Friday, April 17, 2009

kenisah : waktu yang terus bergulir

WAKTU YANG TERUS BERGULIR

"...ketika waktu terus berjalan, kita harus terus berlari...."

Merasa cepat. Itu saja yang saya rasakan dalam menjalani empat bulan di tahun 2009 ini. Sepulang dari mudik akhir tahun yang menyenangkan tapi agak compang - camping --dari sisi keuangan-- karena sangat mendadak, saya cukup puas bisa keluyuran ke rumah mertua di Surakarta, ke makam leluhur berikut ke rumah kakek saya di desa ujung Kaliurang Yogyakarta. Walau pada kenyataannya tidak berkesempatan menjejak tanah kelahiran saya di Malang sana, hati ini cukup senang juga bisa mempertemukan anak saya dengan Eyang Buyutnya. Masih terbayang wajah suka cita Eyang melihat tingkah laku anak saya. Empat generasi temurun.

Dan --mendadak-- saya baru berkesempatan ke Malang ketika liburan Imlek, --dalam rangka tugas kantor-- tanpa keluarga, saya meretas jalan rel kereta menuju atmosfir kampung halaman, dan sesegera mungkin menuju pusara Bapak di Ngujil. Hujan mendera bumi selama saya singgah di kampung Malang. Saya balik ke Jawa Barat melalui terminal Arjosari, selepas mengobrol dengan pengamen buta di terminal 'antik' itu.

Waktu berjalan dengan cepat. Februari adalah bulan pendek, dan saya tak ingat apa saja yang layak saya catatkan disini untuk memaknainya selain satu hal yang menurut saya cukup menarik. Dalam perjalanan ke kantor di pagi hari, tiba - tiba telepon genggam saya berdendang. Dan tercantum nama sahabat saya di sana. Ketika percakapan dimulai, sang sahabat bercerita singkat tentang rencana dia untuk membuat diskusi umum tentang pendidikan politik. "...Yang sudah konfirmasi sebagai pembicara utama adalah Pak Didik Rachbini, Ris... sementara pembicara utama lainnya juga sudah bersedia. Nah, saya dengan ini pengen ngundang kamu. Kamu saya undang jadi pengamat jalannya diskusi. Gimana ?", singkat cerita begitulah undangan dari sahabat. Politik ? saya insinyur, bukan politisi. Tapi apa salahnya ? Saya putuskan untuk bersedia menghadiri undangan sahabat saya itu. Bukannya sok-sokan politik. Tetapi, apa salahnya icip-icip ranah politik ? Itu saja. Saya ingin menjalin silaturahmi dan memenuhi ajakan teman, juga pengen tau --sifat dasar saya-- seperti apa sih rasanya menjadi pengamat diskusi politik dengan pembicara sekaliber Prof. Didik J Rachbini. Itulah.

Maret ? bulan yang cukup atraktif buat saya. Secara tidak diduga, Bung Kadri secara pribadi mengundang saya untuk datang di peluncuran album musik karya kelompok musiknya. Dan begitu surprise ketika saya memasuki lokasi, banyak sekali dedengkot musik Indonesia, termasuk generasi 80-an seperti Keenan Nasution --pujangga musik Indonesia-- dan Andy Julias. Sementara generasi sekarang setidaknya ada Once vokalis Dewa yang berdiri beberapa baris dibelakang saya. Saya sendiri duduk di deretan terdepan, karena memang undangan yang disodorkan kepada saya seperti itu,"...bangku first-row buat kamu, Ris...", begitu email dari Bung Kadri.

Yang membuat surprise bukan hanya itu. Yang paling kaget adalah ketika saya membuka cindera mata untuk hadirin --tentunya saya juga kebagian--, ternyata adalah CD album dari kelompok musik Bung Kadri. Dan, pada notifikasi albumnya, tercantum nama saya, tentunya kapasitas saya sebagai pengamat musik, bukannya sebagai musisi, hahahahaha...karena saya tidak bisa memainkan alat musik. Saya hanya bisa mendengar, komentar, menulis.

Bukannya gaya - gayaan, bukannya saya mendapat upah untuk itu. Bukan. Saya cukup kaget, bahwa selembar tulisan tentang kelompok musik itu --yang pernah saya bikin beberapa minggu sebelumnya --- ternyata mendapat menghargaan dan apresiasi demikian tinggi, sehingga nama saya dirasa cukup pantas disandingkan dengan para kontributor 'kaliber berat' lainnya.

Tidak semua momen tercatat dalam memori. Sesekali dua kali, tiga kali, sepuluh kali, saya memang teledor. Entah berapa kali, mungkin ratusan, ribuan, pokoknya cukup banyak yang terlantar. Sehingga, ketika waktu terus mendorong kita untuk terus mengurangi umur, kita sering tergopoh - gopoh berlari menjauh dari terkaman sang waktu. Dengan kalang kabut berlari seperti itu, seringkali kita pada akhirnya gagal memaknai perjalanan hidup yang kita lakoni. Mungkin anda demikian, dan saya-pun demikian. Mungkin ada pula yang tidak.

Ketika ada seorang kawan baik menanyakan sesuatu, suatu kali secara spontan saya menjawab dengan kalimat di atas. Bahwa ketika sang waktu terus berjalan, kita harus senantiasa berlari. Kita tidak boleh terlena. Karena apabila kita terhenti lantas tergulung pusaran waktu, maka status perjalanan kita menjadi mundur. Kita berada dalam kelam tornado perjalanan masa.

Ya. Kita harus berjalan lebih cepat dari pusaran sang waktu. Namun, bukan berarti kita gedabrugan berlari gak karu - karuan. Kita harus berusaha semaksimal memaknai perjalanan yang kita lakukan. Hidup ini harus dinikmati, dimaknai, dan dijalani. Cita - cita harus difokuskan, dikejar, dan diperjuangkan. Sementara masa lalu harus  diambil hikmahnya untuk pelajaran, entah buat kita sendiri, entah buat kerabat, entah untuk musuh, atau mungkin juga akan dimanfaatkan oleh keturunan kita, atau orang lain seribu tahun lagi. Entah benar, entah salah. Yang jelas, sang waktu terus berjalan, dan kita harus terus berlari. [] haris fauzi - 17 April 2009




salam,

haris fauzi

No comments: