ANUGERAH TERBAIK
Tak pelak lagi, salah satu anugerah terbaik dari Tuhan adalah diciptakannya segumpal otak yang ditanam di kepala manusia. Dalam kitab suci diceriterakan banyak sekali perihal keutamaan otak ini. Kalau di Al Qur'an seringkali ayat - ayatnya dimuati dengan kalimat:"...bagi orang - orang yang berpikir...". Ya maksudnya ayat tersebut menuntut orang untuk berpikir --menggunakan otaknya-- dalam mencerna kalimat Tuhan tersebut. Dan berarti pula merupakan anjuran Tuhan agar kita banyak - banyak menggunakan otak kita.
Seringkali pula kita mendapati pada jaman SD dulu, seorang guru yang menanyakan kepada murid - muridnya,"....apakah bedanya manusia dengan binatang ?". Maka serempak murid - muridnya menyahut "..manusia punya otak, sementara binatang tidak..". Sebenarnya sih biarpun udang juga punya otak, cuma ada beberapa perbedaan fungsi dengan otak milik manusia.
Itulah pula kenapa dalam ajaran - ajaran Agama Tuhan, seringkali kita harus mengerti bahwa Tuhan murka bila anugerah terbaiknya itu malah disia - siakan, atau bahkan secara sengaja dirusak. Dalam Al Qur'an jelas sekali betapa murkanya Tuhan kepada manusia yang menggunakan heroin dan minuman memabukkan, alasannya adalah heroin dan minuman memabukkan itu merusak fungsi otak. Ya saya sendiri bila memberi kado kepada seseorang, lantas dengan provokatif orang tersebut merusakkannya di hadapan saya, saya setidaknya pasti sakit hati.
Ada sebuah kisah, dimana ada seorang lelaki yang tinggal bersama anaknya sementara istrinya sedang bepergian karena suatu keperluan. Maka datanglah iblis penggoda berwujud wanita cantik. Iblis ini mengajaknya berzina, tetapi oleh lelaki itu ditolaknya dengan alasan bakal ketahuan oleh anaknya. Si Iblis lantas menyuruhnya membunuh anak itu sahaja, namun si lelaki tak mau juga karena anak itu kesayangannya. Tak kurang akal, Si Iblis lantas merayu lelaki itu untuk memilih salah satu dari tiga permintaannya yakni; berzina, atau membunuh anak tersebut, atau meminum minuman memabukkan (khamar).
Menengok pilihan ini, karena dirasa lebih ringan, maka lelaki bodoh tersebut memilih untuk meminum khamar. Al hasil, pilihan yang tidak menggunakan otak ini bermasalah besar. Karena dalam kondisi mabuk -- orang bodoh ini bertindak lebih bodoh lagi. Dalam keadaan mabuk dia berzina, dan dalam keadaan mabuk pula dia lantas membunuh anak kesayangannya karena khawatir tindakannya ketahuan.
Tuhan juga menganjurkan agar manusia bercita - cita dan senantiasa berusaha untuk menjadi orang 'alim'. Alim asal katanya adalah ilmu, jadi maknanya adalah orang yang berilmu. Anjuran untuk kegiatan mengisi otak atau menuntut ilmu ini juga kuat sekali.Khusus untuk hal ini, Tuhan juga memberi rambu - rambu, karena bagaimanapun juga kepintaran seseorang itu bisa membuatnya pongah, congkak, melampaui batas.Tidaklah mudah mengatasi kepongahan ini. Tuhan juga mengutuk keras manusia - manusia yang pongah karena menyombongkan kepintarannya sehingga seringkali dia malah menganggap bodoh Tuhan yang telah memberinya otak. Seringkali kita jumpai manusia yang cukup ilmu, tetapi malahan melecehkan ayat Tuhan.Manusia memiliki potensial baik secara sadar atau tidak sadar berlaku congkak di hadapan Tuhan, dan berarti pula sadar dia telah melampaui batasan yang dimaksudkan-Nya. Tuhan tidak alpa, Tuhan akan menghukum keras kepada manusia yang melewati batas seperti ini. Kemurkaan Tuhan terhadap hal ini juga tertera dengan jelas dalam ayat - ayat di kitab suci. Semoga kita terhindar dari petaka ini.[] haris fauzi - 6 Oktober 2006
STATUS QUO
Nggak bisa kalau nggak biasa. Itu makna gampangnya. Tidaklah usah membayangkan hal - hal yang berbau suksesi politik atau pemerintahan untuk mencoba mendalami makna 'status quo' ini. Nggak perlu suatu rezim untuk menjadikan untaian kalimat dengan kata status quo, saya sendiripun bisa jadi status quo bila saya tidak beranjak karena suatu hal yang tidak lazim.Contohnya gini, bila kita biasa makan pagi dengan nasi goreng, suatu kali nasi goreng itu bisa jadi tidak tersedia. Yang ada hanya roti tawar. Nah, bila kita lantas bersikukuh bahwa 'tidak akan bisa sarapan tanpa nasi goreng', maka hal ini sudah merupakan indikasi status quo. 'Paste !' kalo kata orang - orang tua dulu.
Setidaknya status quo itu ada hal yang sebenarnya tidak bermasalah. Hal ini memang seringkali berbenturan dengan beberapa kelemahan - kelemahan yang ada. Contoh paling gampang adalah masalah proses pengesahan. Ya bila dokumen itu belum disahkan oleh pimpinan kerja karena memang masih ada halamngan, bukan berarti kita lantas harus nekad untuk melegalisasi dokumen tersebut. kalo kasus ini sih namanya penegakan peraturan, bukan 'paste'.
Contoh yang lain adalah soal mutasi. Fahamlah saya bila seseorang karyawan hendak dipindahkan keluar kota, luar daerah, atau-pun luar negeri, maka beberapa akan berkeberatan karena masalah keluarga. Ya ini bentuk lain dari status quo kecil - kecilan, tetapi sebenernya sih merupakan bentuk status quo yang positip. Jadi sebenarnya sih sah - sah saja, selama karyawan yang hendak dimutasi lebih menyintai keluarganya ketimbang profesinya.
Status quo ini bisa juga memiliki kontribusi menjadi orang untuk hidup lebih rentan. Dari sisi ekonomi, sebuah keluarga yang secara fasilitas hidup sudah mapan, seringkali mengeluh bila salah satu kemapanan atau salah satu fasilitasnya tercerabut. Handphone misalnya. Bila sudah biasa menggunakannya, maka kita akan kesulitan sekali seandainya suatu saat keadaan ekonomi kita memaksa kita untuk tidak menggunakannya. Bahkan kita seakan nggak memiliki rasa percaya diri bila tanpa ada ponsel di kantong.
Suatu hari dulu, saya pernah berencana untuk melanjutkan sekolah. Padahal saya sudah tiga tahun bekerja mapan kala itu, dan ini harus ditinggalkan. Bila saya melanjutkan sekolah, maka saya tidak lagi gajian, bahkan malahan menurut istilah Paklik saya ini biasa disebut dengan'Mantab', kependekan dari 'mangan tabungan'; artinya makan tabungan. Dan salah satu status quo adalah saya yang sudah kebiasaan belanja dengan gaji cukup, kali itu harus berhemat dan tidak lagi leluasa menggunakan kartu kredit yang telah saya miliki. Padahal saya sudah tiga tahun merasakan enaknya fasilitas kartu kredit ini. Berat nian ini hati. Berati hati inilah salah satu bentuk status quo.
Beberapa contoh diatas merupakan contoh status quo kecil - kecilan. Walaupun kecil - kecilan, tetapi ini biasanya malah cukup mengganggu.Karena cukup mengganggu, sebaiknya sih memang berusaha untuk dipunahkan. Dicoba untuk direnovasi sehingga tidak berat hati lagi.
Dalam keadaan ekonomi sulit, selain kesulitan ekonomi keluarga itu sendiri telah mencekik, kebiasaan status quo ini membuat jeratan ini makin menyulitkan. Ya itu tadi, kadang ketika terjebak kepada kebiasaan yang sebenarnya kebiasaan itu sendiri semakin mahal dan tidak terjangkau. Kita keberatan untuk tidak melaksanakannya, kita juga mungkin keberatan untuk sekedar bergeser ke alternatif yang lebih terjangkau. Contoh yang tampak jelas adalah fenomena menjelang lebaran, maka kebanyakan orang biasanya membelanjakan uang untuk pakaian dan jajanan. Padahal ini tidaklah terlalu perlu, karena sebenarnya umur pakaian itu berkisar antara tiga - empat tahunan baru rusak. Repotnya seringkali karena terjebak kepada status quo lebaran identik dengan belanja pakaian, maka sebuah keluarga harus berhutang untuk setiap menjelang lebaran guna sekedar mengadakan pakaian dan jajanan. Ini bentuk status quo yang merepotkan.
Mudik, juga memakan banyak biaya dan seringkali orang memaksakan diri untuk melakoninya menjelang lebaran. Memang makna silaturahmi paska lebaran itu dalam dan penting sekali, namun seringkali orang mudik cuma untuk berpesiar semata. Tidak ada tali silaturahmi yang disimpul erat.Dan lagi jamak sudah orang harus berhutang untuk hal seperti ini, tanpa tahu kepastian kapan dia bisa melunasinya. Bila ditilik keperluannya dan bila ditimbang dari biayanya, biasa jadi seharusnya status quo mudik ini dianulir saja. Perlu dipertimbangkan untuk tidak dilaksanakan. Ya daripada harus mudik tanpa tindak lanjut yang jelas, padahal untuk hal itu kita harus berhutang tanpa tau kapan bisa melunasinya.
Saya sendiri tidak mudik ke Malang tahun ini. Mungkin --bisa jadi-- tulisan ini merupakan pembenaran dari pihak saya. Tetapi yang jelas minggu lalu mertua saya telah menginap barang seminggu di rumah saya di Bogor, dan minggu depan untuk kedua kalinya ibu saya mampir ke Bogor dalam tahun ini. Adik saya bakal sungkem ke keluarga mertuanya di Cirebon, sementara Kakak saya sedang ada acara lebaran di Bandung. Repotnya, setelah liburan lebaran anak sulung saya juga harus menjalani ulangan akhir semester di sekolahannya. Dan juga, untuk menempuh perjalanan sekian jauh saya belumlah terlalu siap dananya. Dengan bertumpuk alasan dan 'pembenaran' seperti itu, ...lha ngapain saya harus bermacet - macetan di jalan untuk mudik ? [] haris fauzi - 9 oktober 2006
BETAPA RAMAINYA
Di sekitar rumah saya ada beberapa mesjid dan langgar (musholla). Kalau malam hari, mungkin kedengaran tiga atau empat mesjid dan atau langgar yang menyuarakan pengeras-nya dan kedengaran hingga rumah saya -- tepatnya hingga kamar tidur saya. Dari beberapa mesjid itu, ada yang sejak jam dua dini hari sudah terang - terangan membangunkan orang untuk menunaikan ibadah bersantap sahur. Ya. Sahur itu memang ibadah juga soalnya.
Nggak kurang dari itu, kadangkala pak Satpam pada sekitar pukul dua dini hari juga memulai aksinya untuk membangunkan warga agar bersahur. Bila sampai rumah saya, dia berteriak dan membunyikan lonceng pagar rumah.
Lantas pada pukul tiga lebih seperempat dini hari giliran ponsel istri saya menyalak untuk membangunkan juru masak rumah, ya Istri saya sendiri. Baru lantas pada pukul setengah empat lebih sepuluh, ponsel saya berbunyi mempersilahkan saya untuk segera bangun guna mengisi perut.
Lepas dari itu, beberapa tahun lalu, pada suatu hari dalam rapat pengurus mesjid dimana saya tinggal, pernah kami menerima surat dari warga non muslim yang mengeluhkan perihal 'kerasnya suara mesjid di saat orang lagi tidur malam'. Ya saya maklum dengan hal ini, karena mereka tentulah merasa terganggu dan bisa jadi terbangun dari tidurnya karena kerasnya suara dari mesjid. Lha wong saya saja sering terusik, apalagi mereka yang non-muslim.
Saya termasuk orang yang mudah bangun dari tidur, dalam arti seringkali saya sudah bangun duluan sebelum alarm berbunyi. Juga mudah bangun oleh sedikit usikan bunyi. Sering saya terbangun gara - gara alas tilam anak saya berbunyi kresek - kresek karena si anak berpindah posisi. Atau saya beberapa kali terbangun dari tidur malam karena bunyi pompa air yang menyala karena dia harus secara otomatis mengisi tandon. Ya beginilah resiko orang yang tidur ayam.
Lha artinya, dengan memasuki bulan puasa ini pula, hampir setiap malam saya dibangunkan sekitar lima kali dalam tidur malam saya. Kadangkala kalau lagi 'sregep', maka ada mesjid yang belum jauh dari pukul satu dini hari sudah bersuara lantang :"..sahuuuuurrrr....!, sahurrrr.........!". Sang vokalis ini dengan mantabnya menyuruh saya bangun. Padahal saya baru pengen bangun sekitar pukul setengah empat, jadinya tiga jam lebih awal saya sudah harus terjaga. Dan saya-pun harus berusaha tidur kembali, walau sejam kemudian saya kembali harus bangun karena lonceng pintu pagar yang digoyang oleh Pak Satpam. Repot memang.
Kalau alarm ponsel Istri saya yang menyalak keras pada pukul tiga, sebenarnya saya tidak masalah, karena sebenarnya saya juga ingin bangun sekitar pukul tiga. Bisa ngerjain yang lain dulu sebelum nyantap sahur,.... entah nonton rekaman konser, membaca buku, atau menunaikan sholat tambahan.
Yang bagi saya pribadi agak gaduh ya sebenarnya bila ada mesjid atau peronda sahur yang sudah beraksi terlalu dini pada tengah malam. Waduh. Ini aksi di luar skenario istirahat saya. Soalnya setelah bersahur saya tidaklah sempat untuk tidur lagi, karena sekitar pukul lima saya sudah harus berada di jok mobil untuk berangkat kerja.
Mungkin para pembangun sahur yang berada di mesjid dan peronda sahur itu hendak mengingatkan kita supaya tidak alpa bersahur. Mungkin niat baiknya insya Allah seperti itu. Namun beliau - beliau ini sering lupa, bahwa kita masing - masing sudah punya kepentingan dan rencana. Dan bagi yang belum punya alarm, bisa jadi dia juga tidak perlu dibangunkan pada tengah malam.
Ya begitulah. Begitu ramainya hingga tidur malam saya terpotong lima bagian. Entah tidurnya orang lain. Seyogyanya --menurut hemat saya-- jangan sampai terjadi anggapan bahwa aktivitas mesjid dan aktivitas peronda sahur hanyalah mengganggu istirahat penduduk sahaja. Belum lagi di bulan puasa ini, --selain mesjid dan peronda sahur berlomba - lomba membangunkan orang, juga ditambahi bunyi mercon yang jedar - jeder di setiap saat menambah beban berat keberisikan malam bulan puasa. Betapa ramainya malam bulan puasa ! Ah, saya memang orang awam yang gampang terbangun tidurnya......[] haris fauzi 10 oktober 2006
TEH
Sebagai orang Jawa; leluhur Jogja dan lahir di Malang,-- maka saya teramat akrab dengan minuman yang satu ini. Teh yang tipikal Jawa Tengah adalah teh manis yang disajikan dalam kondisi panas, dan katanya kebanyakan orang suka dengan konsentrasi teh yang kental. Menurut banyak orang sepuh, teh seperti ini biasa diminumkan kepada orang yang tengah mengalami 'tidak enak badan'. Walau orang sehat sendiri juga senang meminumnya, soalnya nikmat memang.
Catatan khusus untuk tulisan ini, setiap saya menyebut teh, berarti yang saya maksud adalah teh manis, karena begitulah standar di Jawa sebenarnya. Kalau kita pesan minum teh di warung, maka yang tersaji adalah teh panas manis. Agak berbeda dengan di Jawa Barat yang berparadigma minum teh berarti ya minum teh tawar.
Sejak kecil kami sekeluarga biasa minum dua gelas teh seperti ini --tepatnya dua mug-- dalam sehari. Mug saya kecil berwarna merah, sementara kakak adik punya warna spesifik sendiri - sendiri. Pada pukul lima pagi minuman itu sudah tersedia di atas peti yang kami fungsikan jadi meja. Pada pukul lima pagi juga sudah ada dua gelas besar-- yang satu teramat besar; milik Bapak ... gelas satunya jatah Ibu-- juga terhidang teh panas yang diletakkan di meja makan. Pada pukul lima sore juga terhidang teh manis panas itu kembali. Pokoknya sehari dua kali.
Teh seduhan Ibu dulu adalah teh Gopek Slawi, diseduh air mendidih, dan digulai dengan pekat. Manis sekali. Selain gula yang pekat, tehnya juga gelap sekali. Sedemikian pekatnya hingga mug kami bernoda coklat tua yang tak lekang oleh cucian sabun.
Kalau berkesempatan mudik ke Jogja-- ke rumah Simbah di kaki gunung Merapi sana, maka ada nuansa yang tak terlupakan. Teh seduhan Simbah tidaklah istimewa, karena hanya teh yang biasa dijual di desa - desa. Tetapi aroma dari air yang dididihkan dengan kompor tungku berbahan bakar kayu atau pelepah kelapa inilah yang bikin kangen. Dididihkan langsung di atas ceret logam yang berwarna hijau itu --kadangkala untuk menjaga suhunya agar tetap panas ceret ini lantas diselimuti dengan semacam topi terbuat dari kasur,-- dan untuk menyajikannya dituang ke gelas - gelas 'gratisan' yang berlabel macam - macam, ada gelas bermerek bumbu masak, gelas hadiah dari mi mentah, dan lain - lain. Maklum, Simbah punya warung kelontong lengkap dengan pangkalan minyak tanahnya. Sekarang menu teh itu telah berubah, terutama karena sekarang sudah jamannya kompor gas, tetapi gelasnya masih bertabur iklan seperti jaman saya berumur lima tahun.
Kalau lagi mujur, saya berkesempatan menikmati teh panas dengan gula batu bikinan Simbah. Sebetulnya menu ini khususon dibuat untuk mBah Kakung --Kakek-- saya. Rasa gulanya tidaklah lebih manis menurut saya, tetapi lembut. Teh dengan gula batu inilah yang akhir - akhir ini mendominasi minat minuman malam saya. Istri saya seringkali membuatkan saya teh dengan gula batu, karena pengennya saya memang seperti itu.
Ketika lajang dan saya numpang di rumah kakak saya yang juga lajang, disana juga tinggal saudara saya, namanya Mas Sungkono -- dari wajahnya sudah kelihatan kalau beliau ini asli Gunung Kidul Jogja. Hobinya sepulang kerja adalah menyeduh teh panas manis, lantas menikmatinya dengan sebatang rokok dan bertelanjang dada. Pake kathok kolor thok. Manteb tenaaann.....
Bila saya dolan ke Solo, tempat kelahiran Istri saya, maka yang perlu saya catat adalah bahwa selain Ibu mertua menyukai teh racikan, juga teh seduhan Ibu mertua saya gulanya banyak sekali. Manis abis pokoknya, kadang sampai terbatuk saya bila meminumnya terlalu banyak.
Pada saat saya terserang potensial hipertensi beberapa tahun lalu, saya beberapa kali menikmati teh jamu, juga beberapa kali meminum teh hijau, atau teh dari macam - macam bunga yang dominan warna merah itu. Kebetulan adik saya pernah mengirimnya, dan juga saya pernah mendapat teh seperti itu juga karena ada teman yang membawanya dari China. Rasanya sedikit kecut, tetapi bila diberi pemanis akan nikmat sekali.
Oh, ya. Pas saya melancong ke beberapa tempat di China dan Taiwan, saya berkesempatan mencicipi bermacam - macam teh dari berbagai kondisi dan lokasi. Pokoknya puas menengok variasinya. Nggak cuma restoran, hampir setiap kantor juga punya suguhan teh khasnya, kebanyakan sesuai asal leluhur Boss-nya. Namun yang menjadi ingatan di kepala saya adalah para pelayan restoran yang bertugas menuangkan air teh. Jadi di setiap restoran, para pelayan harus segera menuangkan teh bila gelas teh pelanggannya sudah kosong. Adatnya otomatis begitu. Kalau yang pakar, maka menuangnya ditambahi sedikit atraksi. Tapi yang tanpa atraksi juga banyak. Yang saya tandai adalah sebelah tangan mereka rata - rata lebih kekar dibanding tangan yang lain, karena mungkin selalu mengangkat teko teh yang tidak kecil itu.
Juga pada saat saya masih sekolah, maka saya hobi sekali minum es teh manis. Apalagi sehabis sepak bola, minum es teh manis ini membuat kerongkongan segar. Oh, ya perihal minum sehabis olah raga, pernah saya dan Paklik saya bermain bulu tangkis sampai kehausan. Ketika pulang kami membuat es markisa, lantas bersicepat meminumnya sepuas - puasnya. Rasanya sungguh segar, '...seperti di sorga...!', kelakar Paklik saya.
Beberapa hari yang lalu, Mertua saya berkunjung ke Bogor dan membawa oleh - oleh beberapa botol madu lebah. Demikian juga ketika Ibu saya dolan ke Bogor juga membawa tiga jerigen madu. Yang terjadi adalah overstock madu. Saya langsung mengubah operasi teh ini. Karena saya termakan opini bahwa madu bakal menyehatkan tubuh, maka kali ini saya paling demen bila minum teh dengan pemanis madu. Rasanya sih memang mantab. Silakan coba sendiri.[] haris fauzi - 13 Oktober 2006
KAWAN BERGELUT
Seakan - akan tak hendak saya lepaskan jua buku nan kecil satu ini. Membikin saya tergelak dan perut berontak, serta tertawa hampir menitik air mata. Kalau toh tidak mengingat usia, mungkin pula saya tergelak-tawa di pemberhentian bus karena ulah penulis satu ini. Kali ini saya memang hendak berceritera tentang seorang mualim pena bernama Suman Hs, dimana telah menulis buku yang sedang saya pegang ini, berjudul 'Kawan Bergelut'. Orangnya terlahir di Bengkalis pada tahun 1904 tempo lalu, gaya bertuturnya mengingatkan kepada sastra melayu lawas, lengkap dengan segala banyolannya. Tengoklah, di buku keluaran Balai Pustaka ini dia mengajak kita kembali ke sastra tanah Sumatera;
Karena tiap - tiap hari ia mendengar bual orang tentang keadaan negeri yang ramai - ramai, maka inginlah pula ia hendak meninjau negeri besar itu... kok, bagaimana benarlah rupanya.
Saya menyebutnya dengan Kakek Sang Jagoan Cerpen. Sungguh berbeda dengan cerpen - cerpen yang sering anda jumpai di majalah mode remaja sekarang, tulisan Suman Hs benar - benar pendek dalam berceritera. Mungkin satu lembar folio cukuplah untuk mengalirkan skenarionya yang sangat ekspresif dan kocak. Tidak berbasa - basi, namun ceriteranya telah dimuati dengan segala hal termasuk nasehat dan petuah. Mungkin cara seperti inilah dia meniti profesinya, sebagai Guru di Sekolah Rakyat. Seingat saya, banyak juga guru yang punya keahlian bertutur lewat cerita pendek. Dan dengan alasan ini pulalah, semua kisahnya menarik hati baik anak - anak hingga orang dewasa, segala umur dan segala jaman. Saya yakin kelak anak saya-pun bakal menyukai buku ini.
Suman Hs juga koncak penulisannya. Dilihat dari tampang yang ada di sampul belakang, Pak Suman ini bisa jadi memang jenius dan lucu. Dalam pas-foto setengah badan itu beliau berpose mengenakan setelan hitam dan peci hitam pula seperti kerani atau lurah. Alis kanan lebih tinggi dari alis kiri. Kerut - kerut di wajah tua-nya tidak memudarkan kesan jeniusnya.
Dalam kisah - kisah di bukunya juga mencerminkan hal itu. Bagaimana dia berceritera tentang pedagang gambir yang turun ke kota Singapura, yang akhirnya berantem dengan tukang kedai makanan. Dia mengira pemilik kedai akan meracunnya dengan serpih kaca, padahal itu adalah gerusan es batu yang hendak disajikan bakal minumannya.
Juga betapa kocaknya ceritera tentang perkenalan orang arab - musafir dengan Si Bogor yang malah di ajak bertaruh dengan buah manggis. Pokoknya kita mestilah tergeli - geli membaca tulisannya yang lancar itu.
Salah satu aset sastra Indonesia ini memang unik. Karya yang di terbitkan tidak lebih dari lima buku, tetapi dia tertancap tangguh di peta sastra Indonesia. Gaya bertuturnya dan gaya bahasanya seperti gaya melayu kuno, tetapi dia termasuk pujangga baru karena setting cerpen-nya bukan berkisah tentang raja, hulubalang, dan puteri raja. Suman Hs bercerita kehidupan kampung alakadarnya. Saya membeli buku 'Kawan Bergelut' ini di tahun 1998, pada saat itu harganya empat ribu tiga ratus lima puluh rupiah. Entah harga sekarang, mungkin tidaklah berbeda terlalu jauh.[] haris fauzi - 17 Oktober 2006
CUACA
Kemarau kali ini betapa hebat. Rasanya baru kali ini saya bisa melihat sepanjang tol Jagorawi rumputnya menguning kekeringan. Memang di Bogor Utara, dimana saya tinggal, dalam dua hari telah turun hujan lebat --walau masih disambung kering lagi seminggu. Puji Tuhan. Nyamuk sedikit berkurang, walau belum habis sama sekali, sehingga saya masihlah belum bebas tidur di muka televisi sambil menghabiskan tontonan konser yang kadangkala saya jalani menjelang malam. Apa enaknya nonton konser Whitesnake yang gagah itu kalau telinga diteror oleh gerombolan nyamuk ?
Minggu - minggu lalu saya juluki dengan puncak kemarau, ya karena awal minggu ini telah hujan dua hari itu. Walaupun seminggu sekali --paling tidak menjelng dua mingguan-- pasti turun hujan di Bogor Utara, tetapi tetap saja sudah dua kali ini sumur saya mengecil debit outputnya. Apa akibatnya ? salah satunya adalah lumut di instalasi air jadi kering dan mengelupan, terutama lumut dari tandon. Akibatnya mereka bergumpal - gumpal keluar dari keran air, atau malah menyumpatnya sama sekali. Sudah dua keran air yang tersumpal seperti ini, bikin Istri saya sewot saja.
Panas matahari kesehariannya telah membakar tanah. Setidaknya taman depan rumah yang biasanya seminggu sekali disiangi rumputnya, kali ini telah empat bulan rasanya tidak perlu saya membayar orang untuk memangkas rumputnya karena telah kering dan cebol semua dimakan cuaca. Itu di Bogor. Lha di Karawang dimana saya bekerja lebih terik dan menyengat lagi. Kata anak saya, saya jadi lebih hitam kulitnya.
Segala perbincangan di tongkrongan pasti tak luput dari perihal cuaca. Termasuk ketika pada hari Minggu kemarin hendak berbuka puasa bersama di kampung, dengan kehendak Tuhan telah turun hujan sejak waktu ashar. Padahal siang harinya saya berterik - terik untuk ikutan rombongan semprotan pengasapan anti nyamuk sekeliling kampung. Walah, panas matahari bercampur asap racun nyamuk menyekap kerongkongan---haus serasa dicekik. Dan rejeki hujan itu membuat sedikit berkurang cekatan kerongkongan ini karena sejuk hawa turun hujan. Deras, dan merinyai menjelang maghrib. Tetap saja saya harus menunggang mobil kalau hujan begini, jaga - jaga bila menjadi deras. Daripada anak - anak pilek kehujanan. Di perbincangan kala itu juga dominan membicarakan cuaca. Pak Ustadz yang berpanjang lebar menjelaskan pelafalan surah Al Fatihah, dan telah di dengar dengan khusyuk, tak urung begitu acara ramah - tamah pembicaraan tak bergeser dari turunnya hujan lebat barusan.
Kabarnya ini memang masa kemarau panjang. Banyak skenario tertuang. Diantaranya adalah temperatur laut yang masih dingin, jadinya ya belum panas. Jelas begitu. Akibatnya uap bakal mendung masih sedikit. Dampaknya ya hujan masih jarang. Ada juga yang berpendapat bahwa saat ini ada cobaan turun dari Tuhan, karena manusia - manusia di bumi ini makin teledor ibadahnya, makin runyam kelakuannya. Maka diingatkan untuk lebih berzikir dan berpikir. Para orang tua membenarkan. Jaman dahulu, bila kemarau sudah melebihi bulan Agustus, maka telah marak dihimbau sholat 'mohon hujan' di mesjid - mesjid. Ramai semua surau, mesjid, musholla, dan lapangan - lapangan melakukan hal ini. Memohon kepada Tuhan agar disegerakan turun hujan. Itu jaman dulu. Jaman saya kecil rasanya saya juga pernah tau hal ini. Tapi jaman sekarang berbeda. Gema sholat 'mohon hujan' ini kurang populer, sedikit sekali yang melakukan. Saya juga sampai detik ini belum melaksanakannya.
Mungkin jaman memang bergerak. Seiring dengan kebakaran hutan di pulau seberang yang tak kunjung padam, maka daripada solat, orang lebih mengandalkan proyek hujan buatan untuk dua hal : memadamkan kebakaran hutan, sekaligus menutup musim kemarau. Harapannya sih begitu, tetapi rasanya tidak mulus pelaksanaannya. Buktinya sampai detik ini kemarau masih merajalela seiring dengan tersendatnya hujan buatan. Terlalu optimis ! [] haris fauzi - 18 Oktober 2006
GALAK - GAMPIL
Beberapa hari yang lalu saya terima surat elektronik yang berisi pesanan penulisan. Untuk kedua kalinya saya mendapat ide penulisan karena orderan semacam ini, yang pertama pada sekitar bulan Juni di tahun 2005 dari senior saya, mas Baron,. Dan kali ini dari teman dekat, --mantan rekan se-kantor dulu, namanya mas Adit. Dulu dengan mas Adit saya sering pulang bareng beberapa rekan lain dalam satu omprengan karena memang rumah kami searah. Saya memanggilnya dengan' mas', karena dia orang Jawa, dan ungah-ungguhing Jawa seperti itu. Untuk kesopanan sahaja, padahal umur kami beda tipis.
Mas Adit merupakan satu - satunya rekan kantor yang datang saat akad nikah saya yang diadakan di Solo, hal ini juga karena mBak Tutut --istrinya mas Adit-- ternyata kakak kelas Istri saya.
Mas Adit usul ke saya untuk menulis ihwal 'bagi - bagi duit pas lebaran'. Kalau istilah adik saya, ini namanya 'galak-gampil'. Entah arti sebenarnya menurut jawara bahasa apa. Tetapi kalau bagi saya, mungkin ini plesetan dari 'golek' dan'gampil'. Golek berarti 'cari', dan 'gampil' berarti 'gampang'. Cari cara gampang dapet uang.
Bisa jadi ini benar adanya, soalnya seorang anak --biasanya belasan tahun-- pas lebaran biasa berkunjung ke rumah - rumah tetangga, kerabat, dan handai tolan, lantasbersalaman dengan tuan rumah, cicipin kue lebaran, dan pamitan sekaligus menerima lembar duit receh. Inilah ritual galak-gampil itu. Gampang bukan ?
Kalau dulu jaman saya kecil uangnya koin, sehingga bila dapat banyak maka kantong baju dan celana akan kelihatan menggelembung dan sarat. Lantas entar dihitung rame - rame, mbanding - bandingkan dengan yang lain, serta tidak lupa memuji tuan yang memberi paling banyak --dan tentunya meledek orang yang tidak memberi atau paling sedikit membagi duit galak-gampilnya. Biasanya gitu.
Namun kalau jaman kali ini duitnya lembar kertas. Biasanya masih baru kertasnya, kempling, dan bila disusun segepok atau barang sepuluh lembar maka bisa diketuk - ketukkan ke meja karena lembarnya belumlah lembek. Tepatnya saya ndak tau, bisa jadi sekarang lembar lima ribuan. Atau mungkin bila memang ada tuan yang kaya, atau pingin dipuji, atau tidak kerasan bila cuma jadi juru kunci, bisa jadi beredar duit galak-gampil dengan nominal dua puluh atau lima puluh ribuan. Atau bahkan lebih.
Saya sendiri oleh orang tua saya dilarang mengikuti ritual-galak gampil ini. Walau sekali dua masih diberi oleh saudara rantau. Ya memang, galak-gampil ini juga berlaku pada saat kumpul mudik orang - orang saudara rantau. Saudara atau famili rantau yang sukses bila pulang kampung akan dengan senang hati membagikan lembar - lembar ini di kala lebaran. Seorang teman kantor pernah menukarkan uang 'besar'-nya menjadi segepok receh lima ribuan. Ya untuk menyongsong mudik seperti ini, bagi - bagi. Ini sudah tradisi Indonesia.
Entah karena saya pas kecil dilarang ikut galak-gampil, dan mungkin karena saya juga pelit, saya sendiri hingga kini belum pernah membagikan khusus duit buat galak-gampil ini. Nggak sreg gitu. Entah nggak sreg-nya dimana, yang jelas saya cuma mbatin: 'kok lebaran bagi - bagi duit kaya kampanye aja ?'. Kampanye-pun rasanya nggak ada asik - asiknya bila bagi - bagi duit seperti ini. Apalagi setelah itu dibanding - bandingkan siapa yang paling royal dan siapa yang paling pelit.
Hampir sama rasanya dengan saat Istri saya usul asal ceplos untuk membuat parsel. Saya nggak sreg juga, walau kondisinya jelas beda, namun tetap saja ada unsur memperbandingkan antar parsel. Kalau sekedar bingkisan alakadarnya atau oleh - oleh mudik buat satpam komplek sih saya nggak terlalu masalah, tapi kalo trus buat jor - joran ya saya jelas ogah. Ya itu juga, soalnya ngomong parsel sekarang ini juga sensitif. Ini juga faktor yang membuat perasaan nggak sreg, konotatif begitu. Entah akan ada alasan 'nggak sreg' apa lagi perihal budaya seperti ini, mungkin ada ihwal yang belum sempat konangan. [] haris fauzi-- 19 Oktober 2006
KEPALA NEGARA
Jaman dahulu, di Nusantara ini sering dibuat patung - patung untuk mengabadikan para Pemimpin Negeri. Banyak contoh dan restan patung - patung raja yang masih bisa kita sua sekarang, walau tidak semuanya. Kalau pada jaman ini ada patung kepala negara, tentunya Irak juga pernah membangun patung Saddam Husein yang melegenda itu. Di Sovyet juga pernah ada patung kepala negaranya, juga pernah ada patung Hitler di Jerman. Di benua Amerika telah dipahat sebuah tebing guna mengabadikan wajah empat Presiden teladan Amerika Serikat. Dua diantaranya adalah Abraham Lincoln 'Bapak Pembebas Budak' dan George Washington 'Sang Proklamator Bangsa',.... sisanya saya lupa wajah siapa. Kalau masih ingat film sinema 'Superman' (entah yang keberapa), tebing ini pernah dijadikan salah satu lokasi adegan yang cukup mengena. Yakni dalam film itu wajah para presiden di tebing itu diubah menjadi wajah - wajah musuhnya Superman. Musuh - musuh Superman ini ternyata juga pengen menguasai dunia...dan menjadi pemimpin di bumi ini !
Di Indonesia, setiap sekolahan, instansi pemerintah, dan lembaga bisa jadi pasti ada foto pasangan Presiden dan wakil Presiden dengan ditengahi gambar Garuda Pancasila. Ya karena memang dihimbau seperti itu, dan jaman dahulu bahkan ada auditnya segala, takut - takut salah posisi pasang. Saya mengenal regulasi ini pas jaman masih duduk di bangku SD. Jadi Garuda ada di tengah, posisi paling tinggi pula. Lantas foto Presiden dan Wakil Presiden di sampingnya dengan batasan tinggi pada garis tengah --khatulistiwa-- perisai Garuda Pancasila.
Dalam buku saku berjudul 'Ahmadinejad!' terbitan kelompok Mizan disebutkan bahwa Mahmoud Ahmadinejad pada saat minggu pertama terpilih menjadi Presiden Republik Islam Iran meng-instruksi-kan agar jangan sampai ada lembaga atau badan apapun yang memajang fotonya. Jadi, sampai saat ini fotonya tidak akan bisa dijumpai di gedung - gedung manapun --bahkan mungkin di gedung pemerintahan. Ya karena Presiden yang mengaku berwajah 'pasaran' ini memang memberlakukan larangan untuk memajang foto Presiden. Kelakuan Ahmadinejad ini memang anomali.
Selain dalam bentuk patung, pajangan foto, atau perangko, juga ada ide lainnya. Turkmenistan, suatu negeri yang agak tertutup. Saya belum pernah ke sana. Disana kabarnya hanya ada empat channel televisi, dan di bawah koridor lembaga pemerintah semuanya. Di ke-empat channel itu, di posisi ujung atas selalu terpampang foto wajah sang Kepala Negara. Jadi, setiap nonton televisi pasti nonton fotonya.
Ada lagi cerita yang lain. Saya juga belum pernah pergi ke Thailand. Tetapi kata beberapa orang, di negeri Thailand itu segala lapisan masyarakat sangat hormat kepada Raja dan Permaisurinya. Begitu hormatnya, hingga di bangunan - bangunan umum, seperti rumah sakit, mall dan plaza, atau bank, seyogyanya disediakan bangku khusus untuk Sang Raja dan Permaisuri. Walau sebenarnya sang Raja dan Permaisuri tidaklah pernah atau belum pernah ke sana. Jadi semacam tempat spesial begitulah, buat berjaga - jaga.
Ya begitulah, gambaran alakadarnya tentang sosok dan atau 'eksistensi' kepala negara di wilayahnya masing - masing. Mungkin ada yang bisa mengklarifikasi dan mengkoreksinya, karena saya memang belum pernah punya kesempatan untuk membuktikan langsung benar adanya itu,-- atau mungkin juga ada yang mau menambahkannya.[] haris fauzi -20 Oktober 2006
IDUL FITRI *)
Hari - hari akhir puasa relatif saya lebih santai, hari - hari akhir ramadhan kali ini saya tidak disibukkan dengan acara mudik. Dan karena sudah memasuki masa libur kerja saya malah bisa menyempatkan untuk sholat tarawih di mesjid. Sekali saya sempatkan di Mesjid Raya Bogor, dan dua kali di Mesjid Baiturrahman di komplek. Dalam keseharian sebelumnya, saya memang lebih terbiasa mengerjakan sholat tarawih di rumah, menemani Istri. Apalagi tarawih hari pertama dan terakhir, menurut guru ngaji saya sebaiknya ditunaikan di rumah, soalnya Rasul Muhammad jalam dulu seperti itu, --sholat tarawih di rumah di awal dan akhir ramadhan-- gitu jelasnya. Yang jelas, karena di akhir ramadhan Istri saya sedang berhalangan sholat, maka saya malah menghabiskan sisa tarawih semuanya di mesjid.
Selain itu, pada hari pertama libur --Sabtu-- saya sempatkan juga buat jalan - jalan ke Taman Buah Mekarsari, Cileungsi -- sekitar 15 kilometer dari gerbang tol Cibubur. Yang ternyata jadi kendala kalo di bulan puasa, apalagi kalo bukan panas cuacanya itu. Bikin super haus. Masalahnya adalah lokasi parkiran mobil yang cukup jauh dari pendopo utamanya, jalan kaki menerobos lapangan parkir di panas terik begitu, nggak bawa payung pula ! Untungnya cuma satu : mobil saya bisa nongkrong di bawah pohon teduh, jadi mobilnya nggak megap - megap. Saya berharap suatu hari mobil pengunjung boleh dibawa masuk berkeliling. Tidak perlu jalan kaki kepanasan dan bisa berhenti semaunya, tidak perlu sungkan telah ditunggu oleh seluruh penumpang kereta api mainan yang sekarang jadi sarana transportasi untuk keliling komplek kebun nan panas ini.
DI Mekarsari anak sulung saya sempat memetik buah melon glamor yang ranum, kebetulan sedang memasuki masa panen. Lha anak yang kecil malahan sempat mencicipi sampel sepotong buah melon putih yang wangi. Waduh, disini godaannya, karena sayalah yang harus menyuapi dia. Wangi melon itu sampe ke kerongkongan menambah haus saja, apalagi giliran saya patahkan maka airnya deras menetes membasahi jemari.Kalo melon glamor warna buahnya kemerahan dan manis sekali, saya tentunya baru bisa mencicipinya setelah tiba di rumah dan masuk waktu berbuka. Sementara melon putih yang bener - bener putih dan berkulit tipis seperti apel itu kata anak saya rasanya manis dan banyak airnya. Benar tidaknya saya nggak tau. Lha wong anak saya masih berumur dua tahun. Pulangnya sempat membeli sirup jus jeruk kunci campur madu. Nikmat bila diminum campur es batu.
Sebetulnya, kira - kira seminggu sebelum lebaran (tepatnya saya lupa), saya mendapat informasi dari keluarga besar leluhur yang berpusat di kaki gunung Merapi, bahwa lebaran jatuh pada hari Senin. 'Mesjid Rejodani sholat Ied hari Senin', gitu kata Ibu saya.Ternyata mesjid di komplek saya kemungkinan menyelenggarakan sholat Ied di hari Selasa mengikuti ulil amri (pemerintah). Ya nggak pa-pa, saya cuma sempat ngobrol ke pengurus mesjid, bahwa sebaiknya acara bagi zakat harusnya kelar pada hari Minggu, biar semua zakat yang musti dibagi sebelum sholat Ied itu afdol jatuhnya. Seperti kita ketahui, hukum zakat fitrah itu harus dibagikan sebelum sholat Ied.
Minggu malam Senin saya sekeluarga keluar rumah menuju tengah kota Bogor --hampir pukul delapan malam, survey bakal lokasi sholat Ied. Saya harus mencari mesjid yang sudah yakin memastikan bakal berlebaran hari Senin, alias tidak terpengaruh apapun keputusan ulil amri. Yang menarik adalah pada malam itu sekitar pukul delapan malam memang bakal ada pengumuman dari ulil amri perihal jatuhnya lebaran, mangkanya banyak mesjid yang sampai jam segitu belum menunaikan sholat tarawih. Masih menunggu. Wait 'n' See. Bila lebaran jatuhnya hari Senin, maka mereka akan takbiran menyongsong lebaran. Namun bila jatuhnya Selasa, maka mereka akan menunaikan sholat tarawih kembali. Ternyata usai pengumuman dari ulil amri membuat sebagian besar mesjid memilih untuk kembali melaksanakan tarawih dan menunda takbiran, berarti mereka berlebaran hari Selasa sesuai pengumumannya. Saya jadi agak kesulitan mencari lokasi sholat Ied untuk hari Senin. Memang ada satu mesjid di Bantarjati yang punya ide menenangkan, yakni mereka akan melaksanakan sholat Ied dua kali. Nah yang kayak gini saya sepakat sekali, ide seperti ini pernah saya kemukakan ke Pengurus mesjid di komplek, namun mereka kesulitan merealisasikan, mungkin karena masalah lokasi.
Lebaran, kalau dalam bahasa jawa kurang lebih berarti 'saat usai'. 'Le' itu seperti dalam kalimat pertanyaan 'le mangan kapan ?', artinya 'saat makan kapan ?'. Sementara 'baran' dari 'bar-baran', artinya usai, bubaran. Berbusana batik papua 'lungsuran' mendiang Ayahanda, saya menunaikan sholat Ied di jalanan dekat pertigaan Pemda Cibinong. Disitu digelar sholat Ied yang dikelola oleh Muhammadiyah Cibinong dan diisi dengan khutbah Iedul Fitri yang bagus tentang 'Fitnah Dajjal'. 'Dajjal' dalam Islam artinya adalah 'biang kerok kemaksiatan'. Cirinya bermata satu, bermulut besar, dan tangan kirinya lebih panjang dari tangan kanan. Dalam khutbah itu disebutkan bahwa arti dari bermata satu adalah berarti hanya bertindak dari sudut pandang materi, meninggalkan aspek rohani. Bermulut besar artinya suka berbohong dan memiliki standar ganda dalam segala keputusan tindakannya. Sementara bertangan kanan pendek berarti perlambang tidak pernah ikhlas melakukan kebaikan - kebaikan. Pak khotib menyampaikan bahwa di akhir jaman seperti ini ternyata ada sebuah negara yang berlaku seperti 'dajjal' ini.Sebelum pulang dari arena sholat Ied, saya sempat dijanjikan bakal diberi kopi rekaman khotbah kali itu oleh salah satu pengurus Muhammadiyah yang bernama Mas Heri.
Ustadz yang biasa mengajar pengajian di komplek saya, --Pak Nuruzzaman-- mengisi sholat Ied di lapangan tenis komplek dimana saya tinggal, pada pagi hari berikutnya; Selasa. Dan pada hari kedua ini saya kembali menunaikan sholat Ied lagi di lapangan komplek untuk mengikuti ceramah / khutbah beliau. Ya hukumnya sholat Ied itu memang cuma sunnah, dimana khutbahnya lebih penting ketimbang sholat-nya. Sholatnya berfungsi sebagai sarana untuk mengumpulkan jemaah.
Di tengah para tetangga yang kurang dari separoh karena sebagian telah mudik, sholat Ied di komplek punya sedikit catatan, yakni pada saat takbiran para jemaahnya kurang semangat meneriakkan gema takbir, alias takbirnya pelan bin sendu banget. Sehingga pemimpinnya seakan - akan takbir sendirian, atau bisa jadi memang yang lain tidak bersuara. Kalau pas mudik ke Malang, para jamaahnya disana sering adu kuat meneriakkan takbir ini.
Sekali lagi, saya beranggapan bahwa khutbah Iedul Fitri yang cuma setahun sekali dirilis ini pastilah digarap dengan sangat serius oleh para peng-khutbahnya, sehingga sudah bisa dipastikan bakal menarik untuk disimak. Benar gerangan. Apa yang disampaikan oleh Pak Ustadz Nuruzzaman ini sungguh tak kurang menariknya pula. Beliau sedikit banyak bercerita tentang pertarungan abadi manusia melawan setan. Ada empat jurus andalan setan yang harus ditangkal, yakni jurus serangan 'mengaburkan pandangan bahwa akhirat adalah sebagai masa depan', jurus 'kecenderungan cinta materi dan menyia - nyiakan anak yatim', jurus 'melecehkan syiar Islam', dan juga jurus 'merajalelanya kemaksiatan nafsu'.
Yang hebat, apa yang disampaikan Pak Ustadz sungguh mengena di hati para jemaahnya, soalnya banyak yang menitikkan air mata mendengar khotbahnya, apalagi pada saat dipanjatkannya doa. Jadi giliran pas bersalam - salaman, pada banyak yang masih kerepotan menyeka air mata atau terisak - isak.
Asik juga berlebaran dua kali seperti ini. Dulu pas kecil juga pernah saya mengalami hal seperti ini. Kami berangkat mudik dari Malang ke Yogya setelah tunai sholat Ied, sesampai desa kakek di Yogya ternyata baru mulai takbiran. Ya besok paginya sholat Ied lagi. Mangkanya, ini kejadian langka dan unik dimana saya berkesempatan menjalaninya. Eksotis sekali rasanya sholat Iedul Fitri dua kali dalam setahun. Walau nggak mudik, tetapi bagi saya acara seperti ini oke juga. Sepulang dari lapangan tenis, para tetangga berkumpul di pelataran pos gardu bikin acara silaturahim kecil - kecilan sambil berdengung laksana lebah : ' Selamat Hari Raya Iedul Fitri. Selamat kembali dalam Kemenangan. Mohon Maaf Lahir dan Batin'.
Perihal kalimat ucapan pada saat lebaran ini juga sedikit menggelitik. Tahun lalu saya pernah menyaksikan di televisi sebuah kuis, dimana pertanyaannya adalah :"Apakah arti dari Minal Aidin Wal Faizin ?". Ternyata jawaban yang benar --menurut penyelenggara kuis tersebut-- adalah "Mohon Maaf Lahir dan Batin". Wah, ini sih lucu sekali. Sakkarepe Dewe Wae. [] haris fauzi - 1-2 syawal 1427 H
*) KODA
Tulisan di atas merupakan tulisan ke-seratus untuk tahun ini. Seiring dengan musim takbiran, beres sudah target penulisan 'kenisah' untuk tahun 2006. Alhamdulillah. Acara untuk menutup sisa tahun 2006 ini akan diisi dengan proses lay-out dan pembundelannya, ---sambil mengutak - atik rencana kegiatan tahun depan, kalao ada.Kalau dalam 'kenisah' tahun 2005 saya membagi bundelnya dalam tiga bagian; 'in my mind', 'in my life', dan 'in my heart'; mungkin untuk kenisah kali ini akan dibagi berdasar komposisi seperti dalam blognya di kenisah.blogspot.com, yakni berdasar artikel bulanan. Lebih gampang begitu, soalnya kalau merujuk ke tayangan web www.kenisah.solid.or.id , maka teknisnya akan sulit dan hasilnya tidak akan komplit.
No comments:
Post a Comment