POHON BINTARO ..untaian nada awan dan batu dalam diri mustahil mengakhiri tari mengalir benda langit beredar tahun bergulir... suatu saat kala terbatuk - batuk saling mengenali lagi... [melepas --13 november(hujan salju)-- karya Martin Jankowsky, alih bahasa E Korah Go] Di sebuah kawasan wisata di Sentul ada pohon bintaro yang demikian besar yang mana ketika buah-nya pada berjatuhan dibiarkan begitu saja hingga buah - buah itu mengering, tertanam di tanah yang lembab, dan tumbuh tunas. Hasilnya adalah di sekeliling pohon rindang besar itu bertumbuhan tunas - tunas bintaro, beradu rapat dengan buah bintaro yang bergelindingan di becek. Suatu hari --beberapa tahun lalu-- saya memungut tiga tunas bintaro dengan jalan sedikit menggali tanah gemburnya. Ketiga tunas itu saya tanam di rumah, lantas tumbuh meninggi, berbunga, dan berbuah. Sang angin membawa kabar harum bunganya dan menggoyang - rontokkan buahnya. Buah - buah itu lantas di sapu dan diangkut armada sampah, hingga entah akan bertunas dimana. Mungkin di antah - berantah, ketika merantau. Namun, yang jelas, buah - buah itu akan bertunas pula, dan merantaukan buahnya. Demikian terus - menerus. Mungkin dan bisa jadi pula, pada gilirannya --entah generasi keberapa-- akan ada yang terbawa kembali dan bertunas di tanah leluhurnya semula, terbawa ke Sentul menjumpai restan moyangnya. Pohon bintaro itu tercerabut dan terlepas, namun, ada saatnya dia kembali, entah suatu saat. Setidaknya saya sudah pernah mengunjungi beberapa kota. Sekedar berjalan tak terlalu jauh. Dan pada kesempatan minggu itu pula dari stasiun Cikampek saya hendak menuju Malang. Mendengarkan khusyuknya roda kereta api sepanjang jalan berjajar melintas Jogjakarta, Solo, dan pada akhirnya tiba di Malang. Ketika memasuki kota Malang --menginjakkan kaki di bumi Malang, ada rasa menderu yang cukup dalam di hati ini. Mungkin karena kota Malang adalah kota kelahiran saya. Bisa jadi demikian rasanya bila buah bintaro yang berjumpa kembali dengan tanah leluhurnya. Mungkin. Namun, dimanapun tumbuh buah bintaro itu senantiasa kembali bertunas dan membentuk dirinya kembali. Apa yang saya rasakan seperti itu pula. Saya yang telah terlepas, kali itu kembali dan seperti menemukan jati diri saya yang dulu pernah ada. Hari pertama, menjelang dini hari hingga hampir subuh saya mengobrol dengan kawan yang lebih sepuluh tahun tidak berjumpa. Bernostalgia tentang segala hiruk - pikuk jurnalistik mahasiswa. Nama kawan itu Bayhaqi Kadmi. Hari - hari berikutnya, jalanan kota Malang membongkar masa lalu. Perlintasan kereta, pedagang barang bekas, buku - buku bekas, kios asesori sepak bola, gedung - gedung sekolah.... "Interval gerimis" demikian ungkap Goenawan Mohamad dalam sajaknya. Di tengah kota Malang yang selalu di guyur hujan, saya memutar masa lalu dan menemukan diri saya yang dahulu. Menyisakan waktu untuk mengobrol, menyimak puisi, dan tersenyum simpul ketika membaca novel yang bercerita tentang seorang anak yang kehilangan bola di kandang lembu. Di tengah interval gerimis itulah saya berpikir, bahwa ada suatu saat mengharuskan adanya perpisahan, juga adanya perjalanan yang bersimpangan, munculnya perwujudan yang berbeda, dan ada suatu ketika pertemuan itu juga akan terjadi. Sebuah masa yang kadang mewujudkan jati diri, yang belum tentu seiring. Ketika hal itu terjadi bisa jadi saya adalah dua wujud. Seorang yang berjalan, membaca, bercakap, menulis, dan menggerutu sambil melamun seperti halnya saya di masa lampau yang kiri terbayang - bayang dalam nostalgia. Sementara diri saya yang lain dalam kekinian adalah seorang rekayasawan pabrik, mencari nafkah, pulang larut, dengan rutinitas produksi dan pertemuan - pertemuan urusan kantor. Keduanya merupakan perjalanan takdir yang dikaruniakan kepada saya. Suatu saat dalam nostalgia saya begitu mencintai wujud saya yang demikian bebas. Namun, secara logis, saya adalah lelaki yang sepertinya harus memenuhi segala kaidah - kaidah. Seperti halnya pohon bintaro, bisa jadi kembali ke tanah asalnya, menemukan jatidiri sebenarnya, bernostalgia sejenak, lantas kembali menuju pacuan berikutnya. Mungkin, masa akan bercerita kelak. Dengan ceriteranya yang tetap berupa pertemuan, perpisahan, pertemuan, perpisahan, dengan interval gerimis nostalgia. [] haris fauzi, malang, 27 januari 2009 salam, haris fauzi |
Wednesday, January 28, 2009
kenisah : pohon bintaro
Monday, January 19, 2009
kenisah : an extraordinary life
AN EXTRAORDINARY LIFE *)
.... Love everlasting, or lost on the way The smiles and the frowns, the ups and downs Of fortune turning The twists and turns, the lessons learned, The bridges burning Nights to remember and never forget
Go, seize the day,Wake up and say This is an EXTRAORDINARY LIFE Enjoy today, Come what may This is an EXTRAORDINARY LIFE .... ("an Extraordinary Life", ASIA ,PHOENIX 2008,Wetton/Downes)
Ada sekelompok musisi yang berkumpul kembali setelah sekian tahun tidak bekerja sama menggarap nada. Mereka adalah John Wetton,Steve Howe, Carl Palmer, dan Geoff Downes. Tahun lalu mereka merilis album yang memuat lagu ini, "An Extraordinary Life".
Ya. Hidup ini memang luar biasa. Seperti sebuah pertandingan sepak bola. Pertandingan itu disebut luar biasa apabila kedua belah pihak saling serang, saling mencetak gol, keberuntungan silih berganti memihak kedua belah kubu. Yah. Coba apa enaknya menonton sepak bola yang babak pertama saja sudah berakhir 6-0, misalnya. Hambar sekali. Kemenangan yang terlalu mudah. Bagi saya pribadi, sepakbola itu sungguh berkesan bila ternyata babak pertama bertukar gol nyaris seimbang. Skor ideal akhir babak 1 adalah 3-2. Dan babak 2 harusnya adalah 4-4, sehingga terjadi perpanjangan waktu dan harus diakhiri dengan 'sudden-death' atau eksekusi pinalti yang demikian mendebarkan.
Saya adalah penggemar kesebelasan Inggris, Manchester United. Saya menggemarinya semenjak mendiang ayah saya naik haji. Ketika ayah tidak di rumah, saya bebas menonton televisi hingga larut malam, dan televisi kala itu menayangkan pertandingan sepak bola dalam acara 'arena dan juara'. Agustus 1986, saya coret kaos sepak bola dengan spidol : MANCHESTER UNITED.
Saya menyukai kesebelasan itu karena mereka memang bermain dengan sangat baik. Namun tidak hanya itu, Manchester United sering bermain dalam atmosfer yang sungguh dramatis sehingga menghasilkan pertandingan yang luar biasa. Salah satunya adalah bagaimana sang kiper mencetak gol setelah mendapat umpan tendangan penjuru. Penjaga gawang mencetak gol. Teatrikal sekali, mengundang decak kagum.
Dan saya ingat bagaimana dalam final liga Champion Eropa, Bayer Muenchen memimpin 1-0 semenjak babak pertama hingga menit ke 88-an (kira-kira). Manchester United kemudian mencetak gol di menit 89, dan membukukan kemenangan dengan gol kedua di detik injury time. Dua gol paling berpengaruh dalam sejarah sepak bola itu dicetak oleh Ole Gunnar Solksjaer dan Teddy Sherringham, pemain penganti. Pertandingan yang luar biasa. Menjadi sangat luar biasa bagi saya karena kesebelasan kesayangan saya menjadi pemenang. Namun yang membuat demikian luar biasa adalah bagaimana berliku - likunya, bagaimana kemenangan itu diraih melalui pertandingan yang ketat dan menegangkan. Saling serang dengan cepat, silih berganti. Ya. Seperti inilah kira - kira 'an extraordinary match'.
Demikian juga dengan hidup ini. Dalam tulisan kali ini sebenarnya saya tak hendak menulis tentang pertandingan sepak bola. Saya ingin menulis tentang suka - duka dalam hidup ini. Mudah - susah, tawa - tangis yang menghiasi jalannya hidup kita. Dan seperti sepak bola, kejadian yang dramatis dan teatrikal seperti ini membuat kehidupan menjadi 'sangat luar biasa'. Mengapa ada kesulitan ? mengapa ada kesedihan ? bukankah lebih senang bila selalu tertawa ? Dalam keadaan selalu tertawa, hidup yang dinamis ini kehilangan cirinya. Karena pada dasarnya kehidupan itu adalah kejutan. Selagi kita bisa berpikir tentang apa yang harus dilakukan, kita akan berdiri tegak tidak akan ambruk. Dan lagi, pelajaran - pelajaran dalam perjalanan hidup itu lebih mudah dan banyak didapat bila terjadi pasang - surut. Seperti nelayan, dia akan tangguh bila dilatih oleh ombak yang senantiasa hendak melemparkan perahunya. Ah. Saya jadi terlalu berteori seperti tukang khotbah. Namun percayalah, apa yang disampaikan oleh John Wetton dan Geoff Downes tentang 'an extraordinary life' adalah benar belaka. Pergantian senyum dan cemberut (smiles & frowns), keberuntungan (ups & downs fortune turning) adalah hal - hal yang bisa membuat hidup ini menjadi demikian luar biasa. ... I gave it all, my cards have fallen But I'm still alive And in the end, believe my friend I will survive ... Ya. Go, seize the day ! [] haris fauzi - 19 Januari 2009
*) judul lagu dalam album ASIA" PHOENIX "(2008), karya Wetton/Downes. salam, haris fauzi |
kenisah : kupu - kupu yang mati
KUPU - KUPU YANG MATI
Beberapa hari ini mendung dan kelam menjadi raja di-raja. Dimanapun saya berada, seakan diawasi oleh mendung - mendung ini. Rintik hujan yang semula terdengar laksana melodi klasik, kini menjadi deraan yang menusuk. Hampir tidak menyenangkan sama sekali. Menyiutkan nyali petarung.
Sementara sang waktu tidaklah bisa ditawar, seperti biasa. Dia tidak berjalan lebih cepat--atau lebih lambat. Sang waktu memiliki kecepatan yang tetap. Hanya kita yang sering tidak bisa mengantisipasi kedatangan sebuah momen, lantas menyalahkan sang waktu. Sekali - kali tidak. Sang waktu tidaklah bersalah. Dia adalah sosok yang paling konsisten yang pernah ada di jajaran alam semesta ini. Hanya kadangkala, ada masa yang menyenangkan, ada pula masa yang menyesakkan. Dan bagi saya, saat ini adalah masa yang menyesakkan. Segala langkah yang terayun adalah langkah yang berat. Dan itu harus dilewati. Minggu lalu adalah masa - masa yang menyesakkan, dan mungkin bergulir di minggu depan, depan, dan entah hingga kapan. Hard day. Bad day.
Setelah beragam urusan yang membuat saya berulang - ulang melewatkan waktu makan, membuat kurang istirahat, menembus dinginnya hujan, dan pergolakan pemikiran akan segala urusan, akhirnya hari Jum'at siang saya didera sakit kepala yang hebat. Pertanda bahwa ada saatnya untuk berhenti berlari. Sakit kepala sepanjang sore hingga malam, sehingga saya menggantikan sholat jum'at dengan sholat dzuhur, menggantikan air wudlu dengan tayamum debu, dan tidak kuasa berdiri untuk menegakkan sholat. Lamat - lamat saya dengar Salma bilang,'...ayah wudlu-nya pake tembok dan solatnya sambil tidur...". Salma puteri sulung, rupanya mengintip ke tempat saya menyendiri. Di ruang atas pojok rumah kami. Ya. Dalam se-minggu ini saya sering menyendiri di ruangan itu. Deraan dan galau saya coba pendam dengan menyendiri. Mencoba mencari nyala api.
Mungkin tidak masuk akal ketika untuk mengobarkan semangat saya menggunakan sesosok jaket. Jaket merah itu sudah saya miliki lebih sepuluh tahun. Ketika semuanya jadi semakin tidak menyenangkan, maka jaket merah itu seakan memberikan kekuatan bila dikenakan. Percaya nggak percaya. Deraan masalah yang cukup ketat memaksa saya mengenakan jaket ajaib itu. Masalah yang hebat, yang 'hampir' di luar kuasa saya. Saya menyebut 'hampir', karena saya percaya bahwa masalah yang ditawarkan oleh semesta kepada saya selalu dalam takaran yang bisa saya hadapi. Cobaan adalah sesuai dengan kemampuan, demikian ayat suci mengatakan. Untuk itu saya selalu berusaha mengatakan,"...saya belum menyerah...", walau dengan menangis.
Bagi sebagian orang, masa penuh dera, hantaman, dan luka adalah masa yang tidak menyenangkan. Namun bagi sebagian orang, masa seperti itu adalah saatnya mengambil pelajaran. Saya pernah mendengar sebait lagu, bahwa sebait puisi lahir dari luka. Ya, luka adalah inspirasi, dan inspirasi adalah sumber kehidupan. Walau sepenuhnya saya sulit mewujudkan hal itu, saya kini berusaha mengakui dan mencobanya. Mewujudkan kekuatan inspirasi, dan itu berlaku kekal, selamanya. Inspirasi selamanya.
Sakit kepala hebat itu berkurang setelah saya tergolek sehari, dan ini membuat saya mampu melangkah kaki menghirup udara di teras rumah yang lembab. Ya, di sore yang lembab itu saya menyaksikan daun yang merunduk, rumput yang berbulir tetes air, dan kupu - kupu yang tergolek mati di tanah. [] haris fauzi - 17 januari 2009 |
Friday, January 16, 2009
kenisah : chauvimisme
CHAUVIMISME what's past is prologue...(Shakespeare) Rasa kebanggaan akan ideologi nasionalisme yang berlebihan, sehingga merendahkan bangsa lain, sehingga mendorong tindakan penaklukan. Itu kata Guru PMP saya dahulu mengenai definisi Chauvimisme. Seperti ralat rekan saya, Ndhoel, memang dalam kamus maya istilah ini adalah Chauvinisme, karena tokohnya bernama Chauvin. Yang benar memang itu. Kali ini saya mohon, ijinkanlah saya menyalahi ejaan kamus tersebut. Bukannya kenapa, seingat saya dalam buku PMP saya yang tertulis adalah Chauvimisme. Dan ini diamini oleh adik kelas saya. Okelah. Bila memang salah ejaan, maka anggap saya ChauviMisme yang saya tulis berarti sama dengan ChauviNisme. Karena definisi yang saya kutip disini menggunakan yang ada dalam buku PMP saya, bukan dari kamus maya. Perkenalan pertama dalam kitab sejarah untuk kasus chauvimisme paling gampang adalah pada kasus Perang Dunia ke-II yang disulut oleh Juragan Adolf Hitler. Entah mengapa dengan kepintaran propaganda menteri Goebbels, Partai NAZI bisa memobilisasi rakyatnya dengan isu bahwa Jerman harus bangkit melawan keterpurukan ekonomi gara - gara embargo Eropa. Ya, gara - gara Perang Dunia I yang disulut Jerman juga, dimana pada akhirnya Jerman kalah, maka Jerman banyak sekali harus membayar denda. Bukan hanya itu. Jerman juga merelakan sebagian wilayahnya terlepas satu - persatu. Ini membuat bangsa Jerman berantakan. Apa saja yang diopinikan Hitler untuk menggerakkan rakyatnya ? Ras Aria sebagai bangsa pemenang dan harus membentuk imperium Jerman Raya. Well. Maka, karena tidak adanya pilihan dalam keterdesakan ekonomi, dalam euphoria kebanggaan ras Aria maka majulah prajurit yang lapar itu menggilas satu persatu negara tetangganya untuk mewujudkan imperium Jerman Raya itu. Namun, alasan lain juga ada. Jangan salah, bangsa Jerman memang punya bakat berperang melebihi bangsa - bangsa lain. Sungguh, para panglima Jerman yang terinspirasi invasi dan imperium Romawi, benar - benar brilian. Dan nggak salah, bila era 1940-1945 ketika merebak fasisme --penguasa berbasis militer-- disambut gembira oleh rakyat Jerman. Seperti halnya petinju legendaris Muhammad Ali yang sering mengatakan bahwa kecepatan menentukan kemenangan, maka 'Serangan Kilat' Blitzkrieg para punggawa Jerman ini sungguh menakutkan. Sebagai contoh, sebuah tank Jerman rasio-nya seimbang melawan7-8 tank sekutu. Rasio pasukannya mungkin hingga 1:15, sementara pesawat udara juga hampir seperti itu. Pukul rata, 10 personil sekutu akan berimbang melawan 1 personil Jerman. Dahsyat sekali kekuatan Jerman ini. Apa yang mendorong ini semua ? Chauvimisme akan ras unggul Aria yang hendak mendirikan Imperium Jerman Raya. Mungkin hal ini bukan satu - satunya faktor, tapi bagi saya ini merupakan faktor dominan. Chauvimisme menbuat orang menjadi kalap. Dalam kasus Hitler, mereka edan. Tetapi jangan salah. Mungkin ada yang lebih edan ketimbang pegelaran acara Hitler di perang Dunia kedua ini. Yakni invasi Israel. Seperti dimaklumi, bangsa Israel menganut faman Zionisme, semacam Chauvimisme milik NAZI juga. Dahulu, Jerman merangsek negara - negara tetangganya dengan gagah perkasa setengah edan. Menghancur-leburkan apa yangdilewatinya dalam waktu singkat. Namun, faham fasisme-nya lebih menjadikan militer sebagai kompetitor. Dasar bangsa petarung, tentara melawan tentara. Hitler berkonsentrasi menghancurkan kekuatan militer negeri taklukannya, bukan bermain kucing - kucingan dengan warga sipil. Hitler memang tidak terlalu pengecut. Itu cerita yang saya dengar. Mudah - mudahan benar. Setelah era perang dunia II, beberapa penaklukan pernah terjadi. Seingat saya kasus Irak menyerbu Kuwait. Irak yang dimiliterisasi oleh Amerika Serikat ketika perang melawan Iran, kini malah hendak mencaplok Kuwait. Tentang perang Iran-Irak, seperti banyak dugaan, Amerika Serikat sangat khawatir terhadap Iran. Tetapi Amerika mungkin tidaklah berani menghadapi Iran, mangkanya dia memprovokasi Irak yang kala itu dipimpin orde fasisme, Saddam Hussein. Alasannya ? Sungguh nggak jelas. Entah sengketa suku Kurdi, atau perebutan jalur minyak. Semula, provokasi yang dikobarkan Amerika Serikat adalah perbedaan aliran Sunni-Syiah. Tetapi hal ini gak berjalan mulus. Memang Iran dominan Syiah, tetapi di Iran aliran Sunni berpelukan dengan Syiah. Sementara Irak yang mayoritas Sunni, tidak tergoda dengan isu ini, karena konsentrasi pemerintahan bukan pada urusan agama. Mereka Fasis. Saddam itu orang yang fanatik fasis, bukan teolog. Maka gengsi nasionalisme Saddam-lah yang diprovokasi Amerika Serikat. Dan, tentara itu bergerak. Kasus lain yang berlarut - larut dalam urusan 'kebanggaan bangsa' adalah urusan tanah Palestina. Bangsa Israel merasa mendapat perintah dari langit untuk menguasai tanah Palestina. Wangsit ini dimanifestasikan dalam semangat chauvimisme berbendera Zionisme. Setelah merengek - rengek kepada Eropa, seorang Inggris melegitimasi hal ini. Mungkin, Inggris-pun resah bila terlalu berdekatan dengan bangsa rewel ini. Inggris pintar, dia belajar dari kasus Hitler yang mengusir orang Israel dari Imperium Jerman Raya, karena dianggal rewel. Bagi saya semangat chauvimisme ini tidak identik, setidaknya tiga contoh tadi. Antara Hitler dengan nazi-isme-nya, Saddam dengan fasisme-nya, serta Israel dengan zionisme-nya, ga selamanya sama. Hitler lebih senang membumi - hanguskan taklukannya dengan berperang secara militer, trooper dog fight. Saddam, mempolitisir pemerintahannya menjadi gerakan militerisasi, lantas berperang adu amunisi. Sementara zionisme melakukan penaklukan dengan cara menebar teror kepada warga sipil dan mempolitisir politik luar negeri sehingga bisa memperalat negara sebesar Amerika Serikat. Kesamaannya adalah, selama masih ada niatan untuk merendahkan bangsa lain, pertempuran untuk invasi masihlah akan ada. Hanya bentuk dan metode-nya yang berbeda. Mohon koreksinya. [] haris fauzi - 15 januari 2009 ---- what's past is prologue ...? wahai penghuni pelangi, untuk bad & hard-day yang datang lebih cepat dari yang kita duga.... salam, haris fauzi |