UNTA BERUMUR DUA TAHUN
"Ketika terjadi fitnah, jadilah seperti anak unta yang berumur dua tahun, yang tidak memiliki punggung kuat untuk ditunggangi dan tidak (pula) mempunyai air susu untuk diperah". (Nahjul Balaghah - Ali bin Abi Thalib)
Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah terakhir era Khulafaur Rasyidin, sebutan bagi khalifah para penerus kepemimpinan Muhammad SAW. Khalifah yang relatif berusia muda dengan memiliki masa pemerintahan singkat. Di masa kepemimpinan Ali, carut - marut pemerintahan mungkin sudah se-rumit seperti sekarang ini. Konstelasi politik dan teori kudeta yang terjadi sudah melebihi era-nya. Bila filsuf Nietzche pernah mengatakan,"...aku tiba lebih cepat dari masanya...", mungkin demikian pula kejadian masa kepemimpinan Ali yang jenius itu. Entah atas alasan apa Tuhan menimpakan deretan perebutan kekuasaan yang demikian mutakhir kala itu. Yang saya tau, mungkin Tuhan mencoba memberikan contoh, sehingga kita yang hidup beberapa tahun setelah kejadian itu mampu untuk menarik pelajaran dengan baik.
Mungkin Ali bin Abi Thalib merupakan khalifah yang paling intens digoyang tampuk kepemimpinannya. Tampuk yang penuh prahara. Bagaimana wilayah 'warisan' khalifah Umar bin Khattab yang sudah demikian luas, struktur administrasi negara yang demikian kompleks warisan khalifah Utsman bin Affan, dan tentunya kondisi sosio kultur yang demikian heterogen semenjak era Abubakar as-Shiddiq, semuanya harus dikomando oleh khalifah Ali. Dan semuanya itu memiliki potensi permasalahan masing - masing. Bertubi - tubinya permasalahan yang timbul sama sekali bukan karena ketidak-becusan Ali. Bukan pula karena khalifah sebelumnya memelihara api dalam sekam. Ali adalah pemimpin yang sungguh ekselen, demikian juga tiga khalifah sebelumnya. Sejatinya memang permasalahan itu semata muncul di masa kepemimpinan Ali. Semua potensial problem itu mengerucut ke satu hal, perebutan kekuasaan. Dan sang khalifah harus merelakan anaknya terpenggal, dan bahkan jiwanya untuk menuntaskan permasalahan itu. Tidak sedikit darah yang tertumpah, tidak jarang pedang yang berkelebat demi merebut kuasa. Demikian dahsyat problem yang terjadi sehingga jejak dan luka permasalahan itu bahkan masih tersisa hingga sekarang, hingga detik ini. Sementara duplikasi problemnya mungkin kita juga bisa merasakan di era modern sekarang ini.
Dalam bukunya, 'Nahjul Balaghah', khalifah Ali menyampaikan banyak pelajaran seputar masa pemerintahannya. Dan bagi saya, pelajaran itu masih valid hingga kini. Dalam buku yang sarat filsafat itu disebutkan bahwa dalam struktur perebutan kekuasaan, salah satu hal yang menjadi masalah besar adalah munculnya 'fitnah'. Ya. Dan kita bisa membaca dengan gamblang bahwa fakta itu juga terjadi sekarang. Setiap terjadi pergolakan kekuasaan, maka fitnah bertebaran dimana - mana. Pekat, seperti asap yang turun, menyelimuti, lantas meracuni.
Tak bisa dipungkiri bahwa kita seringkali terlarut dalam hingar - bingar opini publik. Terlebih ketika beredar opini ihwal percaturan kekuasaan. Opini yang demikian menyita. Geret sana geret sini, tarik ulur, berikut pula limpahan kata - kata yang merayu, mengajak, atau menghunjam para pesaingnya. Antara janji, pujian, cercaan, tipuan, dan fitnah melebur menjadi satu bagai air bah. Demikian pekat karena dunia ini adalah dunia kata - kata. Karena deretan kata - kata telah menguasai kita, seperti asap pekat yang dengan berat turun ke bumi, menyelimuti, dan meniadakan semuanya. Jumlah huruf yang berjajar membentuk opini, membentuk perintah, membentuk kebijakan, ataupun membentuk tipuan sudah tak terhingga banyaknya.
Saya orang awam. Sangat awam terhadap percaturan kekuasaan. Banyaknya kejadian berseliweran muncul di sekeliling dan semua itu sudah cukup membuat saya puyeng. Ditambah resesi yang juga mencekik demikian kuat. Semakin saya puyeng, maka semakin susah membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang rekayasa, mana yang sebenarnya kerjadi. Mana yang fitnah, dan mana yang bukan. Seperti kabut. Seperti awan. Entah, apakah suatu saat nanti awan ini begitu pekat sehingga kita semakin menjadi awam, semakin puyeng, semakin panik, dan tidak bisa membuat keputusan.
Opini yang beredar, jajaran huruf yang tersaji mungkin akan membenamkan kita semua, sehingga membuat kita tidak lagi bisa berpikir logis. Ujungnya, kita seakan didorong - dorong untuk mengambil keputusan - keputusan yang instan. Yang belum tentu logis, dan kadang hanya berdasar emosi semata. Emosi yang larut karena opini yang membingungkan.
Dalam skala perebutan kekuasaan, jelas - jelas muatan fitnah itu ada diantara opini yang terbentuk. Walau semua pihak tidak mengakui, ini malah merupakan tindak kesalahan kedua. Dalam perjalanan sejarah perebutan kekuasaan, 'menikam' adalah wajar. Beberapa penulis menyampaikan bahwa sejarah kekuasaan identik dengan tentara, pedang, darah, dan fitnah. Mengerikan. Kita tidak perlu mempertanyakan mengapa para pencari kekuasaan itu melakukan hal itu semua. Tidak terlalu berguna pertanyaan semacam itu. Jawabannya-pun tak akan jauh dari "... atas nama rakyat, ...atau ... atas nama Tuhan". Hanya jawaban seperti itu.
Disisi lain, saya punya keyakinan bahwa tidak semua perebutan kekuasaan berlangsung dengan ujung bedil. Banyak cara untuk menempuh perolehan kekuasaan. Tidak harus dengan pedang, bedil, dan atau darah. Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa fitnah merajalela di atmosfir seperti itu. Ya. Fitnah dan perebutan kekuasaan seperti batu dan bayangan, selalu muncul bersamaan seiring sejalan, seperti bisa disimak dalam berbagai literatur sejarah.
Dan apabila terlalu sedikit yang bisa kita fahami dengan baik, dalam keadaan bergelimang fitnah seperti itu, maka petuah Ali bin Abi Thalib yang sarat kebijakan itu sungguh bermanfaat. Tuhan telah memberikan pelajaran dalam sejarah yang ditorehkan khalifah Ali bin Abi Thalib, dan kita berhak untuk memetiknya sekarang.[] haris fauzi - 4 Juni 2009
salam,
haris fauzi |
No comments:
Post a Comment