Sunday, September 23, 2007

kenisah : imajinasi anak

IMAJINASI ANAK
 
Di rumah ada semacam bonggol, --besi nongol,-- letaknya di daun pintu. Tepatnya ujung gagang pintu. Gunanya untuk menggantungkan gepokan - gepokan kunci. Biasanya di bonggol pintu itu ada empat gepokan kunci. Satu gepokan kunci terdiri dari lebih dari satu anak kunci, tergantung pemilik dan  kebutuhan masing - masing. Yang jelas dalam satu gepokan pasti ada kunci pagar dan kunci pintu depan.
 
Seperti biasa, jikalau saya pulang kerja, maka setelah melewati pintu tersebut saya akan menggantungkan kunci di bonggol tersebut. Pernah suatu malam sepulang kerja --dan usai menggantungkan kunci--, maka saya lihat bersegera Si Moncil  menarik kursi hendak meraih kunci - kunci tersebut. Moncil usianya tiga tahun.
"Moncil mau ngapain ?", tanya saya.
"Mau maen Naruto… Gurunya sudah ada…..", jawabnya.
"Naruto....?", tanya saya dalam hati. Saya biarkan dia menarik kursi, kemudian memanjatnya dan meraih empat gepok kunci dari bonggol pintu. Saya sendiri segera berlalu dan membereskan tas kerja berikut segala gadget yang melekat di tubuh saya.
 
Baiklah saya jelaskan disini perihal empat gepok kunci tersebut. Kami memang memiliki banyak kunci, karena saya dan istri masing - masing memiliki satu set kunci pagar plus pintu depan. Dua sisanya untuk saudara yang bila datang ke Bogor dan hendak datang pergi masuk rumah semaunya maka kami bekali kunci tersebut. Jadi kami semua tidak perlu repot terkunci atau menggedor pagar bila pulang kemaleman. Pulang jam berapa-pun masih bisa buka pintu.
 
Kunci milik Istri saya ada gantungan berupa rumah Jepang. Maklum, memang gantungannya adalah cinderamata kakak saya pas dulu pulang dari Jepang. Di gantungan berupa pintu itu juga tergambar seorang ninja. Maka oleh si Moncil, gepokan kunci ini disebut dengan Naruto. Naruto adalah tokoh kartun komik Jepang, seorang anak Ninja.
 
Oleh Si Moncil, kunci tersebut dipermainkan layaknya wayang. Bergerak, berlari, bercakap seperti tokoh Naruto dalam komik kartun. "Ini dia, jurus bayangan Narutoooooo....!", kata Moncil sambil memainkan kunci 'Naruto' tersebut. Dia masih agak kesulitan mengucapkan lafal huruf 'R'.
 
Ada gepokan kunci dengan ikatan warna merah jambu, biasanya dipakai oleh saudara Istri saya. Kata anak saya, dia dimisalkan sebagai Sakura, teman seperguruan Naruto, cewek berbaju merah-pink. Mungkin atas dasar warna pink tersebut kesamaannya. Sementara gepokan kunci yang biasa saya bawa oleh anak saya dimisalkan menjadi Guru Naruto. "Gantungan kunci ayah jadi gurunya Naruto", kata Moncil --entah atas dasar apa.
 
Ya karena komplotan seri Naruto memang berempat : Guru, Naruto, Sakura, dan Sasuke; maka akhirnya gepokan kunci keempat menjadi sobat terakhir Naruto : Sasuke. Jumlahnya kelop empat.
 
Saya amati permainan Si Moncil. Dia dengan leluasa men-dalang-kan keempat gepokan kunci tersebut. Percakapannya juga mencontek kartun yang dia tonton, sesekali terlihat ngawur seingatnya. Sementara gemerincing kunci beradu dengan lantai seakan menjadi 'gending' atau suara latar sandiwara Naruto yang dia gelar. Saya liat Moncil cukup asik dengan permainannya. Kunci ninja mendapat tokoh sebagai Naruto, kunci lainnya sebagai tokoh - tokoh lainnya pula.
 
Pernah juga Si Sulung dulu suka bermain seperti itu. Sulung sekarang usianya tujuh tahun. Mungkin karena sering nonton film Winnie the Pooh, maka Sulung melakonkan hal itu. Tapi Sulung rupanya lebih beruntung karena kebetulan saat itu saya membelikan hampir semua boneka tokoh utama seri Winnie the Pooh : Winnie si beruang lugu, Piglet si babi kecil, Tigger si macan melompat, dan keledai lambat bernama Eeyore. Untuk Rabbit dan Owl sudah punya boneka persamaannya yakni boneka kelinci dan burung hantu. Boneka burung hantunya adalah boneka kuis Galileo yang populer di televisi sekitar sepuluh tahun yang lalu. Entah itu benar - benar sama, yang penting bagi Sulung boneka Galileo itu adalah Owl, burung hantu bijak di seri Winnie The Pooh. Sementara tokoh Christopher Robin diperankan anak saya sendiri. Mereka bermain dengan asik. Sampai saya harus membuatkan tambur drum yang digendong di perut. Saya buatkan dari toples plastik yang saya ikat pakai tali plastik kemudian saya selempangkan ke badannya. Pemukulnya saya buatkan dari stik makan mi. Memang saya lihat di buku Winnie juga seperti itu : Christopher Robin memimpin barisan dengan menggunakan tambur yang dipasang di perut, dan irama tambur itulah yang membuat mereka berjalan dengan berirama juga.
 
Bagaimana dengan kartun idola Avatar ? Anak saya punya beberapa boneka orang dan binatang kecil, dan kebetulan punya mainan besar kura - kura plastik. Yang penting bagi anak – anak yang memainkan seri Avatar, kura - kura itu menjadi Appa --banteng terbang raksasa tunggangan Avatar. Aslinya sih banteng terbang itu berkaki enam. Tokoh sisanya bisa diatur sendiri. Cukup imajinatif dan bikin tersenyum bila melihat mereka memainkan hal itu.
Terlepas dari senyum geli mereka ber-sandiwara dan menokohkan perannya, ada hal yang membuat saya terpekur. Terus terang yang paling membuat saya terpekur adalah urusan kunci Naruto dan banteng terbang avatar itu.
 
Rasanya, mereka tidak peduli terhadap apakah bentuknya kura - kura atau haruskan menyerupai banteng terbang berkaki enam beneran. Mereka juga tidak ambil pusing ketika apa yang dia genggam sebenarnya adalah gepokan kunci, bukan tokoh Naruto sebenarnya. Anak - anak tadi menciptakan esensi dalam imajinasi mereka. Esensi itu mereka personifikasikan kepada benda yang dia pegang. Kalau kura - kura itu mereka misalkan sebagai banteng, maka 'kun-fayakun' esensinya adalah banteng. Dan mereka menganggap esensinya lebih penting ketimbang sosok materinya. Saya ulang sekali lagi : bagi anak - anak itu, esensi lebih penting ketimbang sosok materi yang nyata - nyata ada. Mereka mengadakan yang bagi mereka lebih penting, yang kita semua menyebutnya sebagai 'esensi'. Dan mereka bisa melakukan hal itu.
 
Yang membuat saya terpekur sudahlah jelas. Saya sering terjebak kepada sisi materi, bukan sisi esensi. Sebagai seorang berumur hampir empat puluh tahun, dimana keseharian saya banyak berurusan dengan kegiatan mencari duit, maka saya sering terperosok melupakan esensi. Melupakan jiwa, bahkan mungkin lupa akan tujuan hidup ini. Lupa esensi hidup ini. Maklumlah, mata ini sering silau karena gemerlap materi dunia. Hati ini sering tidak tentu arah tujuannya. Sehingga seperti laron, saya memburu hal yang gemerlap, padahal esensinya tidak ada.
 
Saya sempat berujar kepada istri saya,".... Ada dua orang bocah yang sedang bermain disini. Dan keduanya mungkin mengajarkan hal yang penting kepada kita yang dewasa, yakni masalah esensi.. masalah 'jiwa'.... Mungkin kita harus lebih mengamati dan belajar dari mereka....".[] haris fauzi – 23 September 2007


salam,
haris fauzi
 


Be a better Heartthrob. Get better relationship answers from someone who knows.
Yahoo! Answers - Check it out.

No comments: