Wednesday, September 19, 2007

kenisah : bahasa ibu

BAHASA IBU
 
Saya sengaja jelaskan di depan. Kakek-Nenek saya --kedua-duanya-- berasal dari pinggul gunung Merapi, Yogyakarta. Kakek Bapak saya adalah sesepuh di desa Rejodani. Sementara Orang tua Ibu saya adalah migran dari desa Pakem ke desa Gentan. Gentan, Pakem, dan Rejodani semuanya berada di pinggul gunung Merapi, lebih atas dikit dari kaki gunung Merapi, dan dilewati kali Boyong yang legendaris itu. Sekitar 12 kilometer dari kota Yogyakarta.
 
Ya begitulah. Leluhur saya berjubel di sekitar pinggul gunung Merapi. Profesi mereka kebanyakan adalah petani. Profesi lain yang populer dikalangan leluhur saya adalah sebagai petugas mesjid. Selain itu Kakek dari Ibu saya selain sebagai petugas kantor Urusan Agama juga pernah menjabat sebagai pendekar silat.
 
Mengikuti jejak leluhur yang berkutat di urusan mesjid, maka Bapak saya menyelesaikan studi di Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta --sejaman dengan Dr.Nurcholish Madjid. Trus mengikuti jejak kakaknya yang sukses karena menjadi tentara jaman pendudukan dengan pedang panjangnya, Bapak saya mendaftar Wajib Militer. Terpilihlah dia menjadi tentara. Karena lulusan IAIN, maka dia ditempatkan di bagian kerohanian. Di akhir  era tahun 60-an, --seingat saya tahun 1968 kalo gak salah-- Orang tua saya pindah ke Jawa Timur karena alasan pekerjaan.
 
Tahun 1972 saya lahir di Malang, Jawa Timur. Lahir dari keluarga Yogyakarta, maka saya dibiasakan berbahasa Jawa. Ada beberapa tingkatan dalam bahasa jawa : ngoko, krama madya, dan krama inggil. Ngoko adalah persapaan untuk bocah ketemu bocah. Krama madya adalah persapaan untuk orang yang lebih tua, dan Krama inggil untuk orang yang sangat dihormati.
Dengan kakak saya, jelas saya ngobrol menggunakan bahasa ngoko. Sementara dengan Ibu-Bapak, saya dilatih menggunakan bahasa krama-ibu. Ini modifikasi dari krama madya yang diperhalus dan disesuaikan dengan pemakai: Ibu dan anak. Misalkan untuk istilah 'makan', tidak menggunakan 'dhahar' atau 'madhang', tetapi 'maem'. Minum tidak menggunakan 'ngombe' atau 'ngunjuk' tetapi menggunakan 'mimik'. Dasar bahasanya adalah bahasa Jawa - Yogyakarta.
 
TK, SD dan SMP saya berkutat dengan teman sejawat. Karena sekolah selalu di Malang, maka lama - kelamaan ngoko saya bergeser dari ngoko Yogya menjadi ngoko Malangan. Blending Yogya - Malang ini berlangsung terus. Sampai akhirnya saya dalam keseharian lebih banyak menggunakan ngoko Malang. Kata 'mangan' lebih sering digunakan ketimbang 'madhang'. Ya karena semua teman saya menggunakan bahasa ngoko Malangan. Kata'koe' tidak akan pernah terdengar digantikan dengan kata 'koen'. Praktis ngoko Yogya sudah hilang dari peredaran rumah.
 
Untuk urusan dengan orang tua, saya masih menggunakan bahasa krama - ibu versi Yogyakarta. Dan urusan menulis surat ke Kakek, saya murni menggunakan bahasa krama inggil Yogyakarta. Setiap surat yang hendak dilayangkan ke Gentan atau Rejodani haruslah di sensor dan di edit dulu oleh Ibu saya. Jaman itu belum punya telpon, jadi berkominikasi dengan Kakek musti berkirim layang, surat. Biasanya saya berkirim surat kalau mau ujian, mau pergi ke Yogya, atau sekedar minta do'a.
 
Beranjak ke jaman SMA dan kuliah, komunikasi dengan teman lebih intensif lagi menggunakan ngoko Malang. Bahkan bahasa prokem Malang sudah akrab di mulut dan telinga saya. 'Ayas' sudah menggantikan 'aku'. 'Itreng' menggantikan 'ngerti'. Begitulah prokem Malang itu dibolak - balik radikal. Katanya prokem ini sudah ada sejak jaman penjajahan.
Urusan dengan orang-tua-pun bergeser, bahasa krama-ibu cuma cocok buat masa kecil. Diskusi dengan Bapak sudah menggunakan bahasa Indonesia. Nggak bisa lancar bila harus berdiskusi tentang bukunya Ali Syari'ati misalnya, tetapi menggunakan bahasa krama-ibu. Bapak saya yang memplokamirkan hal ini. "Untuk urusan luar, sebaiknya kita berbicara menggunakan bahasa Indonesia", gitu katanya. Dan berangsur - angsur dialek Yogyakarta makin jarang terdengar di rumah kami. Hanya bila kami menelepon ke Kakek atau handai tolan di Yogya, maka kami terbata - bata melafalkan krama inggil. Hanya Ibu dan Bapak saja yang masih fasih menggunakannya. Walhasil, setiap menjelang mudik, maka saya harus kursus kilat bahasa krama inggil ke Ibu. Biar nggak malu-maluin.
 
Tahun 1995 saya merantau ke Jakarta. Bergaul dengan para sesama urban, maka kami sering menggunakan bahasa Indonesia. Ngoko Malang sudah jarang terdengar. Prokemnya apalagi. Ngoko Yogya sudah dilupakan. Untuk lebih cepat merespon keadaan, maka bahasa Indonesia dimufakati menggantikan bahasa krama-ibu dikalangan keluarga. Makin tersisihlah bahasa ibu kami itu. bahkan dengan kakak atau adik yang biasanya menggunakan ngoko Malang, beberapa kali kami menyelipkan bahasa Indonesia.
 
Pernah suatu kali saya hendak berkirim surat ke kakek menggunakan bahasa krama inggil. Ingin mengabarkan kondisi saya di perantauan. Draft surat sebelum dikirim  saya asistensikan dulu ke Ibu di Malang. Komentar Ibu adalah :"Tulis saja menggunakan bahasa Indonesia. Krama Inggil-mu sudah morat - marit".
 
Sejak kasus surat itu, maka saya berkomunikasi dengan bahasa Indonesia termasuk ketika dengan Kakek. Sesekali saya imbuhi krama inggil, bila saya mantab bahwa kalimat tersebut tidak salah. Walau kadang masih salah juga, sehingga Ibu perlu minta maaf karena kebodohan saya ini. Dan kakek tertawa memaklumi.
 
Pada saat anak pertama saya hendak lahir-pun, saya sebenarnya sepakat dengan istri untuk menggunakan bahasa jawa sebagai bahasa ibu di rumah. Tetapi tidak terlaksana. Lha wong saya dengan mertua saja sudah menggunakan bahasa Indonesia padahal mertua saya orang Solo. Lha karena memang dikalangan rumah dan teman sudah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa dominan, disamping itu juga memori untuk perbendaharaan bahasa krama Yogya sudah banyak yang hilang.
 
Namun tidak hilang bagitu saja semuanya. Memang dengan Ibu, dengan saudara, dengan anak, dengan istri, dengan mertua hampir semua komunikasi di dominasi menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi setiap bertemu dengan teman kampung Malang, saya selalu berkomunikasi menggunakan bahasa ngoko Malang. Termasuk SMS. Mungkin tinggal ini yang bisa saya pertahankan. Sementara untuk kembali menyirami bahasa krama Yogyakarta, saya sudah tidak kuasa lagi. Hanya segitu - segitu saja yang saya kuasai. Mungkin ada yang bisa bantu ? [] haris fauzi - 19 September 2007


salam,
haris fauzi
 


Tonight's top picks. What will you watch tonight? Preview the hottest shows on Yahoo! TV.

No comments: