Tentang Raja (2)
Naik kelas empat B, nyaris tidak ada perubahan, kecuali gurunya ganti jadi laki - laki, namanya Pak Paijan, jagoan matematika, meneruskan Bu Sutji. Chairil masih menjadi raja, bahkan dia juga makin pintar di akademis. Saya masuk kelas siang, kakak saya naik ke kelas 5B dan masuk pagi. Saatnya saya sendirian, dan harus mengambil keputusan sendiri.
Akhirnya yang berubah adalah diri saya. Ketika kelas 3, saya selalu diredam kakak supaya tidak perlu melawan bila ada acara kompas-mengompas. Tetapi di kelas 4, saya hendak bertanya ke siapa ? Kakak saya masuk pagi. Berhubung saya lebih brangasan ketimbang kakak saya, maka seringkali saya memutuskan untuk melawan. Dan jadilah acara berantem menjadi kegiatan rutin. Seminggu sekali pasti saya mengalami adu bogem mentah. Kebanyakan kalah, tetapi sesekali pernah juga menang. Curangnya, Chairil tidak pernah mau dilawan, dia mengerahkan bolo-nya. Dalam hitungan saya, lebih mudah mengalahkan Chairil karena badannya lebih kecil ketimbang bolo begundalnya, namun hal itu sangat jarang terjadi.
Suatu kali saya pernah kesampaian beradu bogem dengan dia. Saya kalah. Dia kesenangan. Lain waktu berikutnya, dia nggak mengajukan bolo-nya ketika kami bentrok. Begundalnya seperti biasa membuat lingkaran arena mengelilingi saya dan Chairil. Dan, entah keberuntungan apa, saat itu hampir saja saya memenangkan perkelahian itu, bila begundal Chairil tidak ikutan di saat - saat terakhir. Dia benar - benar marah karena saya tindih. Apalagi matanya sempat saya cap pake toples obat. Entah berapa hari dia memendam jengkel.
Yang perlu diingat, tidak selamanya saya bentrok dengan Chairil. Saat damai, saya suka berbagi kue dengan dia, dan dia juga sering bermain ke rumah. Kadang kami juga mengerjakan PR bersama. Namun di kelas empat inilah saya merasa paling sering di cegat ketika pulang, saya paling sering melawan, saya mulai sering berantem. Struktur kekuasaan raja dari asrama membuat saya cukup gerah, karena bagi anak luar seakan - akan tinggal ada dua pilihan, menjadi penjilat atau menjadi lawan. Saya keseringan memilih menjadi lawan. Dan, itulah akibatnya, brak-bruk-brak-buk. Kancing baju copot.
Kadang perkelahian itu diakibatkan oleh hal sepele, masalah PR atau yang lain. Bahkan, ketika Chairil ditanya oleh guru sebuah soal, dan dia tak bisa menjawab, lantas saya menjawab dengan benar, hal ini sudah cukup sebagai alasan menjadikan acara cegat - mencegat pulang sekolah. Sering saya merasa takut hendak menjawab soal yang dilontarkan guru karena hal ini. Belum lagi dalam setiap ulangan, saya nggak terlalu solider memberi contekan ke dia, dan inipun alasan yang cukup buat berantem, apalagi bila ulangan saya gemilang. Walah. Selembar kertas hasil ulangan sudah cukup bagi seorang Chairil menitahkan anak buahnya untuk mengeroyok saya. Dan lagi - lagi, pipi biru dan kancing baju putus.
Saya ingat benar kejadian yang membuat saya seram setengah mampus. Pada suatu sore, jam istirahat, saya bermain keluar kelas. Karena kecapekan bermain maka saya masuk kelas hendak minum. Saya selalu berbekal, termasuk termos berisi teh manis. Seorang teman sungguh kehausan, namanya Agus Hari Utomo minta air teh manis bekal saya. Dia nenggak duluan pake tutup termos. Langsung muntah di kelas, katanya air bekal itu bau potas. Saya tidak jadi minum Acara gila apalagi ini ?
Tak lama Pak Guru masuk kelas dan melihat ada tumpahan minum dalam kelas. Guru yang menyukai kebersihan ini risih dan bertanya kepada saya dan Agus Hari. Kami menjawab apa adanya, bahwa air itu adalah muntahan Agus Hari. Agus Hari bilang bahwa air minum Haris ada potas-nya. Segera di cek oleh Pak Paijan. Pak Paijan tau bila air itu sudah dibubuhi entah apa. Usut punya usut ternyata air termos itu dibubuhi serbuk kapsul obat sakit usus buntu, dan Hari Sucipto ketahuan yang memiliki dan membubuhkannya. Lewat interogasi di UKS, Hari menangis dan mengaku bila disuruh oleh raja kelas. Pak Paijan naik pintam. Mungkin di kepala beliau terbayang bila sampe ada yang keracunan dalam kasus ini. Chairil dan bolo-bolonya di-setrap.
Saya memang dalam masa bentrok dengan mereka saat itu. Saya juga emosi, karena tingkah mereka kali ini sungguh keterlaluan. Bila cuma nyolong pinsil, merajam setip, mematahkan penggaris, masihlah ditolelir. Lha ini hendak meracun ? Saya hendak tantangin berantem dan gampar mereka. Saya menganggap mereka penakut, beraninya nyolong belakang. Pak Paijan mencegah saya. Seluruh komplotan itu di skors. Jelas mereka dongkol, tapi saya juga marah. Mereka tak berani mencegat, karena ada litsus dari Pak Paijan, saya-pun ogah memulai perkelahian karena dicegah Pak Paijan.
Setahun berikutnya, kelas 5B, Chairil masih berkuasa. Pak Paijan ikutan naik kelas menjadi guru kami lagi. Chairil makin banyak pengikutnya, termasuk anak luar. Saya kadangkala bisa bermain dengannya, kadang bentrok. Ponco masih menjadi oposisi sejati, namun tidak mau berurusan dengan masalah saya. Huh. Susah bener diajak koalisi. Padahal posisi saya di mata dewan guru sungguh bagus. Ini yang dicemburui kelompok Chairil. Chairil bisa mengalahkan saya disemua bidang, kecuali akademis. Dia begitu emosi ketika saya 'masih' menjadi juara kelas. Segala cara dilakukan untuk meruntuhkan reputasi saya. Bahkan dia dan bolonya pernah meniupkan isu bila orang tua saya 'menyogok' agar saya jadi juara kelas. Pada saat itu, memang beberapa kali Ibu saya ke sekolahan, namun dia mempertanyakan perihal perkelahian saya. Mungkin saat itu belum banyak orang tua yang mau berkonsultasi soal kenakalan anaknya di sekolah.
Bahkan karena dewan guru sering mengirim saya untuk mengikuti lomba gerak jalan, pramuka, baca puisi, dan menggambar, dalam acara lomba seperti itu jadi ruwet. Anak asrama sering dipilih untuk tanding olah raga. Sementara anak luar diandalkan untuk hal - hal kepramukaan. Chairil dan bolonya dikirim untuk acara lomba sepak bola misalnya, tetapi gak pernah menang. Sementara baris - berbaris, baca puisi, dan menggambar, beberapa kali saya mendapat juara atau penghargaan. Kontan dewan guru lebih sering memberi hadiah kepada saya daripada ke raja kelas itu. Apalagi saya masih menjadi juara kelas. Chairil memprotes hal ini --tentunya dengan dukungan bolo-bolonya-- dengan jargon 'guru - guru pilih kasih'. Salahnya protes itu dilontarkan ke saya, bukan ke guru. Namun kali ini saya bukan anak kelas satu yang gampang dijitak. Saya malah tersenyum mengejek, memamerkan hadiah yang saya peroleh. Karena ini saya musti beradu bogem beberapa kali dengan salah satu mengikutnya, namanya Sutrisno. Huh.
Kelas enam B, Chairil pindah ke luar kota, pindah sekolah, pak guru juga berganti. Kepala sekolah menjadi guru kelas kami, namanya Pak Sidik. Pak Sidik adalah guru paling galak dan seram versi murid - murid dan alumni.
Sementara itu raja baru muncul, namanya Eko Setyo Budi, pengikut setia Chairil, dan anak sulung Pak Sidik ! Well. Kekhawatiran baru muncul. Anak - anak terpecah - pecah 'partai'-nya. Bagus mendirikan partai baru, tidak sekomplot Eko, namun tidak bermusuhan. Mungkin Bagus merasa dia yang lebih cocok jadi raja, ya, Bagus memang cekatan berolah raga, walau agak urakan ngomongnya. Ponco masih menjadi oposisi, dia nggak bakalan bisa mengalahkan reputasi Eko. Saya seperti biasa, introvert hanya berteman beberapa orang, nggak mau bolo-boloan, nggak mau komplot-komplotan.
Dalam masa ini saya jadi tau, bahwa para penjilat raja, akhirnya hanya menjadi penjilat raja berikutnya. Dia tidak akan menjadi raja. Sampe kapan-pun. Hari Sucipto, Sutrisno, Ivor Taruna, dan Yuli yang biasanya menjadi 'yes-men' raja Chairil, kali ini kelimpungan mendekati raja baru. Dalam setahun ini, Hari dan Sutrisno kebingungan mencari teman, sementara Ivor dan Yuli mengalihkan perhatiannya dari 'bolo-bolo'-an ke akademis, dan hasilnya lumayan. Dia berdua pada akhir tahun ajaran menjadi anak rangking atas dalam kelulusan dan berhasil masuk SMP negeri pilihan, memberi kebanggaan SD kami. Ivor dan Yuli berubah.
Pada awalnya Eko hendak meneruskan kebijakan Chairil, tetapi tidak berhasil. Tapi malah asik, karena tidak sering terjadi adu jotos dan saling kompas. Lebih damai. Masa kelas enam lebih kondusif buat belajar. Setidaknya saya nggak perlu cemas pulang bakal dicegat dan berantem. Nggak ada penguasa yang terlalu kuat. Pak Sidik juga keras membimbing kelasnya. Bila lazimnya masuk kelas jam tujuh, maka ada hukum khusus dari Pak Sidik. Yakni sebelum masuk ada post-test yang dilakukan secara lisan. Untuk seluruh kelas dengan metode random. Bila dalam hari itu hasil tes kelas tidak memuaskan, maka hari besok harus masuk jam setengah tujuh. Karena post-test-nya diperpanjang. Walhasil, setiap hari post-testnya selalu jeblok, walhasil setiap hari dalam setahun itu kami masuk jam setengah tujuh.
Bagaimana dengan sang Raja ? Raja yang baru tidak pengen neko - neko, Bapaknya terlalu keras dan nggak pandang bulu. Siapapun yang bersalah, maka kakinya musti rela di-'saduk'. Di-'saduk' itu ditendang tepat di tulang kering. Nendangnya pake cocor sepatu. Eko sendiri telah mengalaminya beberapa kali, di-saduk bapaknya sendiri di depan kelas. Nyeri mbok, gurat memar birunya bisa bertahan lima hari. Mau ? [] haris fauzi - 25 maret 2008
salam,
haris fauzi
haris fauzi
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.