pada akhirnya kota - kota di Jawa mulai mengambil keputusan masing - masing, memberi pelajaran berharga kepada pemerintah pusat. Tercatat kota Malang, Tegal, Yogyakarta, memulai mengisolasi diri. Beberapa kampung dan desa mulai memagari jalanan. Lockdown versi masing - masing. Lockdown versi masing - masing ini berpotensi menimbulkan kericuhan. Setiap kota, setiap desa, bahkan lockdown kampung, tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan warganya. Maka lockdown semacam ini bisa - bisa malah menyengsarakan warganya. Area lockdown idealnya memiliki dan melingkupi lokasi cadangan - cadangan pemenuhan kebutuhan, sehingga warga yang di-lockdown bisa memenuhi kebutuhannya. Bisa secara pemberian bantuan pemerintah, atau bisa secara mandiri dengan ber-jual beli antar warga setempat. Untuk Indonesia, lockdown ter-aman adalah skala nasional. Artinya menutup pintu akses dari dan ke luar negeri. Tapi ini sudah terlambat. Maka yang ada adalah lockdown - lockdown yang dilakukan sporadis, dan ini sangat berpotensi ricuh bila tidak ada bantuan kebutuhan pokok dari pemerintah.
Hingga akhirnya setelah berpikir dan berkutat sekian lama, ada secercah harapan dari pemerintah pusat. Melalui Menteri Kesehatan, pemerintah pusat mengijinkan Gubernur DKI untuk menerapkan sesuatu yang bernama PSBB, Pembatasan Sosial Berskala Besar. Berlaku mulai 10 April 2020. Petugas berkeliling kota untuk menegur warga yang melanggar ketentuan PSBB. Dua hari kemudian, diikuti oleh kota satelit di wilayah Jawa Barat. Penerapan PSBB di DKI cukup serius, walau mungkin masih terlalu longgar. Tak kurang Presiden RI dan Gubernur DKI berinisiatif membagikan bantuan kepada warga DKI agar mereka tak perlu keluar rumah. Agar tak melanggar klausa PSBB. Sejumlah petugas disebar untuk memonitor kelakuan warga DKI. Yang melanggar, ditegur. Bahkan konon ada ancaman penjara.
Kontroversi lain yang berkembang di awal April 2020 adalah keinginan pemerintah melalui menteri terbaiknya menfasilitasi untuk membebaskan para narapidana dari penjara - penjara mereka. Para narapidana dengan kriteria tertentu kontan dibebaskan gratis saat itu. Maksudnya agar penjara tidak menjadi pusat penyebaran virus Covid-19. Atau bisa jadi hal ini untuk mengurangi biaya katering penjara. Who knows. Beberapa ribu narapidana berhasil dibebaskan oleh pemerintah, bertaburan di masyarakat. Beberapa diantaranya dalam dua tiga hari setelah pembebasan malah beraksi kriminal kembali menggarong orang lain. Mereka belum insyaf. Dan yang jelas, mereka butuh makan. [] haris fauzi - 11 April 2020
ilustrasi : bukan bikinan saya, lihat identitas di kanan bawah gambar.
Friday, April 03, 2020
KONTROVERSI COVID 19 : SHOLAT
Pertengahan Maret 2020 menjadi hal yang penting dalam perkembangan penanganan wabah Covid 19 di Indonesia. Terutama bagi umat muslim. Setelah sebelumnya Arab Saudi menutup dua masjid besarnya, Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah, pada Maret 2020 di Indonesia muncul semacam larangan sholat berjamaah di masjid. Intinya yakni himbauan untuk tidak melakukan aktivitas orang banyak, termasuk di masjid. Dalam arti pendek ; himbauan agar sholat di rumah. Menyikapi himbauan seperti ini, maka muncul dua arus utama yang dianut oleh banyak kalangan. Arus terbanyak menyatakan bahwa masjid ditutup. Sehingga benar - benar tidak ada sholat lima waktu berjamaah di masjid, termasuk sholat jum'at juga ditiadakan. Sholat di rumah.
Arus kedua adalah beberapa masjid masih mengadakan sholat berjamaah lima waktu. Ada yang bertahan dengan kondisi semula, sebagaimana sediakala, shaf rapat, tanpa adanya kekhawatiran ihwal penularan virus. Namun ada pula masjid yang sudah berkurang jamaahnya, dan lantas mengadakan sholat jamaah dengan jarak yang cukup jauh, sekitar setengah meter, mungkin lebih, setiap makmumnya. Khusus untuk arus kedua ini, muncul kontroversi. Kontroversi pertama menyatakan bahwa sholat tersebut tidak sah. Namun tak sampai seminggu, pendapat ini direvisi. Sholat tersebut dianggap sah, dan dianggap sholat tidak berjamaah / munfarid. Kenapa tidak sah ? kenapa dianggap munfarid ? Ya karena syarat sah sholat berjamaah adalah shaf yang rapat.
Adalah anggapan bahwa adanya wabah adalah kendala dalam beribadah. Sebagaimana dalam suatu shaf sholat yang terhalang tiang masjid. Apakah rapat ? tentu saja tidak, terpisah oleh tiang. Memang ada pendapat yang menyatakan bahwa tiang masjid termasuk pemutus shaf jamaah. Namun ada juga pendapat yang menyampaikan, bila masjid sudah penuh, maka tidaklah mengapa area yang terputus tiang diisi oleh jamaah. Hal inilah yang dijadikan dasar bagi mereka yang sholat berjamaah dalam keadaan renggang. Oleh sebagian mereka yang tetap berangkat menunaikan sholat berjamaah di
masjid, walau dalam keadaan renggang akibat penerapan social distancing, setidaknya ada pahala melangkah
ke masjid dan pahala memakmurkan masjid. Sementara urusan pahala sholat
berjamaah adalah menjadi kalkulasi prerogatif Allah SWT. Wallahualam. [] haris fauzi, 3 april 2020
ilustrasi : konsultasisyariah.com
Subscribe to:
Posts (Atom)