Wednesday, March 29, 2006

[in my heart]

DI DUNIA INI BUTUH DAHSYATNYA DOA

Tadi pagi di radio saya dengar berita tentang penyerbuan gila-gilaan pasukan Amerika ke pemukiman syiah Iraq, bahkan hingga mendekati makam khalifah Ali Bin Abi Thalib.

Menghadapi ketidak-adilan seperti di atas, harusnya kita sudah memaklumi, karena kita ini hidup di dunia fana. Dimana tidak menerapkan keadilan hakiki. Keadilan hakiki ini memang masih dalam rangka diperjuangkan.
Tetapi bila memang usaha meraih keadilan itu sudah menjumpai tubir jurang, maka disinilah peran kekuatan doa.

Saya akan cerita tentang pengalaman disaat saya dianiaya seseorang yang bernama Mr.X. Begitu tertekannya saya, hingga saya harus mengadu kepada guru spiritual saya yang tak lain adalah ayah saya.
Menyimak permasalahan yang saya hadapi, ayah akhirnya menyuruh saya untuk menghindari kekerasan dan menganjurkan berdoa di setiap salat malam agar Tuhan sajalah yang membalasnya.
Ibu saya juga menambahkan, "...ajak seluruh keluargamu berdoa. Insya Allah Bapak dan Ibu-mu dalam salat malam juga mendoakan agar Gusti Allah akan membalas sesuai takaran-Nya...."

Karena apa yang harus saya kerjakan hanyalah berdoa, maka hanya itulah yang saya kerjakan. Setiap malam saya usahakan bangun untuk salat malam dan membacakan doa "Memohon Kemenangan" berikut :"....Tiada Tuhan selain Allah yang Maha Esa, memberi kemenangan kepada tentara-Nya dan memberi pertolongan kepada hamba-Nya, dan mengalahkan musuh hamba-Nya, maka tidak akan ada bahaya lagi sesudahnya....."

Perkembangan selanjutnya saya sebenarnya hampir tidak peduli, hingga suatu saat saya mendengar berita bahwa Mr.X dilanda musibah. Saya-pun masih terus menjalankan instruksi ayah saya: berdoa dan berdoa.

Hingga akhirnya saya memutuskan untuk silaturahim dengan Mr.X. Saya benar - benar kaget betapa sengsaranya keluarga Mr.X kini.

Malamnya saya mengutarakan kepada orang tua saya tentang niat saya untuk menghentikan "serangan" doa ini. Dan kira-kira dua minggu setelah itu, keluarga Mr.X mulai recovery dari musibahnya.

Saya tidak gegabah mengatakan bahwa doa saya terkabul, ini bukan urusan saya. Tapi saya mengambil hikmah bahwa doa itu memiliki kedahsyatan. Bahwa doa itu membuat saya tidak membalas dengan cara yang keji. Dan terutama, saya jadi benar-benar sadar bahwa Tuhan memang mendengarkan doa kita.[] 13 agustus 2004



BAHASA NABI

"Nabi berbicara menggunakan bahasa kaumnya...."

Asbabunnuzul (sebab-sebab turunnya) atau diutusnya seorang Nabi adalah karena "kebejatan" suatu masyarakat. Sedemikian bejatnya sehingga Tuhan memutuskan untuk mengutus manusia pilihan-Nya untuk membenahi. Utusan ini bernama "Nabi".

"Nabi" sebagai makhluk pilihan, pastilah memang sempurna, intelektualitas terpilih, tata-krama, budi pekerti, fisik-spiritual nomer wahid. Beliau diutus untuk membenahi masyarakat bejat, tidak beradab, mursal.

Dengan kondisi kesejangan peradaban yang demikian jauh, maka menjadi "cara berkomunikasi" suatu tantangan bagi Sang Nabi. Sang nabi harus berbicara mengenai etika dihadapan orang tak bermoral, harus berbicara larangan dihadapan orang biadab. Tentunya tidak gampang.
Keberhasilan seorang Nabi untuk melakukan perubahan hingga implementasinya adalah salah satunya terletak pada "cara berkomunikasi". Nabi selalu berkomunikasi dengan "bahasa" kaumnya. Sehingga lontarannya bisa didengar, dimengerti, bisa difahami, dan akhirnya dapat terealisasi.

Cara berkomunikasi tersebut sebaiknya kita tiru dan terapkan. Kita sering melihat banyak hasil penelitian kaum akademis yang ternyata tidak aplikatif. Dan kita menyadari bahwa Kaum Akademis memang memiliki kesenjangan dengan Masyarakat. Kita kadang melihat ide-ide pemimpin sering dianggap angin lalu oleh bawahannya. Kita-pun mengerti bahwa antara Pemimpin dan Bawahan memang memiliki jarak.
Semua itu bisa terjadi disebabkan oleh karena Sang Akademis dan Sang Pemimpin tidak menggunakan bahasa yang dimengerti oleh audiensnya, sehingga apa yang dilontarkan tidak mewujud. Kesenjangan itu kemungkinan besar bisa dihapuskan oleh komunikasi.[] 20 agustus 2004



KITA MEMILIH FIRAUN

Ali Syariati --filsuf & cendekiawan Iran-- pada suatu hari pernah berkunjung ke Mesir. Sebagai Pakar Sejarah, Syariati juga menyempatkan untuk mengunjungi komplek mewah makam raja kuno yang disebut piramid.
Namun apa yang dilakukan Syariati bukanlah mengagumi bangunan piramid yang megah menjulang, Syariati malahan menangis di dekat gundukan batu. Gundukan itu adalah kuburan massal dari pekerja paksa (rodi). Kaum rodi ini mati dalam nestapa kerja paksa tanpa makan-minum yang layak, nestapa ketertindasan suatu tirani. Tirani yang menindas rakyatnya untuk membangun kemewahan piramid sang Firaun.
"Kamulah saudaraku, yang gugur tertindas karena keserakahan Firaun terkutuk...", isak Syariati dikuburan tadi.

Disitu ada dua kuburan. Yang satu hanyalah seonggok timbunan batu untuk mayat-mayat pekerja rodi yang saling timbun juga. Mereka mati dalam kesengsaraan. Yang satu lagi adalah kuburan Firaun. Firaun merupakan pencerminan gaya tiran, yang bermewah - mewah dengan menginjak - injak dan menindas kaum nestapa.

Kuli rodi, Syariati, dan Firaun tersebut ketiganya sudah mati dan sudah dikubur. Tetapi sekarang dan disini --di Indonesia-- kita bisa melihat para kuli rodi dan para Firaun versi Indonesia. Mereka ada di depan mata.
Krisis ekonomi mencekik leher rakyat. Beban hidup sangat berat. Namun rakyat tetap harus membayar pajak. Di sisi lain, para anggota legislatif bermewah - mewah dan saling berlomba menangguk korupsi besar - besaran.
Bangsa ini telah memilih Firaun untuk duduk di kursi legislatif. [] 24 agustus 2004



JANJI

Pagi tadi saya mendapat e-mail dari seorang rekan penulis. Berikut petikannya :
"........saya senang dapat tulisan-tulisan Anda. Tadinya mau kasih selamat sejak dulu, tapi nggak sempat bikin saja...."

Saya begitu terkesan. Bukan hanya karena saya diberi ucapan selamat oleh seorang Penulis, ...melainkan niat dari Sang Rekan dalam menepati janjinya. Ya..! Rekan saya itu telah berjanji bahwa beliau hendak memberi saya ucapan selamat. Memang janji itu tidak terucapkan dan tidak tersampaikan ke saya, tetapi dari kata-kata diatas,"....tadinya mau kasih selamat sejak dulu...", jelaslah bahwa dia berjanji hendak memberi ucapan kepada saya. Walau akhirnya pelaksanaannya tertunda.

Hebatnya, dia berusaha memenuhi janjinya, walau janji itu sendiri belumlah sampai kepada tujuannya.
Kenapa saya bilang "hebat"..?
Coba tengoklah sekeliling. Saya sendiri rasanya sudah sulit membedakan mana yang disebut janji dan mana yang disebut debu. Begitu banyak janji-janji berseliweran di sekeliling kita. Janji kampanye, janji perbaikan taraf hidup, janji tepat waktu, janji..janji... berjuta janji..... bahkan sekolahan-pun banyak yang sekedar mengobral janji bahwa alumninya akan gampang mencari kerja.

Lebih kramat lagi, janji - janji itu sudah tersampaikan dan sudah diterima oleh obyek-nya.

Dan saya-pun berani bertaruh, hampir seluruh janji itu bualan belaka. Karena paradigma masyarakat kita sekarang terhadap kegagalan realisasi janji itu ada beberapa :
Tidak bisa terealisasi karena tidak mengukur diri / gegabah sewaktu melontarkan janji.
Bila tidak ditagih maka janji tersebut sebaiknya tidak direalisasi.
Selama masih bisa dicarikan alasan untuk tidak direalisasi, maka sebaiknya janji tersebut tidaklah perlu direalisasikan.

(mungkin Anda bisa menambahkan lebih banyak....)

Tetapi, menurut hemat saya, suatu janji bila tidak direalisasi di dunia ini maka akan dihitung sebagai hutang. Dimana penagihannya akan dilakukan mungkin oleh Penyiksa Kubur, atau bisa jadi oleh Malaikat Penjaga Neraka. Semoga saya-kita-- terhindar dari petaka ini. [] 27 agustus 2004



RUANG KOSONG

"....diantara Tuhan dan masyarakat terdapat ruang kosong. Sang Pemimpin mengisi kekosongan tersebut sebagai perantara...."

Hampir semua kisah kebangkitan suatu bangsa selalu diawali dengan terbitnya seorang pemimpin. Pemimpin ini biasanya muncul karena keterdesakan dari kedzoliman , dan bersama rakyat berjuang untuk menegakkan nilai - nilai & cahaya Tuhan.
Jadi, disini Pemimpin merupakan pejuang nilai - nilai ke-Tuhan-an (--sebagai bukti komunikasi vertikal), dan memperjuangkan suara rakyat (--menifestasi hubungan horizontal). Pemimpin adalah semacam utusan Tuhan untuk merehabilitasi suatu komunitas masyarakat yang bobrok.

Tetapi janganlah dibayangkan bahwa kriteria pemimpin seperti ini akan muncul dalam organisasi bisnis --atau politik. Di dalam organisasi bisnis, target sisi material terlalu kentara dibandingkan target spiritual, sementara target "kepentingan golongan" selalu menjadi warna dominan dalam organisasi politik. Mungkin kita agak susah menemukan tipe pemimpin seperti ini dalam lingkup organisasi bisnis atau politik.

Dalam berbangsa, kemunculan pemimpin bukanlah merupakan rutinitas. Bukan pula merupakan suatu keniscayaan yang gratis. Apabila masyarakat tersebut belum tertindas, tersadarkan, dan membutuhkan sosok generator pembangkit, maka sosok pemimpin itu belumlah mewujud, mereka masih tenggelam.
Kemunculannya merupakan suatu reaksi munculnya kesadaran untuk merdeka dari dari rasa perih penjajahan.

Jadi, apabila ada yang berharap akan muncul pemimpin dari suatu proses mekanisme yang keduniawian semata, maka bersiaplah. Bisa jadi yang muncul bukannya pemimpin. [] 30 agustus 2004



SADAR DIRI SADAR JAMAN

Repot memang bangsa kita tercinta ini. Sampai detik ini komunitas kita masih belum sadar bila sedang dihantam dan di jajah oleh bangsa asing. Kita belum sadar sepenuhnya bila sedang diserang oleh budaya - budaya asing.
Pun pula kita belum pernah sekalipun berniat untuk melestarikan budaya - budaya kita sendiri, budaya asli kita yang bernilai luhung. Kita malah memilih untuk memelihara budaya kita yang tidak luhung. Lihat saja: Korupsi, Tidak Disiplin, dan Hutang merupakan budaya asli Indonesia yang malah dipelihara secara sistematik.

Budaya asing-pun yang masuk malahan budaya yang juga kurang luhung. Gaya hedonis; materialis; seks bebas dengan mudahnya diterima oleh masyarakat kita. Inilah asyiknya jadi bangsa Indonesia. Dan disinilah, saya yakin bahwa bahsa ini belum sadar diri.

Kitapun masih belum sadar akan jaman. Semua bangsa kebanyakan telah berancang-ancang melihat ke depan. Tetapi bangsa kita ini masih asyik terngiang - ngiang dengan kisah kejayaan jaman Mojopahit, atau bahkan ceritera dewa-dewi.
Bangsa ini masih melongo menikmati ode kejayaan masa lalu tanpa bisa mengambil hikmahnya dan tanpa ambil peduli dengan segala tantangan yang ada di masa depan. Alih - alih berusaha untuk maju.
Dan saya pun berusaha untuk mengerti, bahwa saya-pun ikut berada pada suatu bangsa yang tidak sadar jaman. [] 1 september 2004

-------
(kemarin ulang tahun kemerdekaan negara malaysia, negara yang sudah menemukan kesadarannya. kemarin kakak kandung saya juga merayakan ulang tahunnya)



BIMBANG

...setan berada diantara air dan tanah...
...setan berada diantara terang dan gelap...
...setan berada diantara siang dan malam...

Tiga bait di atas, secara tertulis memang bisa saja benar. Setan memang konon kabarnya berada di tepi sungai atau di pantai, disana sering terjadi orang kesurupan atau kecebur tanpa sadar. Juga bisa jadi setan berada diantara bayang - bayang, orang sering bingung dengan halusinasi. Pun pula katanya setan dibebaskan pada saat senja antara siang dan malam.

Dari sisi lain, saya beranggapan "tiga bait tulisan di atas" menggambarkan bahwa setan itu berada di-"antara keputusan". Setan berada pada "kebimbangan". Bimbang diantara pilihan - pilihan. Entah itu pilihan hitam - putih, pilihan panas - dingin, atau pilihan - pilihan yang lainnya....

Di saat manusia bimbang, maka setan mulai beraksi. Setan akan mengarahkan pada pilihan yang mendekati neraka. Dan, bukankan akal manusia mengalami posisi paling lemah di saat "penuh kebimbangan ?". [] 3 september 2004



EGO

Saya bersandar dibangku bis deretan ke-lima dari depan. Berdiri menghadap ke belakang. Saya pasang walkman saya. Musik egois kata orang. Klik ! playernya memutar "Cool The Engine" dari The Very Best of Boston. Sore itu saya pulang kantor memang naik bis umum. Cukup nyaman karena bis AC walau harus berdiri, "..biarlah ... hanya satu jam ini...satu kaset bolak-balik....", hibur saya dalam hati.

Jarak kira-kira setengah meter di muka saya ada seorang wanita berumur mungkin tidak lebih 40 tahun. Dia bersandar juga, berdiri. Bangku dimana dia bersandar tampak duduk laki - laki, mungkin berumur 40-tahunan juga.

Bis itu tak kunjung juga berangkat, padahal jarak yang bakal ditempuh sekitar 45 km --dalam tempo kurang - lebih satu jam. Secara imajiner, saya bisa mereka apa yang ada dipikiran wanita dan lelaki itu.

"Jaman sekarang ini, tidak ada lelaki yang gentle-man.... karena tidak ada lelaki yang mempersilahkan wanita - wanita untuk duduk di bis kota. Kalao toh harus duduk, lelaki pasti ingin agar wanita memohon memelas - melas untuk dapat tempat duduk. Inilah yang saya tidak sudi melakukan hanya untuk mendapatkan bangku dalam bis ini.....", begitu mungkin pikir si Wanita.

