Saturday, May 17, 2008

kenisah : gong dan turilli

GONG DAN TURILLI
 
Berada di deretan buku - buku yang masih tersegel plastik rapi jali, saya comot buku serial 'Labirin Lazuardi'  berjudul 'Langit Merah Saga'. Entah sudah beberapa bulan buku itu saya beli, seingat saya sekitar akhir tahun 2007, lantas nangkring di rak buku begitu saja. Buku karya Gola Gong, rilis tahun 2007 - diterbitkan Tiga Serangkai, Solo.
 
Memasuki lembar pertama, Gong menjanjikan bahwa buku ini merupakan serial dari enam buku. Saya punya tiga buku, baru di baca satu ini (...huh, siapa yang nanya ?).
Oh ya. Belajar dari seorang teman, membaca buku itu harus dari lembar pertama, termasuk kata pengantar dan 'greeting'-nya. Belajar dari teman yang lain, katanya sungguh nikmat baca buku sambil denger lagu. Oke, kali ini saya membaca buku tersebut dengan mendengarkan lagu. Pilihan saya jatuh kepada musisi nordic Luca Turilli, album rilis 1999 berjudul 'King of The Nordic Twilight'. Sampul albumnya sangar : bergambar ksatria lagi berdiri di tebing salju sambil mengacungkan pedangnya. Dari ujung pedang menyembur api ke arah rembulan.
 
'Langit Merah Saga' adalah sebuah buku yang penuh ide, dengan lompatan peristiwa yang sangat dinamis. Bagi yang menyukai cerita - cerita singkat, dengan alur yang ringkas, maka buku ini bisa jadi pilihan utama. Saya yakin anda akan puas. Namun bagi pecinta kisah yang terselimut misteri, buku ini jadi terlalu cepat alur kisahnya, dan berjejal ide hingga bertumbukan kanan kiri saking kayanya. Gola Gong memang seakan menuangkan semua idenya, mulai dari romantika anak muda, idealisme sosial, nilai spiritual dan keagamaan, hingga dunia politik semua terjalin dalam buku ini. Kisahnya dinamis dan banyak lompatan. Jangan heran bila ketika sedang asyik menyusur cerita kehidupan yang beku dan kelam, ditengah - tengahnya terpenggal oleh pesan religius. Layaknya menonton film detektif, lagi rame -ramenya ngejar perampok tau - tau muncul jeda sejenak karena ada ustadz berpetuah.
 
Misi utama buku ini memang pesan moral. Tengok ketika Gola Gong bertutur tentang nilai - nilai iman yang disampaikan begitu nyata. Asma Tuhan berkali - kali di sebut dalam buku ini. Gong seringkali dengan beraninya membelokkan paragrafnya demikian drastis. Juga ketika serta - merta kita dibuat terkejut dengan manouver bahasan sinisme terhadap dunia politik. Tentang partai, tentang pemerintah, tentang kebijakan, tentang orang - orang suruhan. Mungkin ada yang terlewat, dalam buku ini Gong tidak menyisipkan nuansa klasik rock.
 
Luca Turilli juga tidak kalah garang. Bagaimana dia memulai kisahnya dalam album musiknya ini sungguh prestisius. Detik petama anda spin album ini, anda akan tau bahwa musiknya adalah dari alam eropa utara sana, lengkap dengan orkestrasi berbalut nada - nada organ gothic, sengatan bunyi keyboard yang menyayat hati, gebugan drum yang demikian rapat, paduan suara gerejani, tak lupa, vokal gagah yang menjelajah beberapa oktaf. Mantab abis. Turilli memang musisi spesialis kisah epic. Posisi bunyi gitar dalam musik karya Turilli juga dominan lazimnya genre power speed metal. Layaknya dentang pedang.
 
Gola Gong berkisah tentang heroisme seorang remaja yang sediang mencari jati diri, tepatnya menemukan jati diri. Gong juga pintar mengambil tokoh. Lazuardi adalah anak orang kaya, anak pejabat yang berlimpah harta. Dipanggil dengan nama pendek Ardi. Melarikan diri dari dunia gemebyar, meninggalkan band, meninggalkan hura - hura, meninggalkan narkoba, meninggalkan orang tua. Berpetualang menjadi 'hero' di setiap persinggahan, termasuk ketika singgah di pemukiman kumuh pinggir rel kereta api. Setting cerita dia bergumul di layar ini. Di mulai dari perempatan jalanan, rel, dan mushola. Setting yang realistis ini membuat mata saya lancar berlari menjelajah huruf. Nikmat sekali.
 
Tak hanya mata, kuping saya juga rekreasi. Seakan tak kepingin melewatkan unsur orkestrasi, Luca Turilli benar - benar serius menggarap aransemennya. Nuansa orkestra bukan tempelan, melainkan kesatuan utuh dari album yang berjajar sepadan dengan mainstream nordic-rock dan power speed metal, menyatu dalam karakter murni Luca Turilli. Asli,Turilli benar - benar memanjakan kuping. Jalinan antar lagu terasa kuat, tidak tersendat. Lagu pertama seakan mengajak kita menjajaki alam salju, gak lebih dari dua menit. End core lagu ini menyatu dengan preambule lagu kedua. Setelah itu anda akan diajak Turilli berpetualang dalam kisah - kisah kepahlawanan dan legenda, dalam jalinan musik keras yang gagah, rapat, bertenaga. Sungguh memukau. Apalagi bunyi keyboard berlarian kesana - kemari berkejaran dengan melodi gitar yang cepat. Di sisi dasar, tak ketinggalan bass dan drum berpacu mengisi barisan tanpa celah.
 
Beberapa kisah heroik karya Gong mungkin terlalu ideal, terlalu indah. Tetapi jangan salah, kisahnya tidak kodian. Anda akan tercekat kerongkongan ketika anda menyimak halaman 146. Disini kelihaian menulis Gong terbukti, membuat tengkuk merinding.
Sekali lagi, buku ini alurnya sangat dinamis. Di tengah desis pesan moral dan kisah heroik, juga kentara betapa vulgarnya ketika Gong tak kuasa hendak menyindir bagaimana aktivis mahasiswa pada akhirnya menjadi politisi dan kemudian menjadi pejabat korup. Menjadi bagian utama kebobrokan bangsa. Dan juga tak hendak di tahan kegemasan Gong terhadap tragedi lumpur Lapindo. Tumpah ruah, layaknya kata hati yang dipancarkan sebebas - bebasnya.
 
Dalam hal kompleksitas ide, Gong dan Turilli sama - sama dahsyatnya. Namun Turilli lebih memilih jalur yang tidak melompat - lompat, sementara dalam bukunya, Gola Gong nyelonong ke sana kemari dengan kecepatan tinggi, termasuk bagaimana ujung pangkalnya ada profesi wartawan amplop juga di bahas dalam buku mungil ini. Ya. Kali ini Gong senang melompat. Andai saya permisalkan, Turilli seakan mengendarai kuda perang yang menderap kencang, sementara Gong lebih mirip rodeo, lompatannya kadang mengubah arah tanpa bisa di duga. Turilli berkisah heroisme di alam legenda dewa, ksatria,  dan naga. Gong menceritakan heroisme pemuda dalam realitas kehidupan. Keduanya bikin saya tercengang.
 
Mendekati azan ashar, kelar keduanya. Ya kelar bukunya, ya kelar musiknya. Album Turilli saya spin mungkin empat - lima kali. Atau mungkin enam ? Fuih. Nikmat. Saya mau mandi dulu. Saking asiknya, asli saya belum mandi. Makan siang juga kelewatan. Namanya juga hari libur ini. [] haris fauzi - 17 Mei 2008


salam,
haris fauzi
 

2 comments:

Unknown said...

Masih ada yang kurang mas Haris ... kopi tubruk, disedunya pake air mendidih 100 derajat celcius .. mak joszzzz ...!!!

Kalo saya hari ini baca 2 buku: 1. YES Stories dan 2. TOYOTA TALENT buat bikin resensi .. he he he ... Musiknya? WHITESNAKE "Good To Be Bad" .... nikmatszzzzz ... ngguweblakkk....!!!!

Salam,
G

Haris Fauzi said...

sayangnya saya ga ngopi mas gatot,
suka degdegan...:)
saya mending nyeduh teh tarik pake madu....seger mas... :)