Thursday, October 05, 2006

KENISAH September 2006

KEJADIAN MENCEKAM

Pada masa saya duduk di bangku SD, saya punya beberapa orang teman bermain. Suatu hari, pagi - pagi, sekitar berlima, seingat saya terdiri dari saya, kakak saya, Rudi, Sunny, dan kakak Sunny yang bernama Didit, kami bermain - main di pekarangan rumah Rudi. Hari itu hari jum'at, namun libur sekolah. Entah kenapa area bermain kami meluas hingga ke rumah sebelah, rumah seorang anak bernama Bagus, yang karena usianya berada di bawah kami, maka Bagus bukan sepermainan dengan kami. Ayah Bagus tentara juga seperti kebanyakan bapak kami, namun dia berpangkat lebih tinggi dari ayah saya. Kalau nggak salah dia menjabat sebagai Wakil Komandan. Selain ayah Bagus, ayah Didit juga berpangkat tinggi. Di depan rumah Bagus ada pohon beringin yang rindang. Mungkin pohon inilah yang membuat kami kerasan bermain di rumah orang lain.

Beberapa dari kami membawa petasan kala itu. Jelas pasti ada yang membawa obat nyamuk buat penyundut-nya, berikut korek geretannya. Dan tidak jelas pula siapa yang memulai, maka kami semua keasyikan bermain api. Bukannya membakar mercon, tetapi kami membakari dahan pohon beringin, lantas bersorak, dan lantas meniupnya hingga padam. Dahan yang dibakar bukan dahan jatuhan atau potongan, melainkan dahan yang masih menyatu dengan pohon. Begitu berulang - ulang, sampai suatu saat Didit membuat dahan membara cukup besar. Dia bersorak - sorak kegirangan. Dan ketika kami semua hendak memadamkan, malahan dilarang oleh Didit. Didit yang paling bongsor dan kuat menghardik kami agar membiarkan saja nyala itu, sampai suatu saat api itu sangat besar, dan kami semua kelabakan hendak memadamkannya. Bukan dahan lagi yang terbakar sekarang, melainkan sudah hampir setengah pohon. Api-nya menjalar dari dahan terbawah dan melalui kolong pohon hampir mencapai dahan tertinggi. Didit sendiri akhirnya tersadar namun sudah kesulitan memadamkan. Jadinya kami semua panik berteriak - teriak ketakutan. Tangan - tangan kami terlalu pendek untuk menyiramkan air ke atas pohon.

Rumah Bagus terletak berseberangan persis dengan pos penjagaan batalion kavaleri. Melihat ketidak-beresan -- dan melihat adanya api membara -- petugas jaga batalion segera mengambil tindakan. Mereka berlarian menuju kami. Kami yang mengira bakal akan ditangkap oleh tentara, jadinya ngabur tercerai - berai. Sekelebat dari kejauhan sambil terengah - engah saya melihat beberapa tentara berlarian kesana - kemari mencari ember dan menyiramkan air ke api yang semakin gila itu. Bayangkan, pekarangan rumah Wakil Komandan kebakaran ! Saya masih berpikiran bahwa tentara - tentara itu mustinya ada yang hendak menangkap saya dan teman - teman. Kerongkongan saya tercekat demi kejadian yang mencekam itu. Saya lihat Didit dan Sunny juga berlari terbirit - birit ke arah berbalikan dengan saya, karena memang rumah dia ada di sebelah barat rumah Bagus, rumah saya di timurnya. Rudi sudah tidak nampak lagi, mungkin sudah bersembunyi di salah satu kolong di rumahnya.

Segera saya masuk rumah. Dengan mulut terkunci, langsung masuk kamar dan tak hendak nongol keluar. Saya membayangkan pasti nanti ada tentara masuk lewat pintu garasi menuju sumur yang akan menanyakan saya kepada pembantu rumah. Saya tidak bisa mikir apa - apa lagi. Saya tau saya bersalah karena juga ikut membantu menyalakan api bareng Rudi, walau nyala api kami itu sudah padam. Yang membara adalah api bikinan Didit, yang membuat para tentara berlarian kesana - kemari.

Pembantu yang tengah asyik menjemur cucian tiba - tiba bersuara seakan - akan berbicara dengan orang yang baru datang. Nafas saya tercekat lagi. Ternyata pembantu saya ngomong sendirian :"...Wah..kok tiba - tiba hujan abu, ya ? Apa gunung Semeru mau meletus lagi, ya ?".Saya memberanikan diri muncul ke sumur. Saya lihat memang banyak abu berjatuhan dari langit, ini adalah abu pohon beringin yang terbakar.Melihat saya, pembantu langsung menyuruh saya mandi dan berkemas untuk segera pergi sholat jum'at, tapi saya masih takut keluar rumah.Beberapa jelang kemudian ibu saya tiba dari pasar. Dia-pun segera menyuruh saya dan kakak untuk segera berangkat jum'atan. Saya tidak mau terus terang akan ketakutan saya. Akhirnya saya pergi dengan was - was berat hati ke mesjid. Saya biasanya sholat jum'at di mesjid batalion, kali ini saya mengekor kakak saya sholat di mesjid kampung belakang. Saya takut ditangkap tentara saat jum'atan.

Sore hari saya memberanikan diri menengok lokasi kejadian. Ternyata apinya sudah padam. Saya menjumpai teman - teman lagi --tentunya dengan agak ketakutan sembunyi - sembunyi dari pandangan petugas jaga batalion--, dan ternyata tidak ada yang ditangkap tentara. Disitu cuma ada saya, kakak, dan Rudi. Didit dan Sunny entah kemana, tapi kata Rudi sih gak ditangkap tentara, melainkan dihukum orang tua-nya. Jadi semuanya beres sudah. Dari jarak cukup dekat, kelihatan bahwa pohon beringin itu botak di tengah dengan lubang cukup besar hasil dilalap api.[] haris fauzi - 4 September 2006



ISRAEL DAN ZIONISME

Apakah anda mendengarkan siaran BBC pagi tadi ? Sayangnya saya tidak mendengarkan dengan lengkap, tetapi salah satu ulasannya adalah tentang peri hidup di negeri Parsi, Iran. Saya selalu tertarik bila ada pemberitaan tentang Iran.Seperti kita ketahui, Iran adalah sebuah negara di kawasan Timur Tengah. Sebuah negara yang begitu vokal terhadap penetrasi barat. Sebuah negara yang pernah melalui sebuah revolusi dan menjatuhkan pemerintahan Syah Iran yang merupakan pemerintahan boneka Amerika Serikat. Lantas Ayatullah menjadikan sebuah negara dengan pemerintahan baru. Kejadian di tahun 1979 ini populer dengan nama Revolusi Islam Iran. Sejak saat itu Iran sering diteropong sebagai tertuduh oleh Eropa dan Amerika Serikat. Maklum, soalnya Amerika berusaha dengan kuat melawan revolusi itu, namun kali ini Amerika harus kalah lagi seperti di Vietnam. Dan rasa sentimen itu masih melekat.

Tak lama kemarin, kita juga bisa dengar pernyataan Presiden Iran yang mengecam dengan hebat aksi militer negara Israel ke Libanon. Bahkan Sang Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad memfatwakan bahwa 'agresor zionis ini harus dimusnahkan dari peta dunia'. Ahmadinejad pula yang pernah menyatakan bahwa peristiwa holocoust yang menguntungkan gerakan zionis itu ternyata adalah fiktif belaka....

Kita juga sering membaca di koran bahwa penyokong utama gerakan intifada Palestina adalah negara Iran, yang dengan terang - terangan mendukung pemerintahan garis keras Palestina sekarang. Iran juga-lah yang sekarang menjadi 'bintang film' politik dunia lewat program pengayaan uranium-nya yang dicemaskan oleh Amerika Serikat dan pemerintah Israel. Distempel sebagai negara teroris dunia.

Ya. Iran memang negara keras. Tepatnya negara ber-prinsip keras, karena tokoh - tokoh yang muncul semenjak revolusi 1979 hingga sekarang; yang diwakili oleh tokoh Khomeini hingga Ahmadinejad, adalah tokoh - tokoh yang digambarkan seperti itu. Dan opini - opini yang didengungkan oleh media pers juga cenderung menjurus ke situ.Menurut hemat saya, sebetulnya Iran dan para tokoh-nya tidaklah se-'menyeram'-kan itu. Ayatullah Khomeini --Pemimpin Revolusi 1979 yang digambarkan sebagai pemimpin yang tak terbantahkan, yang mem-vonis mati Salman Rushdie-- sejatinya Ayatullah Khomeini adalah penyair dan pemerhati filsafat. Orang bersahaja yang suka berkebun dan menjahit sendiri bajunya yang koyak. Dan sering menggunakan kertas tissue sebelah sisi.

Sementara Presiden Ahmadinejad yang sekarang dikenal sebagai pemimpin yang bandel di mata Eropa, sejatinya adalah seorang yang berpendidikan tinggi. Dia adalah mantan walikota yang bergelar Doktor. Dia juga mantan perwira militer yang gagah berani, setidaknya bila dibandingkan dengan Presiden Amerika, George W.Bush yang semasa perang bergabung dengan kesatuan'selebritis dan bintang film' di divisi sampanye. Bahkan gitaris rock negro Jimi Hendrix yang benar - benar bintang musik malah bergabung dengan kesatuan tempur udara kala perang Vietnam.

Kalau masalah penilaian seperti ini, pastilah saya subyektif, dan anda-pun berhak membuat penilaian tersendiri. Ya salah satunya karena memang saya lebih mengidolakan Jimi Hendrix yang pendekar gitar elektrik itu ketimbang Bush.

Kembali ke masalah rilis BBC siaran Indonesia pagi tadi. Yang disiarkan BBC sih bukan hal di atas. Pagi tadi BBC menyiarkan bahwa Iran sebenarnya adalah negara dengan multi etnis - multi bangsa. Di Iran sebenarnya banyak juga dibangun sinagog, tempat ibadah kaum yahudi, kaum israel. Mereka juga bebas beribadah, bahkan setiap pagi banyak bangsa yahudi yang membaca Taurat di sinagog sebelum beranjak kerja. Jadi rupanya banyak juga orang yahudi yang tinggal di Iran, dan mereka bebas dengan sinagog dan Taurat-nya. Bahkan telah dicetak pula Taurat edisi bahasa Parsi, bahasa Ibu negeri Republik Islam Iran.

Reporter BBC menyampaikan bahwa kebebasan beragama bagi yahudi dirintis oleh Ayatullah Khomeini pasca Revolusi Islam 1979. Khomeini berpendapat bahwa konteks bangsa yahudi harus dipisahkan dengan faham zionis. Sepakat. Seorang yahudi belumlah tentu penganut zionis yang hendak menjarah Palestina dan tanah timur tengah. Well....bukankah nabi Musa adalah seorang yahudi yang non-zionis ? Tolong koreksinya. [] haris fauzi - 5 September 2006


PROBLEM YANG MEMBOSANKAN

Pernahkan anda menjumpai sebuah problem yang mana dia sering menampakkan diri, berulang dengan bandelnya, lantas membuat kita jengkel ? Seringkali kita mengalami problem yang berulang. Bukan hanya kita sebagai individu saja, sebagai keluarga, sebagai organisasi, dan sebagai perusahaan-pun kejadian problem berulang ini beberapakali dipastikan menyapa kita. Contoh paling gampang adalah masalah keuangan. Sudah berpuluh tahun semenjak kerja kita selalu gajian setiap bulannya. Dan setiap akhir bulan itu bisa saja selalu muncul masalah 'kekurangan' uang. Kejadian ini berulang - ulang puluhan hingga ratusan kali. Dan, sebagian dari kita hampir tidak kuasa mencegah berulangnya problem ini. Inilah yang saya maksud dengan problem yang membosankan.

Dalam manajemen mutu, kita selalu dianjurkan untuk mendeteksi suatu problem, yang mana lantas dianjurkan untuk melakukan dua hal : yang pertama adalah menanggulangi problem itu agar tuntas. Yang kedua adalah kita harus melakukan suatu hal agar problem itu takkan pernah muncul lagi. Cukup sekali saja, lantas mati.
Jadi, contohnya gini : kalau ada problem kekurangan uang pada bulan Januari, maka pada bulan Februari kita harus melakukan dua hal : menutupi kekurangan keuangan, mungkin dengan hutang. Dan kita juga harus berusaha agar hal itu tidak lagi muncul di bulan - bulan mendatang, maka hal kedua yang harus kita lakukan adalah kita harus mengetatkan budget atau mencari penghasilan tambahan. Ini kiat manajemen mutu. Dalam manajemen mutu hal seperti ini biasa disebut dengan 'problem berulang'. Problem berulang ini harus ditanggulangi dengan dua hal : preventive dan corrective. Gampang teorinya, susah menjalaninya. Buktinya, baik individu atau organisasi, kebanyakan terjebak dalam tragedi problem yang berulang. Entah apa saja model dan gaya problemnya, pokoknya problem yang membosankan ini muncul secara berkala dan berulang - ulang tanpa bisa dibendung, hanya membuat kita nyengir saja. "Ini lagi ! Ini lagi problemnya..! Selalu begitu..!".

Jikalau ada satu polisi, pasti ada seribu maling. Ada satu problem, bisa jadi ada seribu jalan kaluar. Kalau toh ada cara lain --selain cara manajemen mutu,-- dalam menghadapi problem yang membosankan ini salah satunya adalah kita bisa menghadapinya dengan mengubah paradigma : yakni, anggap saja itu bukan problem. Kita tentu akan cukup mampu menjalani problem itu (--menjalani - bukan menghalau ) bila kita menyebutnya dengan istilah : rutinitas, selalu begitu. Dalam kasus keuangan di atas, maka anggap saja hutang itu sebagai rutinitas. Maka kita dituntut untuk menjalaninya dengan baik, tanpa perlu menghalau problem tersebut. Beres, kan ? Maka anda bisa tertawa sekarang dalam menghadapi problem yang berulang. Ya. Karena makhluk itu sekarang adalah sosok dengan nama 'kegiatan rutin'. Yang harus dijalani dengan rutin. Gak perlu repot - repot menghalaunya jauh - jauh. Ini bisa berlaku untuk seluruh problem berulang, bukan hanya masalah keuangan, dengan syarat kita bisa mengubah paradigma kita. Namun dalam mengubah paradigma ini kita butuh satu hal : 'nyali'. [] haris fauzi - 6 September 2006



NAJIB

"yes, penulis 'kafe yang kosong', ...yang lehernya pernah digorok...dan tidak mati"

Gitu jawaban pesan pendek dari rekan saya ketika saya menanyakan sesuatu hal. Saya memang sangsi. Jadi pada awal tahun 2000 --sebelum Si Salma lahir-- saya pernah membeli buku terbitan Terawang, judulnya ZAHIYA (kafe yang kosong), kumpulan cerpen buah tangan Najib Mahfoudz asal Mesir, penulis yang pernah dapat nobel, dan lahir di tahun 1911. Begitu terurai di nota buku tersebut.

Dan pada malam hari, pas kakak saya ulang tahun-- berarti tanggal 31 Agustus 2006, saya menyimak tanpa khusyu berita dari pemancar radio yang memberitakan tentang prosesi pemakaman penulis ulung asal Mesir. Penulis itu bernama Naguib Mahfoudz. Perkara huruf per-huruf, maka berbeda - beda pula hurufnya. Seperti halnya Leo Tolstoy, dan Leo Tolstoj. Nikolai Gogol, Nikolaj Gogol. Bebas merdeka.

Kalau di dunia musik rock ada Phil Collins, seorang drummer grup musik Genesis. Dan juga ada Phil Colen, seorang gitaris dari Def Leppard. Keduanya berbeda orangnya walau namanya hampir mirip pengucapannya. Mangkanya saya mencari tahu, apakah Najib itukah Mr. Naguib. Jawaban teman saya rupanya membenarkan. Dan memang setelah saya buka literatur, Naguib Mahfoudz sering disederhanakan menjadi Najib Mahfuz.

Saya tidaklah tau sahih tidaknya karena saya toh tidak mungkin menguji silang dengan trip ke Mesir. Tetapi saya memilih percaya saja. Rekan saya yang mengidolakan Nietzche dan Albert Camus, tentunya juga memperhatikan karya - karya Najib ini. Najib juga sedikit banyak terpengaruh Camus. Najib banyak berceritera soal Mesir, terutama tentang perubahan jaman, friksi kultur, dan kematian. Beberapa tulisannya menyimbolkan kematian, bercengkrama dengan perubahan sosial, dan ke-absurd-an bermasyarakat. Sisi pinggir dan terbelah jurang dengan sisi tengah masyarakat. Seringkali tulisannya berakhir dengan simbolis dan paparan yang kurang langsung dan misterius. Tetapi bagi sebagian orang cara misterius ini sungguh memikat, terutama cara Najib memaparkan set-up ceriteranya. Dipergumulan ke-misterius-annya, Najib bisa membuat aliran kisah dengan mulus, tanpa tersendat - sendat. Cukup hebat juga Mr.Najib ini, kuat sekali dalam mengalirkan tulisannya.
Cerita pendek berjudul 'Kafe yang Kosong' cukup lengkap dan mewakili untuk menggambarkan itu semua, termasuk ke-misterius-annya, termasuk kelancaran jalannya cerita, termasuk kematiannya.
.......
Ini adalah kursi yang biasa diduduki Ali. Seorang yang pendek, kurus dan bungkuk, dengan pinggiran topinya menyentuh alis putihnya yang lebat, menatap temannya dengan pandangan lemah, setengah menangis," Aku ragu siapa yang akan mati dulu, kau atau aku ?". Lalu dia tertawa terbahak - bahak.
......

Seringkali ceritanya mensinisi cara orang menghadapi kematian, seperti tertera di atas dengan terbahaknya seorang tua dalam membahas kematian dirinya. Cara ini mengingatkan saya pada film 'Tombstone'. Dimana seorang penembak ulung bernama Doc Holliday (atau Halliday --saya lupa) yang sekarat di ranjang pusat rehabilitasi tuberkulosis. Doc tidak mati karena peluru, tetapi karena penyakit. Menjelang nyawanya merambat naik dari ujung kaki ke kerongkongan, Doc yang masih menggenggam kartu truf dan buku biografi itu malahan berujar:.."..oh..i'ts funny...". Sementara Wyatt Earp sang sobat telah meninggalkan ruang karantina itu. Doc memang mengusir sobat baiknya, karena Doc tidak ingin masa sekaratnya ditunggu oleh siapa-pun, termasuk oleh Earp.

Bagi saya Najib adalah penulis tentang perubahan yang juga mengayunkan perubahan itu sendiri. Najib adalah penulis kultur yang menyatu dengan kultur itu sendiri. Bagaimana indahnya Najib menguraikan kafe - kafe pinggir kota dengan segala teras miringnya merupakan bukti yang cukup untuk itu semua. Saya tidak bisa memaparkan terlalu banyak soal Mr. Najib ini. Saya cuma memiliki satu bukunya saja. Lain kesempatan semoga saya bisa gali lebih jauh. Rest In Peace ... Mr. Najib...[] haris fauzi - 7 September 2006


BILA DOKTER SEMINAR (?)

Suatu malam, tepatnya Selasa malam, anak saya yang berusia dua tahun --Si Moncil-- terbatuk - batuk dengan dahsyat hingga memuntahkan makanan yang telah dia lahap tiga jam sebelumnya. Memang sudah dua hari ini Si Moncil sedikit batuk, namun tubuhnya tidak panas. Jadi hanya diberi obat ringan saja oleh Istri saya. Ya sebetulnya sih batuknya gak seberapa -- flu biasa mungkin; atau alergi cuaca -- apalagi Si Moncil tidak panas badannya, masih tetap beringas berlompatan kesana - kemari. Namun karena kejadian muntah itu, saya jadi sewot, karena asupan anak akan kurang bila selalu muntah begini. Padahal sih mungkin Si Moncil pengennya cuma mengeluarkan dahak, tapi akibatnya malah semuanya keluar. Dan Istri saya-pun akhirnya sepakat bahwa Si Moncil harus dibawa ke dokter pagi harinya. Dan malam itu Si Moncil tidur dengan perut agak keroncongan.

Pagi hari, Istri saya telpon ke bagian registrasi dokter anak pilihan keluarga kami, namanya Dokter Aris yang biasa kami kunjungi di tempat prakteknya di depan kompleks. Dari resepsionis kami mengetahui bahwa hari itu Pak Dokter Aris tidak praktek, dan karena hal ini kami segera berusaha mendaftar ke tempat praktek lain, yakni di daerah Cibinong, dan sekalian daftar di Rumah Sakit Hermina. Kedua tempat ini juga merupakan tempat praktek Pak Dokter Aris. Pak Dokter Aris adalah dokter anak yang cukup populer dan sibuk, lokasi prakteknya bertebaran dimana - mana. Jadi kadangkala kami harus bisa hunting juga. Dari RS. Hermina pagi itu kami mendapat nomer antrian pasien, sementara dari Cibinong kami akan dihubungi lagi setelah konfirmasi ke dokter yang bersangkutan.

Biasanya sih, Istri saya dan bocah pergi sendiri ke tempat praktek dokter dengan menggunakan jasa ojek. Maklum, tempat praktek di depan kompleks --walaupun macet minta ampun-- namun hanya sekitar satu kilometer dari rumah. Sementara Cibinong sekitar lebih dari lima kilometer jaraknya, dan jarak ke RS.Hermina bisa mencapai sepuluh kilometer. Untuk dua tujuan ini haruslah saya yang mengantar, karena tidaklah manusiawi bila saya membiarkan Istri saya dan Si Moncil kebut - kebutan naik ojek sejauh itu.

Informasi dari tempat praktek dokter Cibinong hasilnya sama dengan yang pertama, ternyata Pak Dokter Aris tidak praktek hari ini. Menyusul juga dari resepsionis RS Hermina nge-bel ke rumah memberitahu bila pak Dokter tidak praktek. Wah... kenapa pula nih Pak Dokter Aris ? Sempat pula kami nge-bel kekediaman pak Dokter Aris, namun belum ada kejelasan bakal praktek dimana yang bisa kami kejar.

Dengan situasi ini, Istri saya segera menghubungi dokter favorit kedua, yakni Bu Dokter Tien, yang sebenarnya tinggal di komplek dimana kami tinggal. Hasilnya juga tidak menggembirakan. Karena ternyata Bu Dokter Tien juga tidak praktek hari ini. Setelah Pak Aris tidak praktek dimana-pun, kini Bu Dokter Tien juga tidak bisa kami sambangi.

Kami mencoba lagi menghubungi RS. Hermina lagi untuk mendaftarkan Si Moncil ke dokter anak --siapapun-- yang sedang praktek hari itu. Kami setengah berharap Pak Dokter favorit ketiga : Pak Aulia akan ada jadwal praktek hari itu. Ternyata tidak ! Pak Dokter Aulia tidak ada jadwal praktek hari itu. Waduh..... !!! Not My Day...Not My Day..!!

Akhirnya dengan agak lesu saya bertanya ke resepsionis rumah sakit tentang siapa sahaja dokter anak yang praktek hari itu, ...di situ. Saya dapat jadwal praktek dua orang dokter anak yang tidak saya kenal, dan saya mendaftar ke salah seorang hanya berdasar gelarnya saja, yakni karena Bu Dokter tersebut telah bergelar master. Dan kami-pun siang itu memeriksakan Si Moncil ke dokter 'baru' yang bergelar master itu. Kami dapat antrian paling buncit.

Belakangan saya baru dapat informasi, bila bisa jadi hari itu ternyata ada penyelenggaraan seminar yang mengundang banyak dokter anak. Seminar itu sendiri diadakan di pulau Kalimantan. [] haris fauzi - 8 September 2006


WISUDA

Kebetulan minggu lalu ada teman --adik kelas-- yang hendak menginap di rumah saya, jadi saya mesti siap - siap beresin kamar atas -dilantai dua. Kebetulan hari Minggu, jadi pagi - pagi saya bisa sempatkan beberes...., angkat sulak, tarik vakum kliner, dan pasang sprei.

Beberapa buku tampak berceceran, karena dibuat mainan oleh anak - anak saya. Maklum, lantai dua sering dijadikan pula lokasi main game, nyetel kaset, ataupun pencet - pencet electone, ...latihan menari... namun sering terabaikan beresinnya. Pada saat saya membereskan buku - buku yang berantakan itu saya melihat ada buku berjudul 'gladi bersih wisuda' milik saya. Jadi ingat jaman wisuda saya dulu.

Saya wisuda tahun 1995. Pada pagi hari saya, Ibu, dan Bapak --sesuai undangan-- berangkat ke kampus untuk menjalani prosesi wisuda. Untuk pertama kalinya saya mengenakan jas baru lengkap dengan dasi pilihan sendiri.
Walau toh prosesi awal wisuda akan dilaksanakan di gedung universitas, saya malah memarkir Toyota Hardtop Bapak saya di gedung senat mahasiswa fakultas. Pertimbangan saya adalah yang pertama saya kenal dengan tukang parkirnya karena disitu saya sering nongkrong, walau tidak parkir. Soalnya saya ke kampus naik angkutan kota atau nebeng. Yang kedua karena prosesi wisuda tahap kedua adalah pelepasan di fakultas. Jadi urusan pulangnya nanti gampangan.

Karena hari masih pagi, maka kami santai lenggang kangkung berjalan kaki dari fakultas ke gedung universitas. Ibu bawa undangan, Bapak bawa kunci kontak mobil, dan saya menenteng tas kresek isi baju toga. Beberapa wisudawan terlihat sudah berjalan mengenakan baju toga sejak dari rumahnya. Saya kegerahan kalo begitu, apalagi mobil Bapak nggak ada AC-nya.

Dalam acara wisuda universitas yang sakral itu, tidak banyak foto yang bisa di ambil oleh Ibu saya. Setelah acara itu selesai, kami bergegas menuju lokasi pelepasandi fakultas. Tentunya toga juga sudah saya tanggalkan lagi. Kami mampir sejenak ke parkiran untuk meletakkan baju toga yang hitam kelam itu.

Masuk ruangan pelepasan fakultas, saya disongsong oleh petugas akademis. Satu orang bawa map, dan satu orang dengan cekatan memasangkan mikrofon wireless ke kerah jas saya. Sebelum saya sadar dalam kebingungan, salah satu dari mereka berkata,'Mas Haris nanti yang baca ikrar, ya ? soalnya wisudawan yang ditunjuk untuk tugas ini sampai detik ini belum kelihatan. Naskahnya ya di map batik itu...' begitu katanya sambil mengetuk-ketuk mikrofon yang nggantung di kerah.
Sebelum saya sempat membuka map tersebut, kedua orang itu sudah meninggalkan saya dan mengerjakan hal lainnya, mengecek sound-system podium. Ibu saya tersenyum saja melihat saya dapat tugas dadakan jadi pembaca ikrar.

Ikrar ini saya bacakan dari depan peserta --tidak di podium-- dan diikuti oleh wisudawan fakultas --semuanya-- sambil berdiri. Saya sendiri sekarang malahan lupa ikrar apaan itu. Apakah ikrar janji alumni, ataukah ikrar insinyur. Atau... sebangsanya gitu lah. Soalnya ikrar itu terdiri dari beberapa butir bait. Yang saya ingat adalah salah satu bait ikrar itu berbunyi '...menjadi manusia yang bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa'. Normatif-nya begitu. Normatif, seperti halnya saya saat itu menjadi lulusan, menjadi wisudawan, menjadi alumni, menjadi profesional.

Lulusan yang Bertaqwa ?
Terhitung sejak saya lulus, berarti sampai saat ini sudah lebih dari sepuluh tahun rentang waktunya. Dan sudah selama itu pula saya mencari nafkah dengan bekal gelar saya. Tapi, akhir - akhir ini rasanya saya malah sering melakukan sholat maghrib di jamak di waktu isya'. Sepulang dari pabrik. Lulusan yang bertaqwa ? [] haris fauzi - 14 September 2006


PONSEL 'DIE HARD'

Sudah lebih dua bulan ini ponsel saya mengalami gangguan. Monitornya sering acak - acakan. Kadang tulisannya malah terbalik dari kanan ke kiri. Bukannya sok keren, tetapi saya memang agak tergantung dengan alat satu ini. Buat janjian, buat konfirmasi, dan sebangsanya, baik urusan kantor maupun urusan keluarga. Trobel-nya sih muncul kadang - kadang, --jadi tidak permanent error-- namun makin hari ini makin sering.

Beberapa kali memang telah terjadi masalah dengan ponsel yang berusia kurang lebih enam tahun ini. Dahulu kala pernah sudah dua kali monitornya gelap alias mati lampunya, jadi musti pake senter kalo di mobil malam hari hendak membaca pesan pendek. Untuk masalah ini yang kocak adalah ketika saya harus pergi ke China, lantas hendak mengisi pulsa di sana dengan menggunakan pesawat saya. Petang hari, saya minta tolong orang sana untuk mengisikan pulsanya, soalnya saya budheg benar, lha wong informasi pengisiannya menggunakan bahasa China. Orang yang mengisi pulsa sampe mencari - cari pantulan sinar agar bisa membaca monitor ponsel saya. Sempat dia komentar dalam bahasa Inggris,'....ponsel anda gelap sekali monitornya....'. Saya jawab,'... itu ponsel hemat energi...'. Padahal monitornya mati. Kalau siang sih nggak masalah, karena ada sinar matahari. Dua kali rusak seperti ini, dua kali pula sudah ganti kabel sambungan monitor. Beres.

Kalau masalah batere yang sudah dua hari sekali musti di charging itu sudah kebiasaan. Dan sudah pernah ganti batere. Tapi sekali lagi, kalau monitornya acak - acakan seperti sekarang inilah yang bikin seru sekaligus pusing. Kadangkala saya sebel campur geli ketika hendak membaca monitor ternyata yang keluar malah motif batik. Lebih sebel lagi ketika musti nyetir dan terima sms. Ketika sms hendak dibuka ternyata tulisannya kacau balau. Belum lagi ternyata radio di mobil menginformasikan perihal kemacetan lalu lintas. Siang hari AC ngadat. Waduh...tobat...

Kadangkala siaran radio di mobil memang mempengaruhi suasana hati dalam berkendara. Nggak cuma ponsel atau AC ngadat. Contohnya berapa hari yang lalu saya dengar di radio bahwa Mr. Paus dari Vatikan berpidato di Bavaria. Dalam pidato itu, Mr. Paus sedikit menyinggung dan mengkritisi soal 'jihad', yang notabene istilah dari agama Islam. Sekilas Mr.Paus juga menyampaikan bahwa ajaran Muhammad mengajarkan ihwal kekerasan.
Andai sedikit bijak, menurut hemat saya mungkin Paus tidak perlu berpidato seperti itu. Riskan menyulut bara. Dan kini mulai menuai protes dari beberapa negara Islam, walau Vatikan telah merilis pembelaannya.

Kembali ke masalah ponsel, Istri saya sudah dari dulu berkomentar bahwa usia ponsel saya sudah uzur, layak ganti. Tapi saya kukuh tidak melaksanakannya. Saya punya target, bahwa saya harus habis - habisan dengan ponsel 'die hard' satu ini. Setidaknya menjadi ponsel yang paling akhir diremajakan setelah kakak - adik - dan Ibu saya. Habis - habisan pokoknya.
Kini semua ponsel kakak - adik saya sekarang sudah ganti. Dan terakhir Ibu saya bulan lalu sudah ganti ponsel pula. Nah, berarti kaul saya beres kan ?
Tetapi ternyata tidak ! Saya musti pinter - pinter nyisip budget, karena Istri saya sedang butuh budget juga merombak ruang makan, ....dan mobil tua saya juga sudah sering gemetaran bila jalan di atas 110 km/jam. Maklum, sudah saatnya zulficar memasuki masa overhaul yang biayanya cukup tinggi. Ini sih jadi seperti trivia atau kuis. Hayo...? Enaknya mana duluan : beli ponsel ? ...bikin ruang makan ? ....atau mbenerin mobil buat mudik nanti ? [] haris fauzi - 16 september 2006


RUANG MAKAN

Rumah saya tidak ada --tepatnya belum ada-- ruang makannya. Kalo untuk masalah kamar, 'Daralaman' --nama rumah itu, total jendral punya empat kamar tidur; satu buat saya, satu buat anak - anak, satu buat tamu ada di lantai dua, satu lagi buat pembantu. Semula seperti itu.Per-minggu lalu Istri saya mengusulkan bikin ruang makan. Biar nanti makan sahurnya nggak 'klesetan' di tikar lagi. Yang dimaksud klesetan itu ya males - malesan. Makan di sofa atau tikar kalo pas ngantuk kan jadinya males - malesan gitu.
Saya memutar otak untuk mencari lokasi lowong di rumah yang kecil ini. Ya nggak ada tempat lain selain harus 'menggusur' kamar tidur pembantu. Lha memang selama ini kami tidak memiliki pembantu 'full-time', yang ada pembantu part timer, dateng jam tujuh pulang zuhur. Dengan kondisi ini jelas lebih menguntungkan bila kamar itu bakal di sulap jadi ruang makan.
Eit..! Nanti dulu... soalnya kami juga pernah beberapa kali membutuhkan dan punya pembantu 'nginep'. Nah, entar kalo butuh lagi gimana ? Kalo untuk urusan ini sih yang jelas ya komitmen. Bila memang sudah mau menggusur kamar itu, praktis sampai kapan-pun nggak akan ada lagi pembantu nginep. Kecuali kalo sudah bikin kamar baru lagi.

Istri saya sih meng-iya-kan saja. Sudah kepingin punya ruang makan, kumplit meja kursi dan rak gantungnya. Apalagi menjelang lebaran nanti mertua dari Solo dan Ibu saya dari Malang akan bergantian menginap dan sahur di rumah kami. Dan toh selama ini gak ada pembantu nginep-pun semuanya oke - oke aja. Dalam hati saya sebenarnya pengen menunda proyek ini, soalnya mobil saya juga mesti di renovasi habis. Dan kondisi duit lagi cekak. Dengan kondisi di atas praktis saya jadi gak ada alasan lagi buat menunda rencana ini. Masalah duit nggak bisa jadi alasan, walau memang berat juga bila nggak diakalin. Wong buat mobil aja bisa diakalin buat dianggarin biaya repairnya, lha kok ruang makan kok enggak ? Bisa protes nih.... Bagaimanapun juga mobil itu identik saya, sementara rumah identik Istri saya.

Lewat segala cara penghematan dan uang ketat, saya coba realisasikan proyek ruang makan ini. Syaratnya muat lima orang. Pertama - tama saya suruh tukang untuk merobohkan satu sisi dinding kamar pembantu yang kebetulan langsung akses ke dapur. Trus saya bikin tanggul kecil dan lantas semua dinding di cat oranye pastel. Manteb juga, murah meriah. Dinding dapur dikeramik separoh dan di cat sekalian biar jadi se-irama warnanya.

Meja makan saya siapkan dari papan bekas dipan tempat tidur pembantu. Kan sudah nggak dipake lagi..? Kursinya dibuat dari dingklik kayu yang sudah ada dan saya tutup atasnya dengan spon busa. Spon busa dibungkus pake sarung bantal tenun dan di paku ke dingklik tadi. Praktis semua onderdil ini gak ada yang beli, sudah pada punya. Beres. Potongan sisa papan mau dibikin buat meja ngaji anak saya dan teman - temannya. Bisa memuat enam bocah, walau harus ditambah dengan membongkar satu meja usang. Yang jelas nggak ada perabotan yang beli.

Total jenderal sejak ngerobohin dinding hingga bikin busa dingklik semuanya butuh waktu nggak sampai dua minggu, dan biaya nggak lebih dari delapan ratus ribu. Yang belum ada adalah rak gantung atau lebih kerennya biasa disebut kitchen set, walau kali ini letaknya nggak di dapur. Kalo beli sih bisa seharga tiga jutaan, mungkin lebih. Nah, untuk yang satu ini saya belum punya rencana tersendiri untuk merealisasikan. Lagi saya coba dengan memutar otak. Kalau ini terwujud dan istri saya suka, sebagai perimbangan berarti saya bisa juga dapat kompensasi buat pasang amplifier di mobil tua saya. Asyik…. bisa nyetir sambil nyanyi kenceng - kenceng... haa.. haa.. haaa....[] haris - fauzi - 21 september 2006


!

Penthung ! Tanda seru. Jamak orang ngerti sebagai pertanda perhatian. Saya punya seorang sobat milis dimana kami berkorespondensi secara kelompok. Namanya Mas Gatot, dia adalah seorang pe-resensi musik. Mulai musik progressive rock hingga heavy metal yang menurut Mas Gatot suara growling vocal-nya "...yang kayak muntah kolak itu...".

Saya hanya beberapakali bertemu muka dengan dia, seingat saya hanya di dua event, yakni pas mau pulang dari nonton konser Helloween di Ancol beberapa tahun lalu, dan yang kedua pas mau nonton konser Edane beberapa bulan lalu dimana Mas Gatot malahan jadi MC-nya.

Dari surat - suratnya, mas Gatot mewujud sebagai orang humoris yang penuh semangat. Cocok dengan profesinya sebagai konsultan manajemen. Dan yang perlu ditandai adalah di setiap suratnya bertaburan 'tanda penthung' tadi. Dengan gaya kocak-nya, tanda penthung ini menjadi ikon penting yang membikin selera orang untuk mengikuti pesan sponsornya. Ya, salah satu ciri khasnya mas Gatot adalah 'tanda penthung' itu.

Ada kisah begini : konon suatu kali beliau ini bersama rekan - rekannya membentuk komunitas, namanya 'i-Rock'. Tak usah saya jabarkan apa itu komunitasnya, yang jelas mas Gatot selalu kampanye dan provokasi bahwa nama komunitas tersebut harus berakhir dengan tanda penthung, 'biar semangat...', gitu alasannya. Dan, nama itu akhirnya resmi menjadi 'i-Rock !'; dengan tanda penthung. Mas Gatot pastilah puas sekali.

Saya tak hendak menulis soal mas Gatot, saya hendak menulis soal tanda penthung. Dua minggu lalu saya menyusuri toko Gramedia, dan akhirnya mata ini kepenthok ke buku kecil bersampul warna putih-oranye. Buku keluaran kelompok Mizan ini judulnya adalah 'Ahmadinejad !', pake tanda penthung !. Wah, ini juga cocok sekali dengan berapi - apinya isi buku itu sendiri, yang menceriterakan kisah hidup Presiden Republik Islam Iran sekarang. Ya, Ahmadinejad memang tokoh yang layak mendapat simbol 'tanda penthung' juga. Dia penuh semangat dan kukuh pada prinsipnya.

Sekali lagi, tanda penthung ini sedikit banyak membuat kita juga semangat untuk membacanya. Saya sudah membuktikan sendiri dengan terpancing untuk membelinya dan lantas sesegera mungkin melahap buku tersebut. Entah karena tanda penthungnya, atau entah karena sosok Ahmadinejad yang memang membuat saya kagum padanya.

Di dunia lirik atau puisi umumnya di dunia tulis - menulis, tanda seru sering mengikuti kalimat bernada keras yang berhuruf kapital. Walau tidak semuanya plek seperti itu. Juga sering muncul tanda penthung ketika menyampaikan hal atau pesan yang berulang. paling gampang adalah lirik lagu. Kalau vokalis-nya 'mbengok' (berteriak) dalam menyanyikannya, boleh jadi liriknya akan memuat tanda seru. Umum.

Ya begitulah. Tanda penthung telah mengalami banyak kemajuan. Kalau dahulu dia dominan di penulisan 'kalimat bernada keras' saja, sekarang bahkan judul, nama, dan lainnya ke-asyik-an memakai simbol penthung ini. Dibalik fungsi utamanya, bagi saya 'tanda penthung' memang memiliki sosok yang berniat untuk menarik perhatian, supaya kita lebih bisa merasakan makna yang dipesankan pada kalimat sebelumnya. Menekankan. Sekali lagi... menekankan ! [] haris fauzi - 22 september 2006


LATIHAN PUASA

Katanya, anak kecil harus dibiasakan puasa ramadan. Katanya buat latihan. Latihan ? Konotasi latihan adalah untuk latihan fisik, contohnya adalah latihan sepakbola, latihan lari, lan sakpanunggalane.

Kalau boleh saya ceriterakan pengalaman pribadi saya adalah sebagai berikut. Saya setiap hari Minggu atau Sabtu subuh berusaha selalu untuk lari pagi. Ini jelas latihan fisik. Beberapa kali saya pernah mencoba berlatih dengan tujuan meningkatkan kemampuan berlari. Maksudnya ketahanan lari-nya. Soalnya denger -denger lari pagi itu baru bermanfaat dengan baik setelah berlari non-stop minimal lima belas menit.
Nah, dalam tiga bulan rutin setiap minggu lari pagi dengan peningkatan sedikit -sedikit, maka durasinya bisa mencapai tiga puluh menit non-stop lari tanpa henti. Itu kalau tiga bulan --berarti dua belas kali berturut - turut selalu latihan tanpa henti, hasil akhirnya saya bisa berlari selama tiga puluh menit. Hasil awal --kemampuan awal sebelum rutin berlari-- first-run saya adalah dua belas menit non-stop.

Kebalikannya, kalau sudah tiga bulan bolong terus nggak pernah menjalani rutinitas lari ini, maka hari itu saya paling banter akan kuat berlari selama dua belas menit non-stop. Jadi balik lagi ke kemampuan first-run. Nah, dari sini saya bisa berpendapat, bahwa kemampuan fisik itu bisa turun dengan signifikan dalam tiga bulan. Percuma tiga bulan yang lalu bisa berlari selama setengah jam, kalau tidak pernah di asah ya sekarang jelas ngos - ngosan dalam hitungan sepuluh menit saja.

Puasa ? Puasa itu siklus tahunan. Setahun sekali, dan bisa dilatih seminggu dua kali untuk puasa Senin - Kemis. Lha kalo seorang anak disuruh puasa ramadan dengan alasan untuk latihan menahan lapar, saya rasa itu kurang tepat. Alasan saya yang pertama adalah, kemampuan ber-'lapar-lapar' itu akan hilang lagi pada setahun kemudian, karena bila tidak dilatih maka dalam tiga bulan kemampuan fisiknya diestimasikan akan turun drastis. Ini omongan bego saja dari saya yang menyejajarkan latihan puasa dengan lari pagi.

Alasan saya yang kedua adalah, sebenarnya seorang anak itu malahan lebih pintar menahan lapar dibanding orang dewasa. Jadi, bisa saja sebenarnya seorang anak umur enam tahun itu lebih senang berpuasa daripada makan siang yang kebanyakan sulit sekali dan lama beresnya.

Analisa lain adalah bila diperbandingkan dengan ritual ibadah lain yakni shalat. Shalat itu juga harus dilatihkan ke bocah. Padahal se-sulit apa sih sholat itu ? Pada saat anak saya umur empat tahun, pernah dia saya ajak ikut sholat tarawih. Dan dia bisa membereskan dengan baik, padahal sudah banyak orang dewasa yang males - malesan sholatnya menjelang sholat witir (penutup).
Artinya adalah sebenernya ternyata gak perlu fisik yang tangguh untuk melakukan sholat, tetapi banyak juga yang gak bisa melaksanakannya. Untuk sholat ini, jelas sekali bahwa latihan sholat buat bocah lebih diperuntukkan sebagai latihan rohani. Latihan untuk memupuk kesadaran akan sholat. Latihan untuk menghadap kepada Sang Pencipta, tempat memohon segala pertolongan. Biar nggak males sholat, gitu singkatnya.

Dalam pengalaman saya, latihan rohani itu butuh waktu yang lebih panjang untuk menuai hasilnya, jadi harus jauh - jauh hari memulainya. Juga butuh waktu yang lama untuk melekangkannya. Jadi latihan rohani si bocah di bulan ramadan kali ini, bisa dilanjutkan latihannya di tahun depan. Tidak terlalu signifikan penurunannya dibanding latihan fisik.

Ujung maksud tulisan saya adalah, bagi saya, latihan berpuasa untuk anak - anak itu sebaiknya dijalankan dengan penekanannya adalah latihan rohani, bukan kemampuan fisiknya dalam menahan lapar. Dalam bulan puasa, seorang anak dilatih untuk menahan hawa nafsu, lebih peka terhadap kepapa-an masyarakat sekitar, berusaha memperbanyak ibadah ritual seperti ikutan tarawih, dan sebagainya. Pokoknya sebaik - baiknya latihan rohani itulah.... Dan, seperti beberapa nasehat sufi yang pernah saya baca, peningkatan kemampuan rohani itu ujungnya bisa mengenyahkan rasa lapar itu pergi dengan sendirinya. Percaya atau tidaknya terserah masing - masing, lha wong saya sekarang ini juga sedang berlatih puasa.....[] haris fauzi - 24 September 2006 --hari pertama puasa.


BERHENTI DIMANA

Saya beberapa kali bepegian naik bis. Yang sering sih Bogor - Jakarta, yang punya 'terminal bayangan' di dekat Universitas Kristen Indonesia (UKI) itu.

Apalagi sekarang sedang dibangun jalanan untuk busway di dua arah di kawasan itu. Waduh. Macet banget. Dan jalur untuk angkutan umum --termasuk bis-- yang sudah dipinggirkan itu makin untel - untelan (sesak-sesakan) sahaja. Penuh sekali, dan ngantri lagi, soalnya namanya angkutan kota atau bis, pastilah tidak sebentar waktu yang dibutuhkan untuk melakukan proses bongkar angkut penumpang. Sepenuh apa ? yang jelas lajur untuk bis ini tidak muat, bis - bis yang ngantri masuk lebih cepat dan lebih banyak ketimbang bis yang lolos jalur ini. Output tidak sebanding dengan derasnya input. Otomatis antrian jadi lebih panjang melebihi pipa yang disediakan.

Sebanyak apa-pun petugas lalu - lintas yang diturunkan ke area itu, masihlah terlalu penuh sesak itu lintasan bis. Karena memang kapasitasnya yang sudah nggak cukup lagi. Apalagi pas pagi hari jam berangkat kerja. Bertumpuk - tumpuk bis, berjejal berlomba menyemburkan asap solar yang menyapu make-up para pekerja yang juga berjubel di situ. Edan.

Ya namanya bis ngantri dan penumpang juga nggak sabaran, maka ketika bis itu mulai mandeg karena ngantri, otomatis penumpang sudah mulai turun bertimbun - timbun dari bis ... meluber ke trotoar disekitarnya. Nggak ada yang salah sih, lha wong bis juga lagi nggak bis maju mentok bis di depannya, ngapain lagi penumpang kalo nggak pada turun untuk berburu bis berikutnya.

Nah, lucunya itu kemarin nggak tau atas kesalahan apa, bis yang saya tumpangin disuruh maju terus sama petugas yang jaga. Lha gimana mau maju, kalo permintaan itu dilayani ya bis yang saya tumpangin akan nyundhul bis depannya. Mungkin petugas itu kesal, karena bis itu menurunkan penumpangnya tidak pada tempat yang benar. ...Seakan kesal banget dengan ulah bis yang menurunkan penumpang disitu.

Ya itu tadi, memang sebelum memasuki area halte dimana penumpang bis boleh naik-turun, bis itu telah macet duluan, ya otomatis penumpang pada berhamburan turun. Bagi saya hal ini merupakan kesalahan lokasi, bukan kesalahan prosedur. Dan kesalahan ini karena sebab khusus. Yang saya belum bisa mengerti adalah mengapa petugas itu memukul - mukulkan tongkatnya ke badan bis, menyuruh - nyuruh maju terus, padahal semua orang waras juga tau itu nggak mungkin.

Setelah bis maju, maka usai juga acara pukul-pukul tadi. Masih ada beberapa penumpang tersisa yang nggak sempat turun dari bis. Nah, para penumpang terakhir inilah yang malah benar, dia turun di tempat yang benar. Tapi cuma sedikit gelintir penumpang yang turun di halte, ya karena sebagian besar sudah terburai tadi.

Usai turunnya sedikit penumpang ini, terjadi insiden kecil. Rupanya ada praktek premanisme di area ini. Jadi, andai ada bis menurunkan penumpang, ternyata kernet bis harus membayar sejumlah uang ke preman halte, demikian juga bila ada penumpang naik. Insiden yang terjadi adalah preman itu meminta sejumlah uang yang menurut kernet bis terlalu banyak. Kernet beralasan bahwa separoh lebih penumpang bis-nya tidak turun di area halte itu. Preman halte masih juga kukuh bahwa itu-pun masih jatah dia. Petugas lalu lintas tampak beberapa berada di sekitar lokasi itu tetapi membiarkan saja, seakan menganggap lazim saja ada kutipan liar seperti ini.

Dengan ekor mata saya masih melihat petugas bertongkat di ujung jalan sana masih saja menyuruh - nyuruh bis yang tertegun macet untuk harus menurunkan penumpangnya di halte. 'Maju...! Maju...!'...Dok..! Dok..! tongkatnya memukul badan bis. Dan, kalau bis menurunkan sebanyak - banyaknya penumpang di halte, maka rasanya preman halte-lah yang mendapatkan banyak uang pungli. Ada apa di disini ? Dimanakah bis harus berhenti ? Dimanakah penumpang harus turun ? Petugas tadi ...? [] haris fauzi - 29 september 2006

No comments: