KUPU - KUPU YANG MATI
Beberapa hari ini mendung dan kelam menjadi raja di-raja. Dimanapun saya berada, seakan diawasi oleh mendung - mendung ini. Rintik hujan yang semula terdengar laksana melodi klasik, kini menjadi deraan yang menusuk. Hampir tidak menyenangkan sama sekali. Menyiutkan nyali petarung.
Sementara sang waktu tidaklah bisa ditawar, seperti biasa. Dia tidak berjalan lebih cepat--atau lebih lambat. Sang waktu memiliki kecepatan yang tetap. Hanya kita yang sering tidak bisa mengantisipasi kedatangan sebuah momen, lantas menyalahkan sang waktu. Sekali - kali tidak. Sang waktu tidaklah bersalah. Dia adalah sosok yang paling konsisten yang pernah ada di jajaran alam semesta ini. Hanya kadangkala, ada masa yang menyenangkan, ada pula masa yang menyesakkan. Dan bagi saya, saat ini adalah masa yang menyesakkan. Segala langkah yang terayun adalah langkah yang berat. Dan itu harus dilewati. Minggu lalu adalah masa - masa yang menyesakkan, dan mungkin bergulir di minggu depan, depan, dan entah hingga kapan. Hard day. Bad day.
Setelah beragam urusan yang membuat saya berulang - ulang melewatkan waktu makan, membuat kurang istirahat, menembus dinginnya hujan, dan pergolakan pemikiran akan segala urusan, akhirnya hari Jum'at siang saya didera sakit kepala yang hebat. Pertanda bahwa ada saatnya untuk berhenti berlari. Sakit kepala sepanjang sore hingga malam, sehingga saya menggantikan sholat jum'at dengan sholat dzuhur, menggantikan air wudlu dengan tayamum debu, dan tidak kuasa berdiri untuk menegakkan sholat. Lamat - lamat saya dengar Salma bilang,'...ayah wudlu-nya pake tembok dan solatnya sambil tidur...". Salma puteri sulung, rupanya mengintip ke tempat saya menyendiri. Di ruang atas pojok rumah kami. Ya. Dalam se-minggu ini saya sering menyendiri di ruangan itu. Deraan dan galau saya coba pendam dengan menyendiri. Mencoba mencari nyala api.
Mungkin tidak masuk akal ketika untuk mengobarkan semangat saya menggunakan sesosok jaket. Jaket merah itu sudah saya miliki lebih sepuluh tahun. Ketika semuanya jadi semakin tidak menyenangkan, maka jaket merah itu seakan memberikan kekuatan bila dikenakan. Percaya nggak percaya. Deraan masalah yang cukup ketat memaksa saya mengenakan jaket ajaib itu. Masalah yang hebat, yang 'hampir' di luar kuasa saya. Saya menyebut 'hampir', karena saya percaya bahwa masalah yang ditawarkan oleh semesta kepada saya selalu dalam takaran yang bisa saya hadapi. Cobaan adalah sesuai dengan kemampuan, demikian ayat suci mengatakan. Untuk itu saya selalu berusaha mengatakan,"...saya belum menyerah...", walau dengan menangis.
Bagi sebagian orang, masa penuh dera, hantaman, dan luka adalah masa yang tidak menyenangkan. Namun bagi sebagian orang, masa seperti itu adalah saatnya mengambil pelajaran. Saya pernah mendengar sebait lagu, bahwa sebait puisi lahir dari luka. Ya, luka adalah inspirasi, dan inspirasi adalah sumber kehidupan. Walau sepenuhnya saya sulit mewujudkan hal itu, saya kini berusaha mengakui dan mencobanya. Mewujudkan kekuatan inspirasi, dan itu berlaku kekal, selamanya. Inspirasi selamanya.
Sakit kepala hebat itu berkurang setelah saya tergolek sehari, dan ini membuat saya mampu melangkah kaki menghirup udara di teras rumah yang lembab. Ya, di sore yang lembab itu saya menyaksikan daun yang merunduk, rumput yang berbulir tetes air, dan kupu - kupu yang tergolek mati di tanah. [] haris fauzi - 17 januari 2009 |
Monday, January 19, 2009
kenisah : kupu - kupu yang mati
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment