Thursday, March 13, 2008

kenisah : paranoia

PARANOIA
 
Dinegeri manapun, dimana aku bisa betah, maka itu adalah sebuah negeri yang tidak mengajarkanku apa apa.....(L'Envers et L'Endroit-Albert Camus)
 
Sekitar tahun 1997, saya ditegur Bapak, saya memanggil Ayahanda begitu. Ditegur gara - gara menggantung kunci gembok di pagar. Gembok induknya, bukan anak kuncinya. Gembok itu biasa saya cangklongkan begitu saja ke jeruji pagar. "Jaman susah, gembok nganggur gini bisa di curi orang. Kalo di curinya malam, maka rumah kamu gak digembok semalaman itu.....", seingat saya gitu katanya.
 
Awalnya saya menganggap itu sebagai kekuatiran yang berlebihan. Tetapi semua jadi seperti memutar film dokumenter setelah dalam seminggu ini --sepuluh tahun setelah teguran tersebut-- gembok rumah saya kecolongan. Dua kali malah. Memang posisinya digantung di pagar seperti yang dikuatirkan mendiang Ayahanda. Dicolong sekali sore hari, trus saya ganti. Belum genap seminggu sudah dicolong lagi. Dan lagi - lagi benar, sekarang memang jaman susah.
 
Saya biasa memegang satu anak kunci dan saya bawa kemana - mana. Praktis kalo pulang kantor, saya membuka sendiri pintu pagar. Tapi malam itu Istri saya menyambut dan membukakan pintu pagar. Begitu Istri membuka pagar dia lapor bahwa gembok pagar dicolong lagi. Lagi. Dua gembok dalam seminggu. Sekelebat saya teringat teguran itu, kecut, ada rasa khawatir dalam hati ini. Namun saya tidak menyampaikannya ke Istri.
 
Dalam cerita y ang berbeda, salah satu kekuatiran saya yang lain adalah bila arah tidak jelas. Arah apapun, arah kegiatan atau arah jalanan. Saya ingat ketika akan mudik jaman kecil dulu, selain mobil butut dicek oleh montir, biasanya ada hal yang dipandang sepele yang kelewatan. Yakni pengecekan lampu dan wiper. Untuk ini, Bapak saya sering melakukannya sendiri.
Dua hari lalu, ditengah guyuran hujan yang silih berganti mereda dan mengguyur tanpa pasti, penyapu jendela mobil --wiper-- mati mendadak sontak hingga berbenturan dan patah salah satu. Sekonyong - konyong saya kehilangan pandangan jalan. Jalan tol menjadi gelap gulita. Sekali lagi, saya teringat apa yang pernah dilakukan oleh mendiang Ayah saya tempo dulu. Mengecek lampu dan wiper. Saya menyalahkan dan menyumpah diri sendiri.
 
Dua rentetan ini membuat saya menjadi semakin kuatir. Memang, banyak kekuatiran saya yang belum tentu terjadi, tetapi dua hal ini sudah cukup untuk memaksa saya kecut hati, kekuatiran manalagi yang akan muncul.
Ada kegelisahan disana-sini. Apakah memang saya yang terlalu memiliki rasa cemas berlebihan. Ataukah memang baru kali ini saya bisa merasakan kekuatiran itu sendiri. Saya teringat, betapa mendiang Ayahanda begitu khawatir dengan segala hal yang terjadi dengan membabi-buta disekelilingnya saat itu, -- awal milenium. Negara berurusan dengan jaman reformasi, liberalisasi menggila, informasi semrawut, ekonomi ganjang - ganjing, panggung politik hiruk-pikuk kayak pasar hewan. Saya membayangkan mungkin kondisinya mirip jaman Billy The Kid. Masa sulit, susah menjadi 'manusia' di jaman seperti ini. Saya menangkap pandangan nyaris putus asa dari matanya. Saya tau, Bapak sudah terlalu capek, terlalu tua, dan dirongrong sakit jantung. Ya. Rumah Sakit jantung yang cukup kondang di Ibukota memvonis untuk dilakukan transplantasi, karena daya kerja jantung beliau tinggal dua puluh lima persen, itu tahun 2001-an. Akhirnya beliau hanya ingin mengobatinya lewat cara alternatif.
 
Bergelut dengan ancaman penyakit jantung di setiap detik aktivitasnya, bagi saya, dia masih bisa berpikir jauh ke depan. Diantara ritus fisik yang tertatih lemah, mata hatinya masih tajam meninjau persoalan. Walau, kadang membuat jantungnya terbebani. Ini mungkin yang membuatnya terlihat letih. Akhirnya beliau menyerah, memilih untuk mengikuti nasehat dokter. Acara berita, koran, dan radio --terutama urusan politik, negara, dan budaya-- stop. Perboden buat telinganya, karena hal - hal itulah yang memburatkan gelombang kecemasan kepadanya.
 
Saya ingat beberapa. Kekuatiran dan kecemasan yang kadang dilontarkan Bapak di hadapan saya, atau tercercah dalam pembicaraan di telepon. Kecemasan berbaur dengan tipis harapan. Di telinga saya, kecemasan masalah pribadi yang kadang terlontar hanyalah merupakan kerikil yang bisa dilanjutkan dengan derai senyum. Sementara ada kecemasannya yang lebih besar,  yang getir mengusik dan merongrong kesehatannya. Dan ternyata tidak hanya beliau. Siapapun berhak untuk cemas, apalagi dalam kondisi bangsa seperti ini. Farid Gaban, jurnalis idealis, pernah menyampaikan uneg - unegnya bahwa negeri ini semenjak perang dunia sempat dipimpin oleh dua orang raja yang dominan. Dan dengan ini, maka penataan bangsa seakan tidak meletakkan stuktur yang kokoh secara sistemik. Jaman feodal, struktur bangsa terkonsentrasi ke satu orang. Dari satu sisi, saya mengamini. Demokrasi terpimpin paska perang kemerdekaan malah membuat gesekan antara Presiden dengan Wakil-nya, gara - gara sang Wakil mempopulerkan bentuk demokrasi lain yang tidak terlalu 'mendewakan satu tokoh'. Sebagai Pemimpin Besar Revolusi, sang Presiden menghendaki agar Majelis Parlemen mengamini dan mengikuti setiap kebijakannya.  Babak berikutnya, seorang Presiden yang berkuasa lebih tiga puluh tahun dan sangat paternalistis sehingga majelis parlemen-pun menjadi pengikut setianya, pas wafat dimakamkan laksana raja mangkat. Ya, itu dua raja yang dimaksud oleh Farid Gaban.
Harusnya diabaikan saja nostalgia lalu, sejarah hanyalah untuk memetik hikmah. Langkah berikutnya adalah memandang dan melangkah ke depan. Namun, saya pribadi masih kesulitan hendak memandang ke depan. Tidak punya kuasa, atau malah saya hanya diselimuti kecemasan yang berlebihan. Siapapun berhak atas rasa cemas dan bertanya, negara ini milik siapa.
 
Sudah lama Bapak saya wafat. Sudah lama pula saya mengubur kecemasan - kecemasannya. namun kali ini beda urusan. Bila terpikir ulang, maka akan menimbulkan kecemasan yang membuat kekelaman hati dalam diri saya. Seakan bangkit kembali kecemasan - kecemasan itu. Bisa jadi, kekuatiran semacam itu dalam diri saya belumlah ada sejak dulu. Bisa jadi. Jaman dulu kejadian ini senantiasa berjalan, namun karena saya tidak atau belum memiliki rasa cemas dan kuatir, maka hal - hal tersebut berjalan seperti aliran air sungai. Begitu akhir - akhir ini rasa cemas mulai berkecamuk, maka kejadian itu laksana gulungan ombak. Itu dugaan saya yang pertama. Bahwa mungkin saya baru akhir - akhir ini saja sensitif akan kekuatiran. Namun, bisa jadi juga, bahwa memang eskalasi kejadian - kejadian yang ada itu memang sudah mewujud dari aliran sungai menjadi gulungan ombak. Yang praktis menyinggung syaraf ketakutan dan mengusik sensitivitas rasa khawatir, rasa cemas.
 
Ya. Dalam kegelisahan - kegelisahan itu ada dua parameter. Apakah kejadian - kejadian itu memang memiliki skala bencana yang semakin tinggi, .....atau..... toleransi sensitivitas rasa khawatir dalam jiwa saya yang semakin merapat. Korelasi keduanya bisa berdampak lebih dahsyat. Kedahsyatan ini yang mungkin mencetak blue-print paranoia dalam diri saya. Lamunan ini menjadi kelam dan semakin kelam. Menenggelamkan saya.
 
Terlihat dari dinding kaca, mobil tua itu teronggok seakan ikut menderita dengan segala kecemasan yang merayap di tubuh ini. Di tangan masih asik menggenggam buku Albert Camus. Mata memandang keluar, ada stasiun pengisian bahan bakar nampak arogan bersisian dengan jalan tol nan bising. Ada pula mesjid yang berdiri gagah dengan berselendang cahaya lampu.
Kaki mengayun menendang - nendang pelan bangku kafe. Cokelat panas masih tersisa separoh setia menemani kesendirian ini. Saya berharap tidak sendirian, tapi di meja itu saya merasa sendirian berselimut kekuatiran. Kekuatiran ini mungkin hanya milik saya sendiri. Namun saya sadar, setiap manusia memiliki kekuatiran masing - masing, dengan skala yang belum tentu sama. Namun bisa jadi, yang dicemaskan adalah hal yang sama. Kali ini, senyap tak hendak menjadi saksi. [] haris fauzi - 13 maret 2008


salam,
haris fauzi
 


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

No comments: