Thursday, April 12, 2007

kenisah : tidak sesat

ALIRAN TIDAK SESAT
 
.......BTW, boleh tanya?
apa mas Haris mungkin pernah
ikut pengajian tasawuf  atau tarekat?
Bagaimana rasanya kalau pernah ikut?
Aku pernah tanya ke seorang pengikut tarekat Maulawi,
apa bedanya menjadi seorang Muslim (saja)
dengan seorang Muslim yang ikut tarekat.
Tapi sayang pertanyaan itu
selip dan nggak terjawab.
Siapa tahu mas Haris bisa kasih
komentar juga.....
(penggalan surat elektronik dari bung Anwar Holid)
 
Repotnya saya ini bisa dikatakan tidak pernah. Ya kalau sesekali mungkin saya pernah mengikuti pengajian. Tapi, bila intens binti rutin mengikuti suatu pengajian, maka saya mengaku terus terang bahwa saya tidak pernah. Kecuali pada saat saya masih duduk di bangku kelas 1 SMA ( atau SMP malah ?)  hingga awal -awal kuliah,  setiap hari Minggu saya mengikuti kegiatan yang namanya 'madrasah'.
 
Kegiatan 'madrasah' ini dilakukan mulai pukul tujuh pagi, setelah sarapan, setelah ngepel dan membereskan kerjaan lainnya. Berakhir  kira - kira pukul setengah sembilan. Lokasinya adalah di garasi mobil, dimana tersisa sedikit ruang yang cukup untuk satu papan tulis ukuran besar, juga ditaruh meja cukup besar--bekas meja makan-- yang difungsikan untuk alas menulis. Pesertanya adalah kami bersaudara empat. Saya duduk serong diujung kanan di bemper mobil hardtop alias  tanpa bangku. Kakak dan Adik lelaki saya duduk di bangku butut menghadap papan tulis, sementara Adik perempuan saya ada diseberang saya. Di papan tulis berdiri Ayah yang biasanya mengenakan sarung, lincah tangannya menuliskan penggalan ayat suci yang hendak diajarkan kepada kami.
 
Begitulah acara rutin setiap minggu pagi, belajar 'ngaji' dari Ayah. Kami dapat giliran membaca satu - persatu dan dikoreksi cara membacanya hingga dirasa benar oleh Ayah. Paska itu,  Ayah membeberkan ihwal penjelasan tafsirnya. Acara 'madrasah' mingguan  itu sendiri berjalan kira - kira empat - lima tahunan.
 
Selain itu, nggak pernah saya mengikuti yang namanya itu 'pengajian', apalagi hingga mendetailkan ke aliran - aliran yang spesifik. Bukannya kenapa, memang Ayah --rasanya-- tidak begitu sreg bila kami mengikuti kegiatan 'pengajian' apapun di luaran. Pengetahuan kami  soal agama banyak diisi oleh Ayah sendiri. Mulai dari belajar sholat, tindak tanduk, 'madrasah', hingga jum'at-an-pun kalau bisa kami menyertai Ayah pergi ke mesjid dimana beliau berkhutbah.
 
Lantas, aliran apakah Islam yang diajarkan Ayah kepada kami ? Inilah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Kalau saya boleh menyebut, apa yang diajarkan Ayah memang global sekali, dan inilah jadinya..... saya menjelma menjadi penganut Islam yang  'tidak' spesifik. Mungkin ini yang dimaksud Bung Anwar Holid dengan 'Muslim Saja'. Pengikut ajaran 'Islam saja', tanpa embel - embel penjelasan yang lain.
 
Ayah kami merupakan sosok yang demikian berpengaruh di keluarga. Ayah memegang semua kendali kebijakan. Dia yang menentukan kami harus sekolah dimana, mengambil jurusan kuliah apa. Pada saat hendak mengisi formulir pendaftaran, saya sebenarnya hendak memilih jurusan arsitektur. Tetapi Ayah cuma memperbolehkan saya  memilih antara jurusan teknik Elektro atau teknik Mesin. Cukup itu pilihannya.
Bahkan ketika kami ulang tahun, Ayah menentukan buku seperti apa yang boleh kami pilih sebagai kado. Dia-lah yang membentuk karakter keluarga kami, dan dia pula yang menjadi nahkoda tujuan kapal kami ini. Jadi, dia-pulalah yang menentukan 'warna' agamis dalam keluarga ini. Buktinya ? Giliran beliau wafat, kami yang di tinggal jadi sering kebingungan. Contohnya ketika hendak memutuskan akan  ikut sholat idul Fitri yang kadangkala jatuh dalam dua versi alias dua hari. Soalnya biasanya ada juklak dari Ayah.
 
Keluarga kami 'katanya' berasal dari kalangan simpatisan Muhammadiyah, salah satu tandanya adalah ketika Ayah wafat, kami sepakat tidak bermaksud mengadakan acara  tahlilan. Tapi repotnya, karena pada saat sehat Ayah hiper-aktif dibanyak mesjid di seputaran kota Malang tanpa pandang golongan, -----mesjid apa saja; bisa NU bisa pula yang lain,----  maka para jamaah mesjid yang kebanyakan kalangan NU itu malah berbondong - bondong datang ke rumah hendak bikin acara kirim doa di rumah kami.
 
Pernah pula saya dengar seorang rekan Ayah bertanya soal pilihan aliran NU dan Muhammadiyah ke Ayah. Menjawab pertanyaan itu Ayah hanya terkekeh tertawa sambil menepuk pundak rekannya itu. Saya tidak dengar dengan lengkap apa jawabannya. Yang saya dengar hanya kalimat,''...yang penting bukan aliran sesat...". Tersesat atau tidak tersesat, ini merupakan pembahasan soal aliran atau golongan yang makin susah mendefinisikannya.
 
Lagipula, Ayah mengidolakan Ali Syari'ati --seorang cendekiawan muslim Syiah Iran. Dari Ayah pula saya mengenal pola pikir Syari'ati yang progresif itu. Buku Syari'ati yang Ayah bahas di hadapan saya untuk pertama kali berjudul 'Haji'.  Ketika adik lelaki saya mengenakan baju koko lantas menyelimutinya dengan setelan jas, Ayah mengatakan bahwa apa yang dipakai Adik saya itu mirip pakaiannya Syari'ati.
 
Pada saat saya duduk di bangku SD, Ayah memberi sebuah buku yang amat berkesan bagi saya yang berisi ihwal penyanderaan warga Amerika oleh Khomeini, mangkanya sekarang di teras rumah saya di Bogor  terpampang foto Ayatullah Khomeini.
Namun, jelas - jelas kami bukan keluarga Syiah,  karena apa yang diajarkan Ayah kepada kami sekeluarga mungkin lebih condong ke ajaran - ajaran yang lazim di Indonesia, yakni Islam Sunni. Tetapi apabila ditanya madzab apakah yang di anut dari empat madzab Sunni, maka sekali lagi saya kesulitan menjawabnya. Karena Ayah kami kadangkala mengacu ke empat madzhab itu sekaligus, dan --kayaknya-- beliau ini hanya berusaha agar kami menjadi keluarga 'Islam saja'. Maka jadinya ya seperti itu. Lha terus, gimana dong ? [] haris fauzi - 12 April 2007



salam,
haris fauzi


No need to miss a message. Get email on-the-go
with Yahoo! Mail for Mobile. Get started.

No comments: