DI 'SAUNG NDESO' KITA BELAJAR Hari itu sabtu malam. Saya sebut malam, karena memang menjelang pukul sepuluh malam, dimana biasanya kita terpaku kepada nyala televisi yang begitu memikat. Sepakbola, sinema, atau lawakan. Saat itu saya mengikuti sebuah acara bernama 'Dialog Rakyat' dimana di depan saya berdiri sesosok bangunan bersahaja, berupa saung di tepi jalan protokol RW. Di bawah atap saung itu ada tiga orang pembicara, seorang ustadz, seorang pakar ketenaga-kerjaan, dan seorang ekonom. Telinga saya menangkap impuls frekuensi dengan volume yang cukup jelas dan keras. Saya sendiri duduk di luar saung, berhadapan dengan meja bundar. Walau malam itu saya sendirian di hadapan meja bulat, namun di meja - meja lain banyak sekali hadirin. Mengikuti kata - demi kata yang disampaikan oleh ketiga pembicara tadi, ditengahi tegas suara moderator yang sempat membanting gelas segala. Malam itu sambil menghitung embun yang merinai, kata - demi kata bergulir dengan cepat, pikiran - pikiran teraktualisasi dalam ujaran. Saya berusaha menghormati dengan baik niatan seorang sobat yang mengundang saya sebagai pengamat, dengan berusaha mendokumentasikan percakapan, mencatat berteman temaram cahaya malam, dan saya berjanji akan menuliskannya. Memang, tidak bisa dipungkiri hari itu adalah hari menjelang pemilihan umum, mungkin sekitar lima puluh hari menjelang. Dan para pembicara adalah para pegiat partai politik. Para hadirin-pun beberapa orang jelas - jelas pegiat politik praktis. Malam itu sejatinya bukan malam kampanye. Malam itu adalah acara sekedar ber-tukar pikiran di sebuah desa, bertukar pikiran --ala rakyat biasa-- ihwal nasib bangsa ini, di bawah pekat langit malam di bilangan Bekasi. Kita harus belajar. Belajar dengan sangat sungguh - sungguh. Itu kesan saya yang paling mendalam. Bagaimana akhirnya armosfir malam itu menjadi aura bernuansa politik, entah dimulai dari siapa. Sang audiens yang semula hadir untuk mengikuti diskusi "Visi Sang Pemimpin", akhirnya pembicaraan beralih pembobotannya kepada gelimang politik yang memang semakin mendesak. Kedua pembicara --Pak Ustadz dan Pak Pakar Ketenaga-kerjaan-- juga sepertinya terjebak kepada aura pemilihan umum, aura politik praktis, sementara Pak Ekonom cenderung lebih bisa mengerem hal ini. Pak Ekonom lebih menyukai pembicaraan yang bersifat strategis, ter-struktur, dengan kalimat yang akademis, walau bagi sebagian orang mungkin terdengar cenderung monoton. Dia berusaha memegang pesan awal untuk tidak berkampanye. Sebuah acara yang menarik. Pada pembukaan acara, nuansa pemilihan umum langsung terasa, karena ada acara pembukaan berupa paparan dari Pejabat Komisi Pemilihan Umum. Berpidato tentang bilik pemilu, tentang mencontreng, tentang mencoblos. Haiya. Jelas - jelas kesan awal ini membawa atmosfir ke arah yang jelas. Selingan lagu - lagu yang dinyanyikan dengan santai berikut hidangan makan malam ala rakyat Indonesia yang sungguh memikat tidak menggusur nuansa politik ini. Nuansa yang semakin mengristal. Sang Ekonom, yang menuai gelar pendidikan yang sudah tinggi, dengan lugas menyampaikan program yang menjadi prioritasnya, yakni pemberdayaan masyarakat. Artinya sektor pendidikan menjadi perhatiannya. Bagi dia, seorang pemimpin bangsa yang baik hendaknya memiliki visi yang jelas untuk meningkatkan kualitas pendidikan bangsanya. Mencetak sumber daya manusia yang berkeahlian tinggi, sehingga mampu mengisi kekosongan dalam struktur bangsa. Peningkatan pendidikan ini dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing bangsa sekaligus menggulirkan ekonomi kerakyatan demi menjadikan bangsa yang mandiri dan kuat. Begitulah visi kepemimpinan bangsa yang beliau sampaikan, seorang profesor, pakar ekonomi, sekaligus pemerhati masalah pendidikan. Memang Pak Pakar Ketenaga-kerjaan benar-benar seorang pakar. Beliau malang - melintang puluhan tahun mendalami dan menyelami urusan ini. Mungkin bila nasib berpihak, jabatan menteri tenaga kerja bisa dia sandang. Dengan logat pembicaraan yang menarik, diselingi humor yang memikat, Pak Pakar menjabarkan visi-nya, dan dengan sedikit malu - malu menyisipkan kampanye. Walhasil gaya pidato semacam ini tentunya ini mengundang antusias hadirin, yang akhirnya malah berduyun - duyun menyuarakan ihwal kampanye politik. "Tumbu oleh Tutup", gayung bersambut. Dengan menitik beratkan keberpihakan kepada kaum pekerja, Sang Pakar mencoba menawarkan sistem kesetimbangan antara pekerja dan pemodal untuk meningkatkan harkat hidup masyarakat. Tidak cuma itu, Pak Pakar yang praktisi partai politik ini juga mencoba menyadarkan masyarakat untuk peduli kepada kelangsungan pembelajaran politik bangsa. Sebagai seorang politisi, beliau juga menyuarakan demokratisasi, beliau menunjukkan bahwa siapa-pun boleh berpeda pendapat. "Kita datang untuk berbeda pendapat...", begitu ujarnya. Adalah Pak Ustadz yang berkesempatan terakhir naik podium. Dengan gaya bicara yang merakyat lazimnya peng-kotbah, beliau berusaha untuk mengangkat pembicaraan yang heterogen tanpa harus membacakan dalil. Pak Ustadz memilih topik 'kejujuran' sebagai syarat mutlak visi seorang pemimpin. Tak lupa, kedekatan kepada masyarakat menjadi kekuatan utama seorang pemimpin yang dikehendaki warganya. Demikian papar beliau. "Kejujuran setiap orang belumlah mencapai kesempurnaan, demikian juga dengan saya...", demikian bijak kata beliau. Tanpa harus menegasikan ihwal beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh para pemegang kuasa, pak Ustadz menekankan himbauannya agar masyarakat bisa menentukan dan memilih pemimpin bangsa yang jujur, setidaknya memiliki reputasi jujur, setidaknya selalu berusaha untuk jujur. Di 'saung ndeso', nama lokasi itu, sungguh mewujud sebuah acara yang memikat, lepas dari melencengnya menuju pembicaraan politik praktis. Ya, untuk urusan satu ini, sekali lagi, memang kita harus belajar dengan sungguh - sungguh untuk komitmen kepada pesan awal. Yah. Biarlah. Toh biarpun begitu, acara berlangsung seru hingga lewat tengah malam. Saya sendiri baru beranjak menuju parkiran sekitar pukul setengah satu malam. Setelah Pak Ekonom tadi menyanyikan penggalan lagu GodBless,"...lebih baik disini, rumah kita sendiri....". [] haris fauzi - 24 Februari 2009 salam, haris fauzi |
Wednesday, February 25, 2009
kenisah : di saung ndeso kita belajar
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment