Pembukaan tahun baru 2021 bangsa ini disibukkan dengan propaganda banyak hal. Pihak Pemerintah berusaha membuka lembaran baru, utamanya dengan menutupi handycap - handycap yang ada. Kasus - kasus utama semacam perundangan ciptakerja dan ragam korupsi diredakan semaksimal mungkin. Pergantian tahun merupakan momen yang tepat untuk melupakan kejadian buruk tahun sebelumnya. Ya. Melupakan kasus - kasus korupsi kader PDIP Harun Masiku, tersungkurnya Jiwasraya, hingga Menteri Juliari yang mengutil Bansos Pandemi. Melupakan hal - hal tersebut merupakan cara mujarab untuk meningkatkan imunitas tubuh. Maksudnya Pemerintah mungkin seperti itu. Belajar kepada kasus penyiraman air keras Novel Baswedan yang notabene sudah membuktikan hal tersebut, melupakan kasus adalah cara mustajab untuk meredakan situasi.
Yang tak kunjung mereda adalah hal - hal berkaitan dengan pandemi, karena memang menjelang libur akhir tahun, untuk mengantisipasi mobilitas warga, maka diberlakukan kembali beberapa aturan pengetatan protokol kesehatan. Mangka itu, pembahasan ihwal pandemi menjadi hot issue lagi. Apalagi lonjakan kasus yang seakan tak mampu dibendung oleh manajemen kesehatan yang ada. Warganya-pun sudah lelah dengan protokol kesehatan. Ekonomi makin anjlok, harga emas melonjak.
Bila kita membahas pandemi saat ini, yang paling mencuat adalah topik vaksinasi. Semenjak tahun lalu hal ini sudah direncanakan dan dibahas hingga makin ruwet. Ada wacana gratis, ada wacana berbayar. Hingga kini belum ada kejelasan. Memang diputuskan gratis untuk semuanya ? Atau bagaimana ? Ada pula wacana dikaitkan dengan BPJS, namun ternyata tidak terkait. Banyak kontroversinya. Hingga pada pertengahan kemarin salah satu kontroversi terjawab, yakni Presiden siaran langsung disuntik. Ini sudah clear. Presiden disuntik, siaran langsung divaksin. Disuntik apa dan disuntik berapa dalam, tentu tak perlu dibahas. Anda boleh percaya itu adalah vaksin, namun anda boleh saja tidak percaya. Silakan saja.
Setelah siaran langsung vaksinasi Presiden, bagaimana dengan 300 juta rakyat Indonesia ? Akan digilir ? Seperti apa ? Bayar atau gratis ? Bisa gratis. Kapan ? Akan digilir .... ya, rumit semacam itu. Ke-mbulet-an pemerintah mengatur vaksinasi ini membuat semuanya jadi rumit sampai ke grassroot. Ternyata banyak juga yang tidak percaya terhadap vaksinasi. Apalagi berkaitan dengan janji - janji pemerintah yang notabene banyak kesandung, maka pernyataan pemerintah ihwal vaksinasi gratis, aman, dan nyaman, ternyata banyak pula yang meragukan. Track record seperti itu. Memang bisa jadi pemerintah sekarang tidak memiliki legitimasi sebagus masa-masa sebelumnya. Belum lagi peran buzzer yang dikerahkan untuk meyakinkan warga malah membuat semakin turun legitimasinya. Banyak yang tidak percaya.
Berkaitan dengan kontroversi vaksinasi yang makin berlarut - larut ini, menurut saya lebih baik Presiden membuat keppres ihwal pelaksanaan vaksinasi. Prosedur dan tata-waktunya seperti apa, harus jelas. Kalo perlu dibikin tanggal merah. Siapa yang melaksanakan juga dijelaskan, sehingga tidak timbul pertanyaan. Yang juga penting adalah vaksin yang digunakan. Trus, vaksinasi ini berkala atau sekali seumur hidup ? Apakah menggunakan vaksin Sinovac ? ataukah Pfizer ? Ataukah bisa memilih dari merk - merk yang tersedia ? Apa saja ? Masing - masing efikasinya berapa ? Oiya, banyaknya ragam nilai efikasi yang muncul dari masing - masing vaksin ini mengingatkan saya akan beragamnya survey - survey politik. Nilainya survey politik sangat beragam dan sangat subyektif, bisa jadi ada gelagat survey pesanan. Nah, apa iya untuk parameter medis terjadi subyektivitas yang demikian beragam ? Semoga tidak. Harusnya pemerintah bisa menuangkan juga sekalian dalam keppres tadi. Memang berat, karena dibutuhkan kejujuran. Kejujuran ini jadi barang langka sekarang. Kegagalan merealisasi janji kampanye menjadi parameter utama yang tidak bisa dipungkiri lagi.
Selain karena rendahnya legitimasi terhadap pemerintah dan akibat blunder para buzzer, kontroversi vaksinasi ini juga disebabkan oleh hal normal. Maksud saya, normal saja ada --atau banyak-- yang meragukan vaksinasi. Ini sudah masuk ke ranah personal. Walau sudah banyak berita positif ihwal vaksinasi, namun secara pribadi perorangan tetap saja ada yang ragu atau enggan divaksinasi. Hal ini mirip dengan sunat. Anda tau sunat, kan ? Lihat saja, sudah seribu tahun lebih dunia medis membuat ribuan jurnal ihwal perlunya sunat (bagi pria) untuk menjaga kesehatan. Namun sampai sekarang masih saja ada pria yang tidak percaya hal tersebut sehingga dia tidak bersunat. [] haris fauzi, 15 Januari 2021. Ditulis ulang pada 17 Januari 2021.
No comments:
Post a Comment