"Jaman sekarang, wanita sudah punya gengsi yang melangit, termasuk gengsi kepada lelaki. Wanita - wanita tidak bakalan mau ngomong permisi ketersediaan tempat duduk kepada lelaki. Sebetulnya mau saja saya kasih ini bangku...tapi wanita sekarang --sekali lagi-- sok gengsi !!!-- sok nggak butuh!!!..... Dan kalau-pun diberi, mungkin ucapan terima kasihnya juga tidak tulus... bahkan mungkin diimbuhi embel - embel "kenapa ?saya nggak pa-pa kok berdiri....", atau " iya... lelaki kan nggak perlu duduk..."..dst..dst.. Nah, kenapa saya harus memikirkan dia ?", mungkin begitu pikir si Lelaki.

Bis itu akhirnya berangkat, mengangkut seluruh penumpang dan egonya masing - masing. [] 7 september 2004



MENGAPA HARUS

Sudah menjadi kezaliman yang lazim bahwa kebanyakan orang menghakimi terlalu "keras" kepada dirinya sendiri.
Terlalu banyak orang yang menyesali keputusannya sendiri,
Terlalu banyak orang yang meratapi nasibnya,
Terlalu banyak kegelisahan terhadap garis kodrat,
Ujungnya hanyalah keputus-asaan.

Sebetulnya apakah harus terjadi penyesalan ?
Mengapa harus menyesal ?

Bagi saya, menyesal merupakan 'skenario-tanpa-tindak-lanjut". Ini hasil diskusi saya dengan karib saya.

Untuk itu --walau sulit-- , sekarang saya sedang berusaha mengubah paradigma "menyesal". Saya menggantikannya dengan "mengakui".
"Mengakui kebodohan diri" saya rasa tepat jadi pengganti "menyesali diri sendiri".

Dengan mengaku "bodoh", kita bisa mengambil tindak-lanjut. Bila anda dekat dengan malaikat maka anda akan "berusaha lebih pintar". Bila anda mepet dengan setan maka anda akan menindaklanjuti dengan "berusaha membalas orang yang membodohi anda".
Lucu bukan ?

Jadi, mengapa harus menyesal ? [] 9 september 2004

--------
aduh... ada bom lagi.
kenapa masih banyak manusia yang menyukai adu kekerasan seperti hewan ?
_____



CITA-CITA

Saat itu saya sedang berkendara dari Plered hendak ke rumah kakak saya di Bekasi. Waktu menunjukkan sekitar saat dzuhur. SMS bertubi-tubi dari kakak saya mengesankan ada berita penting yang harus tersampaikan. Dalam hati saya berujar:"..oke..oke... saya lagi ngebut liliput nih..... satu jam lagi saya tiba di Bekasi...".

Sampai depan rumah kakak, ternyata kakak saya sekeluarga sudah ada diluar rumah. Istri saya yang keluar duluan langsung dipeluk istri kakak saya, sementara kakak langsung nyerobot masuk mobil saya lewat pintu kiri sambil berujar, "....Bapak sudah tidak ada...".

Saya terus terang saja kaget sampai mesin mobil belum sempat saya matikan, untung persneling sudah free.
Setelah agak tenang, saya segera konfirmasi berita tersebut. Ternyata benar, Bapak saya terkena serangan jantung dan meninggal hampir seketika itu juga. Saat itu Bapak sedang memberi khotbah melepas Calon Jemaah Haji.
Bapak biasa berkhotbah selama 20 menit, dan saat itu baru memasuki 10 menit langsung ambruk.

Peristiwa tersebut, -- wafatnya Bapak-- merupakan suatu pukulan bagi keluarga kami. Tetapi saya memiliki catatan tersendiri. Bagi saya, Beliau sudah menempuh perjalanan hidupnya hingga akhir dengan sangat elegan. Dan karenanya kisah wafatnya bisa jadi merupakan suatu kebanggaan, bangga karena Beliau konsisten terhadap cita-citanya hingga akhir hayatnya. Inilah yang saya maknai dengan "cita-cita" yang sesungguhnya.

Bapak saya tidak bercita-cita menjadi orang kaya, tidak pula bercita-cita menjadi pejabat, tidak pula mencari berderet gelar. Bapak saya memang cuma bercita-cita menjadi juru dakwah hingga akhir hayatnya; ....dan dia mengusahakannya, dan dia melaksanakannya, dan dia meraihnya hingga detik terakhir.[] 28 september 2004




AGAMA KITA HARI INI

Sekali lagi soal Ali Syariati. Syariati mengganggap bahwa ide fanatik yang paling mendasar dalam diri manusia bisa disebut dengan "agama". Untuk itu Syariati membedakannya menjadi dua, yakni "Agama" (dengan awal huruf kapital) untuk ideologi yang mutlak kebenarannya (versi Syariati sendiri tentunya...), dan "agama" (tanpa huruf kapital) untuk ideologi buatan manusia yang me-nuhan-kan sesuatu siapapun (yang jelas bukan me-nuhan-kan Tuhan itu sendiri).

--dalam hal tulisan ini saya tidak mempermasalahkan agama yang dianut Syariati itu sendiri--

Mengapa harus "ide fanatik yang paling mendasar" ?
Alasan yang dikemukakan Syariati adalah bahwa bila ada seseorang yang mengaku beragama Islam, tetapi dia lebih memprioritaskan si-fulan ketimbang Allah SWT, maka sebenarnya si-fulan itulah tuhannya, dan bukanlah Islam Agamanya. Karena Islam ber-Tuhankan Allah SWT.

Dalam agama selalu tiga unsur utama yakni adanya tuhan yang merupakan sembahan, adanya ajaran yang merupakan pedoman, dan tentunya adanya ritual peribadatan sebagai bentuk-bentuk implementasinya.

Sebetulnya pola pikir yang ditawarkan Syariati cukup gampang. Bila hari ini kita menghamba kepada uang, maka uang itulah tuhan kita. Dan agama kita adalah "pencarian uang". Bentuk ritualnya adalah habis-habisan berdaya upaya untuk mendekati, mendapatkan, dan meraup uang sebanyak-banyaknya.

Nah, apa agama kita hari ini ? [] 1 oktober 2004



KUALITAS DIRI

Banyak parameter terhadap kualitas diri, diantaranya yang sempat saya tulis disini adalah:
1. sifat dermawan
2. sabar menahan amarah
3. pemaaf
4. tobat

Sifat dermawan ini hanya kentara di saat sempit, di saat miskin. Karena bila dalam keadaan kaya, semua orang bisa dipastikan akan ringan kocek dalam berderma.
Sabar, makin sabar seseorang jelaslah makin berkualitas. Hampir semua Nabi memiliki tauladan sifat kesabaran. Apalagi bila dilengkapi dengan sifat pemaaf.
Tobat adalah penyesalan dan janji untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut. Termasuk penyesalan atas kegagalan berbuat kebajikan.

Puasa Ramadhan berfungsi meningkatkan kualitas diri. Dan (harusnya) menampakkan hasil setelah sebulan menjalaninya. Diharapkan puasa mampu memberikan poin peningkatan pada keempat sifat parameter kualitas diri tersebut.
Bila makin ringan dalam berderma dalam keadaan lapang dan sempit,
Bila makin sabar dan mampu menahan amarah,
Bila makin ikhlas memaafkan orang lain,
Dan bila makin kongkrit menyesali kesalahan,
maka,
sedikit banyak puasa Ramadhan telah meningkatkan kualitas diri orang tersebut. [] 18 oktober 2004



JALAN REALITAS

Ada dua jalan. Jalan pertama adalah me-realisasikan suatu khayalan menjadi (...paling tidak mendekati) kenyataan. Jalan kedua adalah kebalikannya, yakni mendramatisir kenyataan sehingga menjauhi kenyataan sebenarnya.

Seorang sahabat saya pernah dengan jelas mengungkapkan permisalannya. "Siaran televisi kita ini, Ris....," begitu ujarnya,"...malahan menjauhkan dari apa yang seharusnya sudah nyata, sehingga tidak masuk akal sama sekali. Orang cuma sinetron drama keluarga anak SMP saja kok didramatisir sehingga semewah-mewahnya....sekali lagi.. sampai tidak masuk akal...", keluhnya. "Ada lagi... lha wong cuma pohon gitu aja kok di tahayul-tahayulkan dan dikesankan seram dan berkekuatan ghoib. Saya bukan orang yang anti alam ghoib, tetapi semua itu sudah keterlaluan... menjauhkan dari nalar dan logika...". Rupanya skenario film --sinetron-- dan tayangan televisi kita memilih jalan kedua.

"Padahal...," tambahnya lagi,"...film - film Eropa malah berusaha serealistik-selogis mungkin memvisualisasikan peristiwa fiktif Starwars sehingga masuk di nalar...".
Ah...rupanya skenario perfilman kita masih berbalik arah dengan film-film dari Eropa.

Contoh dari dunia film itu ternyata tidak berhenti sampai disitu. Saya sempat pula berpikir dalam kehidupan nyata ini. Dalam masyarakat kita ini. Jangan - jangan kita malah memilih menjauhi realitas, mereka - reka hal - hal nyata supaya ghoib dan tidak masuk akal, supaya berkesan superstitious.

Atau mungkin memang peri hidup kita semakin jauh dan semakin jauh dari realitas dan semakin pro- tahayul?
Ini sih namanya kemunduran peradaban.[] 27 oktober 2004



KERUPUK

Ada satu pelajaran yang baik dari sekeping "kerupuk". Sejak tahun 76-an hingga awal 80-an (tepatnya saya lupa...) saya berlangganan majalah sastra anak "Kawanku". ( Sekarang majalah ini sudah menjadi majalah gaya hidup ABG, sayang sekali...). Dalam salah satu pemuatannya, ada cerpen (saya lupa tulisan siapa, namun diilustrasi oleh perupa Syahwil) yang menceriterakan "penjual kerupuk".

Singkat ceritanya begini :
Ada seorang penjual kerupuk yang sudah tua. Dia selalu menjajakan kerupuk di pagi hari keliling desa. Suatu hari Pak Tua ini sakit dan tidak bisa berjualan. Agar asap dapur tetap mengepul, maka anak lelakinya yang tegap melanjutkan berjualan kerupuk. Dengan badannya yang tegap, sang anak mampu menjelajahi lebih banyak desa ketimbang Bapaknya. Hari itu Sang Anak berjualan lebih pagi, karena lingkup jelajahnya lebih luas, pulangnya-pun lebih larut. Tetapi anehnya, setiap malam sang Anak selalu bingung, entah kenapa hasil jualannya tidak pernah bisa melebihi hasil dari Bapaknya. Padahal Sang anak merasa lebih segalanya: lebih luas menjelajahnya, lebih lama berdagangnya, bahkan suara menjajakannya-pun lebih lantang.

Di akhir kisah, sang penulis menyampaikan ending yang indah sebagai berikut:
Di puncak kegalauannya, akhirnya Sang anak memberanikan diri bertanya kepada Bapaknya:"...Pak mengapa saya beroleh hasil lebih sedikit dari Bapak ? Padahal... padahal... padahal... ".
Sang Bapak tersenyum dan menjelaskan,"...selain kamu memperjauh jelajahmu, memperkeras suaramu, apakah kamu juga mempertajam telingamu....?
Mungkin kamu bersuara lebih keras, tetapi kamu bisa jadi tidak peka mendengarkan para calon pembeli yang memanggilmu....."

Insight yang ditawarkan oleh sang Penulis adalah :".....mendengarkan pendapat orang lain merupakan hal penting dalam mencapai keberhasilan...".

Nah, saya jadi ingat "kerupuk" bila berjumpa dengan seseorang yang ngotot tanpa mau mendengarkan omongan orang lain..[] 29 oktober 2004
_________
note : Ada yang masih ingat siapakah gerangan penulis cerita tersebut ?
_________



BAGAIMANA SETAN MENUNDUKKAN MANUSIA

Dua orang itu kira-kira se-umur. Yang satu namanya Gore, dia berbadan cukup tegap, yang satu lagi namanya Abun, perawakannya tidak beda jauh dengan Gore. Gore dan Abun bermusuhan dengan sengit. Belakangan ini Gore sering -- selalu malah-- berada di pihak yang kalah. Alah mau mengalahkan, Abun memang sejatinya terlalu kuat bagi Gore. Tapi bagi Gore permusuhan ini tidak akan dihentikan gara - gara ia kalah. Gore pantang mundur, namun Gore membentur jalan buntu.

Dalam keadaan buntu, Gore --seperti juga kebanyakan manusia-- dihadang dengan persimpangan pula. Persimpangan dua pilihan : Memilih untuk menyerahkan kebuntuan kepada Tuhan, atau memilih mengadopsi keberadaan setan.
Di antara kebimbangannya, Gore ragu - ragu memilih persimpangan kedua. Tetapi tekadnya sudah bulat. Gore membutuhkan bantuan setan untuk mengalahkan Abun. Gore meminang Juru Tenung.

Berhasilkah Gore ?
Secara statistik, bantuan setan memang memberikan garansi memuaskan atas keberhasilan suatu usaha, setidaknya bila dibandingkan dengan "usaha normal". Lewat Juru Tenung dan jampi sihir, akhirnya Abun berhasil ditaklukkan oleh Gore. Hal yang selama ini seakan musykil diraih oleh Gore, sekarang sudah diraihnya. Diraih dalam hitungan kejapan mata. Abun terkapar sudah sekarang dibawah kangkangannya. Gore menyeringai puas.

Keberhasilan ini bukan hanya semata kekalahan Abun, tetapi juga memastikan Gore makin mantap untuk menyusup lebih dalam ke dunia perewangan. Gore makin mengakrabi Juru Tenung, hingga akhirnya terjadi simbiosis mutualisme diantara keduanya. Gore selalu berhasil dalam setiap upayanya karena makin intens-nya bantuan Juru Tenung, dan Gore-pun menjadi juru kampanye keberhasilan kiat - kiat sihir. Beberapa konco Gore-pun sudah termakan bualan Gore yang selalu menceritakan keberhasilan demi keberhasilannya melalui bantuan Juru Tenung.

Setan-pun tertawa puas. Satu lagi keturunan Adam berhasil dia tundukkan. [] 4 Nop 2004



kencana masa memang bakal membawamu pergi

dalam kurun masa ini aku terlarut dalam kebodohan,
teledor, walau sekedar untuk melantunkan untaian kata bermakna,
hingga tidaklah tersadar,
berada dalam bayang-bayangmu,
namun hampa.

bisa jadi engkau menunggu terlalu lama,
atau mungkin malah melontarkan tanya,
"adakah kali ini kita berjanji untuk bersua ?"

pun ketika kau menawarkan kisah turunnya mu'jizat,
pun ketika kau menawarkan indahnya kisah 1000 bulan,
aku masih sebodoh biasanya.

hingga sang kusir hendak melecutkan cemetinya,
ah... aku baru terkesiap !
karena kencana masa memang bakal membawamu pergi,
lantas berlari semakin kencang,
dan semakin kencang,
menukarkan dengan sejuta takbir,
yang terlambat membangunkan aku.

ah,
kencana masa memang bakal membawamu pergi,
dan mungkin akan mempertemukan kita lagi,
dalam masa yang lebih bermakna,
atau tidak sama sekali.

seiring jejak roda yang masih basah,
hati ini tertegun,
menyisakan secuil asa,
semoga putaran matahari mengajak kita bersua kembali.
[] akhir ramadhan 1425H



BOCORNYA RAHASIA TUHAN

Segala apa yang bakal terjadi di dunia ini tertuang dalam sebuah kitab Tuhan yang bernama "Laufulmahfudz". Dalam sidang "pleno" para malaikat, buku ini dibahas bait demi bait. Celakanya, kadangkala jin atau setan "mencuri dengar" sidang para malaikat ini. Yang lebih celaka lagi, seringkali "bocoran" sidang ini dibawa oleh setan terbang melintasi jagad angkasa, menghindari sergapan malaikat penjaga, dan kemudian disampaikan oleh setan kepada manusia - manusia yang "bertapa" dan "berdupa", sehingga manusia tersebut bisa mengetahui apa yang bakal terjadi di hari esok. Para manusia yang berlaku seperti ini biasa disebut dengan "dukun ramal".
Padahal, apa yang dibahas oleh para malaikat tadi masih berupa "Top Secret Document" milik Tuhan. Dan Tuhan tidaklah menghendaki hal ini tersampaikan ke bumi sebelum waktunya diimplementasikan.

Apa maksudnya setan membocorkan info ini kepada manusia ? Setan memberikan bocoran ini bukan tanpa imbalan. Sekali setan tetaplah keturunan iblis. Apalagi tidaklah gampang si setan melakukan pengintaian terhadap sidang malaikat ini. Malaikat penjaga juga berjejer - jejer dengan segenap senjatanya. Senjata utama malaikat penjaga ini adalah bintang - bintang. Dimana akan dilontarkan kepada para setan yang terbirit - birit melarikan hasil curiannya.

Kejadian bintang meledak di angkasa, dari segi sains adalah benturan bintang dengan benda angkasa lainnya. Tetapi dari segi spiritual adalah meledaknya bintang mengenai tubuh setan pencuri dengar tadi. Dahsyat memang tindakan para malaikat penjaga Laufulmahfudz tadi. Kabar - kabarnya, setan hanya bisa mati dengan dua cara. Yakni mati karena akhir jaman, atau mati oleh senjata para malaikat tadi.

Begitu dahsyatnya "hukuman" yang diberikan oleh kerajaan langit kepada para setan pencuri. Dan, bagi dukun ramal yang menjadi para "penadah"-nya, akan diberi hukuman yang setimpal pula di Hari Pembalasan kelak.[] 22 nopember 2004



TAKARAN

Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang.
Orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi.
Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.
....... (QS: 83;1-3)

Di Makkah Muhammad menerima wahyu tersebut, aslinya sebanyak 36 ayat. Dalam ayat tersebut, betapa diperingatkan dengan "sangat keras", bahwa perbuatan mengubah takaran merupakan perbuatan yang tercela dan akan di ganjar dengan hukuman setimpal; yakni "kecelakaan besar".

Kecurangan akan di balas dengan kecurangan. Itulah kenapa konon setan banyak berkeliaran di "pasar". Pasar merupakan suatu tempat dimana banyak terjadi transaksi dan banyak terjadi aktivitas takar - menakar. Sangat riskan kecurangan dan konflik. Bahkan di sana peredaran duit terjadi setiap saat. Setiap detik. Padahal "uang" merupakan salah satu benda yang paling didamba oleh manusia.
Ada manusia, ada uang, ada transaksi, ada penakaran, dan ada setan. Maka komplitlah sudah kerawanan di suatu tempat yang bernama "pasar". Pasar disini bisa pasar tradisional, pasar modern, pasar bursa, pasar gelap (apalagi...), ataupun pasar malam. Bahkan sempat dianjurkan untuk sesegera mungkin meninggalkan pasar apabila tidak ada keperluan.

Beberapa ujaran Muhammad juga pernah mengungkapkan bahwa menjadi manusia mulia merupakan hal terberat yang harus dicapai oleh manusia. Dimana selain "Pahlawan" (orang yang meninggal dalam peperangan membela Kebenaran), salah satu jenis manusia mulia adalah "pedagang yang jujur".
Sahabat beliau bertanya ,"...siapakah pedagang yang jujur itu ?".
"..adalah pedagang yang tidak mengurangi atau menambah takarannya...," demikian jawab Muhammad.
Mengapa demikian ? Salah satu jawabnya adalah karena masalah "takaran" memang menjadi masalah yang krusial. Bisa menjadi frase "adil" versus "zalim", dan menjadi penyulut pertikaian.

Betapa lengkap sudah peringatan yang disampaikan perihal kasus ini. Peringatan agar kita harus waspada terhadap godaan takaran, dan bagaimana kita menuju cita - cita menjadi manusia "mulia".
Dari sini kita tinggal berkaca dan menengok kondisi kita sekarang. Bagaimana kita dalam menakar, bagaimana kita dalam bertransaksi, dan seberapa lama kita berkeliaran di-"pasar".[] 25 nop 2004



SIAP GAGAL

"...bila yang engkau inginkan tidak terjadi, syukurilah yang terjadi...".--'Ali ibn Abi Thalib


Beberapa hari lalu saya sempat mengikuti rapat penyusunan rencana kerja tahun 2005. Tentunya berkaitan dengan perusahaan dimana saya mencari nafkah. Dalam rapat tersebut, sempat beberapa kali terjadi dead-lock. Salah satu musababnya adalah prediksi sengitnya kompetisi bisnis di tahun depan.
Singkat cerita, rapat tersebut akhirnya menelurkan statement, dimana menuntut kerja sangat - sangat keras untuk bisa berkompetisi di tahun 2005. Keluarnya statement tersebut disambut sumringah dan optimis para peserta rapat yang sudah kelelahan. Semua sambutan mencerminkan euphoria optimisme. Slogan - slogan yang sempat saya catat antara lain;"....kerja yang sangat keras akan menghasilkan mutiara...";"...bersatu untuk maju.."; atau "...Godbless us..", terus meluncur ditimpali tepuk tangan. Itulah slogan optimisme untuk meraih kemenangan dalam kompetisi.

Namun, sebenarnya bukan "persiapan untuk menang" saja yang harus diperhatikan. Mempertimbangkan kemungkinan untuk kalah merupakan penataan yang juga penting. Dalam pemilihan kepala negara, sering seorang calon mengungkapkan rencananya untuk memenangkan pemilihan sekaligus merencanakan bila berhasil memenangi pemilihan. Namun, ketika ternyata dia kalah, maka dia belum mengerti harus berbuat apa.

Saya tidak menganjurkan untuk menyusun rencana supaya menyerah kalah. Melainkan adanya kebutuhan sikap legowo bila ternyata gagal. "Siap untuk kalah" menjadi suatu perihal yang penting karena inilah salah satu esensi "bersyukur". Bagaimanapun juga, kalah ataupun menang merupakan suratan takdir. Apapun hasil takdir, selayaknya disyukuri dengan baik. []haris fauzi - 17 desember 2004

----------
ujaran Ali diatas saya kutip dari tulisan Bung AnwarHolid



TUHAN LEBIH MENGERTI

Hari itu saya berharap agar pekerjaan di kantor ringan - ringan saja. Pokoknya saya ingin sesimpel mungkin, lantas istirahat sebaik - baiknya karena keesokan paginya saya berencana untuk mengemudi kendaraan sejauh 600 kilometer -- mudik ke Jawa Tengah. Ini rencana skenario saya.

Bagaimanakah kenyataannya ? Walhasil malah berbalik. Hari itu cukup banyak kerjaan mendadak di kantor. Apalagi pas pulang kerja malah memakan waktu tiga jam perjalanan akibat macet. Malam harinya -- walau saya atur agar pukul 22.++ saya sudah istirahat-- malah sempat ada acara terbangun tiga kali. Pukul sekitar 23.++ saya menderita kelaparan sehingga perlu nenggak sereal di tengah malam. Pukul 03.++ dini hari anak saya ngelindur sampai saya terbangun. Dan sebelum subuh malah ada SMS masuk ke ponsel saya.
"Wah.... bencana nih ....", pikir saya.

Ngantuk ? jelas. Apalagi pagi itu saya mengemudi ke arah timur - dimana matahari memerah berada pas di depan. Pada sekitar pukul 09.++, setelah tiga jam mengemudi, rasa kantuk mulai menyerang. Walhasil saya tidak kuat lagi sehingga pada pukul 11.++ saya harus tidur di Mesjid di daerah Losari, sekitar perbatasan Jawa Barat - Jawa Tengah.
Ternyata tidur selama 15 menit tersebut sangat membantu saya menuntaskan perjalanan tersebut. Mata saya tetap bisa nyalang hingga sampai di rumah mertua, Solo, pada pukul delapan malam.

Tuhan lebih mengerti. Andai saja saya segar bugar pada pagi hingga siang, tentunya saya tidak bisa tidur di mesjid Losari tersebut. Kalau memang demikian, maka kantuk baru akan menyerang sekitar pukul 15.++ hingga berlanjut seterusnya. Pada jam - jam terakhir perjalanan, menjelang malam, di daerah Ungaran yang jalanannya naik -turun itu.

Sebaik - baik saya menyusun skenario, ternyata Tuhan malah menyusunkan skenario yang lebih baik dari yang saya perkirakan. Apa yang semula saya anggap bencana, ternyata malahan berkah. Sekali lagi, Tuhan lebih mengerti. [] 5 Januari 2005




TEMAN

"...lebih baik kehilangan mimpi daripada kehilangan teman". (Boston)

Sekitar sepuluh tahun lalu, di awal menapak kerja, saya memiliki sepeda motor yang mana lantas saya jual kepada rekan sesama alumni kampus. Kebetulan dia membutuhkan sepeda motor untuk berkendara menembus kemacetan Jakarta, sementara saya butuh numpuk duit bakal pembeli rumah. Tentunya segala dokumen berkaitan dengan motor tersebut adalah atas nama saya.
Berjalan waktu sepuluh tahun, kini saya tinggal di Bogor sementara sang teman menetap di Bekasi. Saya berkantor di Karawang, sementara Sang Teman tetap berkantor di Jakarta.

Sang Teman secara berkala meminjam KTP saya untuk kepengurusan STNK motor tersebut. Kami bersepakat janji untuk serah terima KTP tersebut.
Repot-kah saya ? Repot-kah Sang Teman ?
Tentu dong ! Hingga seorang rekan yang lain, yang kebetulan sekilas mengerti duduk perkaranya malahan pernah mengusulkan agar saya menekan si pembeli motor tersebut untuk segera melakukan proses balik nama STNK. Ya intinya supaya sudah tidak perlu repot - repot lagi ada seremonial serah - terima pinjam - meminjam KTP.

Sekilas ide balik-nama tersebut terlihat bagus. Tetapi setelah saya pikir masak - masak, akhirnya saya malah mengurungkan niat. Alasan kuat yang melatari pembatalan tersebut tak lain dan tak bukan adalah saya masih ingin bersilaturahim dengan si pembeli motor, karena dia adalah rekan satu kampus, rekan dalam banyak kepanitiaan, rekan satu camp saya dalam banyak kegiatan kemahasiswaan dulu.
Dengan adanya proses balik nama, maka bisa jadi saya akan sulit sekali bertatap muka dengan dia. Atau mungkin silaturahim akan terputus sama sekali. Karena sejauh ini silaturahim kami hanya dalam urusan KTP tersebut. Untuk itu saya memilih lebih baik sedikit repot, daripada harus kehilangan seorang teman.[] 6 januari 2005



KEBUTUHAN

Seekor burung tampak lemas karena didera dahaga, nafasnya terengah - engah. Lalu dia melihat intan di sebuah taman. Sebab teramat dahaga, burung tolol itu seperti melihat air. Karena tetap menyangka intan itu adalah air burung itu mematuk intan, yang tak mungkin membasahi batang lehernya.
Maka berkatalah sang intan: "Hai budak nafsu yang kosong ! Telah kau patuk aku dengan paruhmu. Tapi aku bukan titik air, aku tak mungkin memberikan minum...!" (Asrar I Kudhi - Dr. Mohammad Iqbal)

Coba Anda bayangkan, apa jadinya bila burung kehausan tadi tetap bersikukuh dan bernafsu menelan intan. Kerongkongan yang seharusnya dibasahi oleh air, malahan mungkin terluka oleh hasil gurat intan.

Dalam karyanya, Dr. Iqbal sejatinya berfilsafat tentang peri kehidupan manusia. Digambarkan bahwa kebanyakan manusia mengejar sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhannya. Apalagi yang diupayakan sudah tidak jelas lagi antara sisi gelap dan sisi terangnya. Manusia sering bermain di wilayah kelabu, mengambil segala resikonya, demi memuaskan hawa nafsu. Mengupayakan sesuatu yang bisa jadi bukan merupakan apa yang sebenarnya dia butuhkan.

Kadangkala manusia --kita-- diperbudak oleh hawa nafsu untuk berlari kencang mengejar hal tersebut, tersandung - bangkit lagi - terjungkal - berlari lagi mencoba meraih hal itu. Padahal bisa jadi hal tersebut malahan menjerumuskan kita.
Nah, begitulah kira - kira makna dari tulisan Dr. Iqbal. Tulisan tersebut sedikit banyak memacu saya untuk berusaha melakukan introspeksi dalam perjalanan ikhtiar mengupayakan sesuatu. Menengok sejenak, untuk sekedar memastikan apakah memang hal tersebut yang saya butuhkan dan harus saya upayakan. [] 20 Januari 2005



MISKIN NURANI

Di perjalanan tadi saya sempat tersendat - sendat. Mungkin itu hal biasa terjadi sehari - hari. Yang bikin saya terkejut adalah selang 5-6 mobil di depan saya terjadi insiden. Saya sempat lihat ada mobil minibus berhenti di tengah jalan dan ada mobil minibox dibelakangnya, mepet. Mungkin mobil box itu nyeruduk mobil minibus.
Adegan tabrakan atau sundulannya mungkin tidak terlalu asyik, soalnya nggak nampak serpihan kaca berceceran. Mungkin atraksi berikutnya malah rame. Dua orang penumpang minibus itu langsung turun dari kendaraan dan ngeluruk ke mobil box. Buka pintu paksa dari luar dan langsung hajar. Brak ! Brak ! Brak !

Terlambat saya mengetahui, ternyata mereka para penumpang mobil box adalah para tentara yang memakai baju preman, karena salah satunya begitu sibuk memukul - mukulkan gagang pistol ke kepala pengemudi mobil box.
Macet jelas pasti, karena mereka tidak menyelesaikan perkara mereka dengan baik - baik. Terutama para tentara tadi. Mungkin para tentara tadi sudah tidak memiliki cukup kapasitas di otaknya untuk menyelesaikan persoalan tersebut baik - baik, bahkan untuk menepikan mobil-pun sudah tidak terpikir. Mungkin nurani mereka sudah tertinggal entah dimana. Saya-pun lantas meninggalkan begitu saja kejadian tersebut, disamping karena saya sedang memburu waktu, juga karena saya tidak memiliki nurani dan nyali yang cukup untuk membantu mereka memecahkan problem tersebut.

Saya jadi teringat peristiwa beberapa tahun lalu. Tanpa saya mengerti, sepeda motor di tengah jalan di depan saya kontan berhenti begitu saja berhenti tanpa menepi. Pengendaranya turun dan mengacung -acungkan ketupat bangkahulu-nya ke pengendara motor di depannya. Pengendara tersebut berhenti, karena takut. Dimana lantas dihampiri oleh pengacung tinju tadi. Dan berikutnya tinju tersebut mendarat bertubi - tubi di tubuh pengendara motor yang di depan tadi. Dalam pikiran saya, inilahpertunjukan "tukang ojek dihajar oleh tentara". Tentara tersebut terlihat begitu gagah perkasa menghajar si tukang ojek. Sementara saya hampir saja melindas motor tentara yang terparkir seenaknya di tengah jalan.

Sebegitu parahkah nurani seorang tentara ? Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. [] 28 Januari 2005



DAN GEMBEL ITU ....

05.46.
Pagi ini saya berjalan meniti trotoar yang masih sepi. Di sana - sini kelihatan jejak hujan semalam. Di sisi pagar pertokoan tampak ada bangku dan meja, dimana menumpuk nasi bungkus dan sekeranjang lauk-pauk. Memang, meja tersebut adalah bedak nasi uduk. Walau dagangan sudah siap tertata tetapi Sang Penjual belum "stand-by" di bedaknya, entah sedang mempersiapkan apa.

Dekat situ berdiri seorang gembel --kurus, kumuh, compang-camping--. Saya menduga dia lapar, dan hendak nekad mencomot salah satu bungkusan nasi uduk.
Saya sengaja memperlambat langkah menanti episode berikutnya. Sementara sekitar situ masih saja sepi. Hanya ada seorang gembel yang matanya terpaku ke gundukan nasi bungkus.
"Ternyata dia hanya menatap dan menatap. Dia tidak punya nyali untuk mencomot...", pikir saya.

Selang beberapa saat, muncullah Si Penjual nasi uduk. Si Gembel masih terpaku disitu.
Saya masih cukup penasaran untuk menanti reaksi berikutnya. Saya menduga (lagi), bisa jadi Gembel akan di usir oleh Penjual. Atau akan diberi uluran sebungkus nasi uduk.

Mereka berdua berdialog, saya tidak mendengar apa yang mereka percakapkan. Lewat percakapan singkat, akhirnya Gembel itu mulai menggerakkan tangannya, dan lantas mengeluarkan ....receh - recehnya !!!.
Diluar dugaan, ternyata sang Gembel itu hendak membeli sebungkus nasi. Dengan kondisi serba kekurangan dan situasi yang memungkinkan untuk nyolong, ternyata Sang Gembel tidak ingin nekad nyolong, tidak pula ingin meminta. Dia berkehendak untuk membeli sebungkus nasi uduk. Dia membayar.
Saya sedikit banyak terkejut juga, dan sempat berpikir andai dia menjadi pejabat di negeri koruptor ini.[] 17 Februari 2005



MACET

Semalam macet dimana - mana. Perempatan harus dibuat ferboden belok kanan. Semua harus mengikuti alur belok kiri. Entah mengapa, antrian pompa bensin begitu membludak. Mobil berceceran hingga jalanan. Mungkin perlu waktu satu hingga dua jam untuk bisa mengisi bahan bakar. Polisi tampak baru berdatangan, hendak mengatur jalanan yang padat itu.
Kabarnya memang per-esok hari bahan bakar bensin bakalan naik 600 perak per-liter.

Saya ikut terjebak di jalanan kota Bogor. Biasanya dalam setengah jam saya sudah tiba di rumah.
Dalam keadaan merambat, iseng-iseng saya mencoba menghitung keuntungan yang di dapat bila saya ikut mengantri untuk beli bensin. Tangki mobil saya muat sekitar 40 - 50 liter. Berarti dengan ikut mengantri malam ini, saya bisa mendapatkan harga lebih murah total sekitar 30ribu rupiah.
Lebih murah tigapuluh ribu ?
Antri satu jam ?

Ah,
Untuk menunggu polisi merapikan lalu-lintas, saya membelokkan mobil saya ke toko musik terdekat. CD album terbaru Imanissimo ternyata belum tersedia, jadinya saya membeli dua VCD seri tuntunan Rukun Islam terbitan Mizan seharga 50ribu. Saya tersenyum puas karena anak saya mengoleksi seri tersebut.
Dikala orang berusaha antri selama satu jam untuk berhemat tiga puluh ribu, saya malah melenggang 50ribu untuk mengusir kejenuhan.
Balik ke mobil, saya memutar RUSH memulai lagu "Spirit Of The Radio",
".....begin the day with a friendly voice...."
Alhamdulillah.....[] 1 maret 2005



JANJIAN

Banyak kalangan --hampir semua orang-- menganggap begitu pentingnya masalah 'janjian'. Janjian asalnya dari bahasa daerah, yakni kesepakatan untuk memenuhi sebuah keputusan bersama, misalnya janjian ketemu di alun - alun jam enam pagi. Salah posisi, atau meleset dari estimasi waktu yang sudah ditetapkan, bisa mengakibatkan kepercayaan menurun. Apalagi mengingkari dengan sengaja.

Ya. Janjian memang lebih menekankan kepada perihal "kesepakatan untuk bertemu".
'Janjian" menjadi begitu penting, karena melibatkan lebih dari satu pihak, mengandung suatu usaha yang harus diupayakan. Serta yang terpenting mengandung pengharapan dari masing - masing pihak.
Wajarlah bila timbul kekecewaan pada diri seseorang bila ada janjian yang telah disepakati tetapi tidak terlaksana. Tidak jadi berjumpa.

Kekecewaan ini makin dirasa sebagai setengah penghinaan ketika janjian itu terjadi antara dua pihak yang berbeda kedudukan. Seorang atasan jelas akan kecewa bila anak buahnya mengingkari janjian dengannya.
Seorang Guru akan kecewa berat bila anak didiknya mengingkari janjian dengannya. Seorang kakak akan memarahi adiknya bila adiknya terlambat memenuhi janjian dengannya.
Atas alasan ini jugalah, Gusti Allah menghukum dosa besar kepada para ummat Muhammad yang tidak melaksanakan sholat wajib lima waktu. Karena sholat merupakan janjian antara makhluk dengan pencipta-nya. Sang Pencipta sudah menyisihkan waktu untuk menjumpai makhluknya, namun si makhluk ini dengan sengaja dan tanpa uzur mengingkarinya, atau malah asyik dengan hal yang lain.[] 15 maret 2005



BAPAK

Saya memang harus mempertahankan posisi persneling mobil saya tetap di gigi satu, karena saya memang sedang tertarik dengan satu hal dipinggir jalan. Saat itu menjelang waktu isya, sekitar pukul tujuh malam.
Tampak disitu seorang lelaki berumur sekitar 50 tahun sedang menarik sebuah gerobak, gerobak barang bekas dimana dimuati banyak benda - benda --mungkin hasil mengais jalanan seharian. Ada gelas bekas air mineral, kursi plastik yang sudah ambruk, dan lainnya.

Tampak bocah keriting berumur enam tahunan, berlarian mengelilingi gerobak, sesekali ikut membantu dorong, namun sesekali juga malah bergelayutan menambah beban Sang Bapak yang sedang menarik gerobak tersebut. Saya buka jendela mobil saya begitu mobil mengiringi di tepi mereka.

'Pak... mau naik....', kata Bocah ke Bapaknya dengan nada riang.
Sang Bapak-pun menghentikan gerobaknya, memberi kesempatan Si Anak untuk memanjat gerobak dan duduk di atas tumpukan rongsokan. Si Anak ketawa - tawa riang diatas singgasananya, dan Sang Bapak-pun juga tersenyum ditengah gurat kepenatannya. Senyum penuh makna. Senyum karena telah menyenangkan anaknya, juga mungkin tersenyum karena hasil seharian ini akan membuat anggota keluarga yang menunggu di rumahnya bahagia.

Sang Bapak tersebut tersenyum ketika anggota keluarganya tersenyum. Sang Bapak tersebut bahagia bila seluruh keluarganya bahagia. Karena dia sadar, salah satu tugas seorang bapak adalah membahagiakan seluruh anggota keluarganya. Membuat mereka tersenyum. [] 8 april 2005





LEBIH BANYAK

Namanya Mang Gandi, kami sekeluarga memanggil dia begitu. Dia tinggal di kampung tetangga, profesinya tukang bangunan. Sering nongkrong di pos satpam atau berkeliaran di jalanan kampung saya. Cukup lihai mengatasi atap bocor atau tegel pecah, ganti kusen, dan pekerjaan sebangsa itu.
Sebulan lebih Mang Gandi memperbaiki rumah saya yang sudah mulai reyot dilahap rayap. Saya jadi sering bercakap - cakap dengan dia. Suatu hari, --selepas rembug masalah atap bocor,-- saya ngobrol perihal penyakit dengan dia. Penyakit apalagi bila bukan 'batuk', penyakit yang mendera banyak orang di masa pancaroba.

'Sudah seminggu ini saya batuk,... anak sulung saya juga.....', saya membuka pembicaraan.
'Anak saya juga pak..wah.. kalau batuk nggak putus. Ya sama, kejadiannya kira - kira seminggu lalu', timpal Mang Gandi.
'Ah...obat dan dokter sekarang mahal. Tiga hari lalu anak saya berobat ke dokter, saya sendiri minum jeruk-kecap sama air madu', papar saya perihal pengobatannya.

Saya pribadi berusaha menjauhi obat-obatan, karena tidak demen dan juga mahal harganya. Tetapi cukup kasihan kalau anak yang sakit dan tidak cepat diobati. Memang obat batuk dari dokter relatif lebih cepat menyembuhkan ketimbang minum jeruk-kecap. Terbukti anak saya lebih dahulu sembuh daripada saya.

'Anak saya kemarin mulai membaik... mungkin sebentar lagi juga sembuh...', lanjut saya.
'Anak saya juga sudah sembuh Pak.... batuknya dua hari...', jawab Mang Gandi.

Wah, surprise. Konon penyakit influenza dan sebangsa batuk di era modern ini mulai bandel dan sulit disembuhkan. Paling tidak butuh waktu cukup lama untuk sembuh, atau musti dihajar pake obat dosis tinggi, begitu urai dokter anak saya. Saya memilih obat dosis rendah untuk anak saya. Makan waktu lama biarin.
Tapi anak-nya Gandi cuma dua hari diobati langsung cespleng. Hebat bukan ?

'Dibawa ke dokter mana, Mang?', selidik saya
'Wah...dokter mahal, Pak.... anak saya sih cuma saya suruh minum air kencing satu sendok setiap subuh', jawab Gandi santai.
Entah bohong, entah tidak.

'Ini pengobatan cara mana lagi ?', pikir saya. Tibet-kah ? Mesir-kah ?... entah-lah....

Saya pikir, saya sudah cukup bangga punya dua solusi untuk 'urusan batuk' di rumah saya, yakni dokter dan jeruk-kecap. Ternyata masih ada solusi lagi, yang bahkan lebih manjur. Walau saya belum tentu mau menggunakan solusi gila tersebut.
Dari kasus ini, saya mengambil satu hikmah; 'Sebanyak - banyaknya problem, ternyata solusinya jauh lebih banyak. Karena satu problem memiliki lebih dari satu cara untuk menyelesaikannya'. [] 8 april 2005



KARUNIA ITU BERNAMA
'SIFAT TIDAK PERNAH PUAS'

Kata orang gaji berapa-pun tidak akan pernah cukup. Semewah apa-pun fasilitas yang didapat, orang akan mencari sesuatu yang lebih lagi. The world class is not enough.
Pernah ada cerita yang ditulis oleh Leo Tolstoy (tolong dikoreksi) tentang seseorang yang mengikuti semacam perlombaan yang diadakan oleh seorang kepala suku. Perlombaan itu adalah siapapun akan mendapat tanah seluas - luasnya, asalkan dia bisa mengelilingi luasan tanah tersebut hingga tiba dilokasi dia berangkat. Waktu yang diberikan adalah dari pagi hingga berbatas senja. Bila senja tiba namun dia belum kembali ke titik awal berangkat, maka dia tidak mendapatkan apapun. Sebaliknya, bila sebelum senja dia sudah tiba di titik awal, maka sekeliling tanah itu jadi miliknya.

Ada seseorang yang berlari sedemikian cepatnya, hingga menempuh jarah terjauh. Dia-pun tiba di titik awal bertepatan dengan turunnya tirai senja. Dia mendapatkan luas tanah yang tak terkira. Namun, nasib menentukan lain. Orang itu mati karena kepayahan. Dan dia akhirnya dikuburkan di ujung tanah miliknya itu. Tanah seluas beberapa desa itu ternyata hanya dipakai seluas dua meter persegi sebagai kubur dan lahatnya.

Menurut hemat saya, kebutuhan manusia itu ada dua kelompok: Materi dan Rohani. Biasanya, sifat 'tidak puas' ini diforsir untuk mengejar kebutuhan materi. Hal ini tidak lain karena peri hidup modern menuntut demikian. 'Sekular dan Materialistis,' kata orang. Dari keadaan inilah, maka beberapa orang arif akan menganggap bahwa 'sifat tidak puas' manusia adalah sifat negatif. Ya karena hal inilah maka manusia mengejar dan mengejar materi semata. Alhasil sifat ' tidak puas' menjadi pemicu keburukan. Bahkan dianggap sebagai 'sifat setan yang serakah'.

Dari sisi lain, apabila kita melihat bahwa kebutuhan akan rohani juga harus dipenuhi, bisa jadi kita akan berpikiran yang lebih sehat. Sebagai contoh kecil : alangkah hampanya bila kita dalam mengejar - ngejar pahala bakal berhenti karena dibatasi sifat 'puas'. Untuk hal ini, sifat 'tidak pernah puas' akan menjadi pemicu manusia agar meraup sebanyak-banyaknya pahala.
Demikian juga dalam hal belajar, alangkah membosankannya dunia ini bila kita telah cukup puas mempunyai ilmu yang telah ada di otak kita tanpa mencari dan mencari lagi.
Ini barulah contoh kecil.
Jadi jangan salahkan Tuhan apabila manusia dikaruniai 'sifat tidak pernah puas'. Karena sifat tersebut bila disetir dengan benar, maka akan sangat produktif. Tuhan memang serius dalam memberikan karunia-Nya.[] 8 juni 2005



PAK SAHAR

Ada seorang gelandangan. Dia sering lalu di depan rumah saya --biasanya waktu ashar. Saat itu umur saya belumlah sepuluh tahun. Jam segitu biasanya saya dan teman - teman lagi asyik bermain di pekarangan dan sering berhamburan lari masuk begitu melihat dia muncul di ujung jalan. Padahal biasanya dia lewat begitu saja tanpa mengganggu kami. Tapi tetap saja kami ketakutan.
Atau kadangkala dia minta duit dengan mengulurkan tangan di dekat pagar beluntas. Kami takut - takut menyambut dengan uluran receh seadanya.

Suatu hari, kami bersaudara sedang bermain di dalam garasi. Pintunya terbuka sebelah. Tanpa dinyana, Sang Gelandangan itu menyeruak masuk tanpa permisi. Kontan kami ketakutan. Berhamburan masuk menelantarkan mainan begitu saja, adik perempuan saya berteriak histeris. Bapak saya kaget dan menyongsong kami, mungkin dikira ada petaka.
Begitu tau bahwa ada gelandangan masuk, kontan Bapak saya nggak jadi panik. Dia malahan tersenyum, menyuruh gelandangan itu berhenti dekat pintu dapur. "..... Stop disitu. Nanti anak - anak pada takut...". Dan gelandangan itu berhenti berjalan, namun tidak berbicara.

"Kamu siapa ?", tanya Bapak saya.
Gelandangan itu masih membisu.
"Tolong lihat saya...", Bapak saya berkata lantas memberikan sikap penghormatan tentara.
Kami bersaudara bergerombol berlindung di balik punggung Bapak, melihat Gelandangan itu membalas sikat hormat Bapak.
"Kamu siapa ?", ulang Bapak saya.
"Saya Sahar...", dia mulai menjawab.
"Ada perlu apa ?"
"Mau makan..."

Bapak saya menyuruh satu diantara kami untuk mengambilkan sepiring nasi. Setelah itu dia mulai makan. Ditengah makan, Bapak saya mengajaknya bicara. Kami-pun mulai merubungnya --rasa takut kami mulai hilang, walaupun Pak Sahar tetap hemat dalam berkata - kata. Hemat dan tidak jelas.
Akhirnya Pak Sahar pamitan setelah menghabiskan sepiring nasi.
Setelah kejadian itu, kami sudah tidak takut lagi terhadap Pak Sahar.
Beberapa hari sekali, di saat sore, di antara kami ada yang berteriak,"...Tolong ambilin makan. Pak Sahar datengg.....". Dan Pak Sahar makan di dekat kami bermain - main. [] 15 Juni 2005

No comments: