Thursday, June 25, 2009

kenisah : fakir & kafir

FAKIR DAN KAFIR

 

"kefakiran dekat dengan kekafiran..."(Muhammad saw)

 

Fakir, dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih adalah 'orang yang tidak mampu', 'orang yang kekurangan', atau 'orang miskin yang disengaja'. 'Disengaja' disini maksudnya mungkin adalah memprofesikan dirinya sebagi layaknya fakir, bertirakat menjauhi harta benda, mengembara, dan sebangsanya.

 

Sementara dalam beberapa buku panduan zakat, fakir artinya orang yang kekurangan karena tidak memiliki penghasilan tetap. Sementara miskin, artinya adalah orang yang memiliki penghasilan tetap tetapi masih kekurangan. Oleh karena itu di dalam panduan zakat sering disebutkan kaum fakir, kaum miskin, dan kaum fakir - miskin.

 

Kafir, menurut adik saya yang berprofesi sebagai ustadzah, artinya adalah 'orang yang mengingkari', 'orang ingkar', dekat maknanya dari asal kata 'kufur'. Bila merujuk kepada kasus - kasus keagamaan, maka notabene pengingkarannya adalah terhadap hukum - hukum atau ketentuan Tuhan. Melanggar perintah-Nya. Melanggar instruksi nabi. Ingkar keimanan. Ingkar fitrah. Begitulah kira - kira definisinya.

 

Dalam pengajian, khutbah, dan ceramah sering kita dengar bahwa apabila seseorang yang kekurangan --serba kekurangan materi-- di tengah lilitan kemiskinan, maka tak heran bila orang itu lantas melanggar ajaran Tuhan, menggadaikan keimanannya. Oleh karena itulah muncul 'wejangan' dari Muhammad seperti tercantum di baris atas itu. Supaya tidak celaka menjadi kafir, disarankan agar seseorang janganlah fakir. Karena keadaan fakir disinyalir mudah menjerumuskan manusia menjadi kafir.

 

Hadits Muhammad tersebut sering diinterpretasikan bahwa dengan kekurangan harta benda maka seseorang dengan mudah bisa 'melepas' keimanannya. Sebuah interpretasi yang memang bersudut pandang kondisi 'sebenarnya', de facto. Dimana kondisi keterjepitan ekonomi bisa membuat seseorang menggadaikan keimanannya.

 

Jaman terus berganti, problem senantiasa bertambah dari sisi muatan atau kekerapannya. Terbukti Muhammad memang manusia pilihan, sehingga apa yang beliau sampaikan ternyata juga aplikatif sehingga jaman kini, dan sangat mungkin masih valid hingga jaman kiamat menjelang kelak.

Apabila kita tengok dari problem kekinian, sebenarnya, kondisi Muhammad secara fisik kala itu juga sudah miskin. Bila Muhammad hidup di Indonesia, --sekarang--, mungkin sudah sempat berpredikat Gakin (Keluarga Miskin) sehingga namanya tercantum di kelurahan sebagai penerima 'Raskin' (Beras Keluarga Miskin) dan BLT (Bantuan Langsung Tunai). Bila ada seseorang yang ketika meninggal hanya mewariskan gubuk, tikar, baskom, dan sandal; apakah itu bukan orang yang 'kekurangan'? Muhammad memang memiliki penghasilan, namun dia tidak memiliki harta benda yang berarti. Dan memang cuma itu warisannya. Adakah di tengah kondisi kekurangan akan materi itu Muhammad menggadaikan keimanannya dan berubah menjadi kafir ? Rasanya tidak. Muhammad adalah orang paling beriman yang pernah lahir di muka bumi ini.

 

Dari sisi materi, apa yang dimiliki Muhammad memang cuma itu, --kalau ada benda lain, mungkin juga tak banyaklah-- tetapi dia tidaklah fakir, tidaklah miskin, dan tentunya tidak pula menjadikannya kafir. Beliau 'kaya', karena beliau tidaklah kekurangan. Tidak kepingin yang neko - neko. Apa yang dia miliki baginya sudah lebih dari cukup, dan ini adalah sifat orang kaya: 'merasa cukup'. Inilah kaya yang sebenarnya. Merasa berkecukupan dengan apa yang ada, bersyukur atas rahmat yang diterima. Perasaan bersyukur akan rahmat ini yang membuat Muhammad menjadi berlapang dada dan ikhlas, menjadikan dia 'kaya' secara spiritual. Sikap inilah yang menjaganya agar tetap beriman, menjaganya agar tidak terjerumus menjadi ingkar, tidak menjadi pelanggar hukum, tidak menjadi kafir.

 

Perbincangan ihwal 'kaya - miskin' memang tidak bisa dipungkiri selalu lekat dengan paradigma kondisi harta benda. Hal ini karena era kini adalah era materialisme. Namun janganlah senantiasa terjebak dalam konteks materi. Cobalah sejenak kita memasuki dunia pikir spiritual. Dan hal ini tidaklah sulit kalau hanya sekedar memasuki dunia spiritual untuk mencoba mendefinisikan sesuatu, dalam hal ini adalah definisi kaya - miskin. Dan seyogyanya hadits Muhammad tadi diinterpretasikan pula dari sisi spiritual. Dalam dunia spiritual, memang hampir semuanya ditakar dengan hati nurani dan akal budi. Pemilik sepotong baju bisa jadi lebih 'kaya' dibanding dengan pemilik segudang pakaian. Ya itu tadi, bila diukur dari kelegaan hati. Diukur dengan rasa syukur. 'Teori'-nya memang se-gampang itu. Prakteknya mungkin tidaklah gampang.

 

Bandingkan apa yang dimiliki Muhammad sebagai manusia yang 'hatinya kaya' dengan tabiat manusia kapitalis modern. Bisa jadi memiliki tiga rumah, satu vila, dan enam mobil, masihlah belum cukup. Mungkin dia sudah --bukan lagi selembar tikar-- memiliki puluhan gulung karpet, mungkin dia sudah --bukan lagi sepasang sandal-- memiliki sejumlah pasang terompah dan sepatu yang tak terhitung, mungkin pula dia sudah --bukan hanya sebuah baskom-- memiliki mungkin puluhan guci berharga mahal. Hatinya masih belum puas, sehingga dia berusaha menempuh jalan haram untuk memuaskan hawa nafsunya. Korupsi untuk mendapatkan rumah keempat, korupsi untuk mendapatkan vila kedua, dan korupsi untuk mendapatkan mobil ke tujuh.

 

Inilah yang saya sebut dengan problem kekinian. Sekarang sudah banyak orang yang kemaruk harta, mungkin juga saya. Rakus, seakan kekurangan, seakan merasa masih miskin, seakan berpredikat fakir, serba ingin lebih. Tidak bisa mensyukuri kondisi yang ada. Perilaku rakus harta tadi, membuat pelaku ber-korupsi-ria. Melakukan korupsi adalah tindakan yang melanggar, dan tentunya mengingkari hukum - hukum. Saya yakin semua agama melarang hal seperti ini. Melanggar artinya 'kufur'. Artinya 'kafir'.

 

Sehingga, apabila memang seseorang secara fisik hanya memiliki sandal, baskom, gubuk, dan tikar, namun bisa jadi dia merupakan orang yang tidak fakir karena hatinya telah merasa kecukupan.Pun pula kebalikannya, berapapun banyaknya harta yang telah dimiliki oleh seseorang, bila memang hati dia tidak lapang, tidak bisa bersyukur, dan merasa kekurangan selalu, maka dia adalah fakir. Orang yang selalu kekurangan. Orang yang fakir, cenderung melanggar karena kebutuhan akan materinya. Oleh ulahnya yang melanggar, maka dia menjadi orang yang ingkar. Orang ingkar artinya kafir, bukankah begitu ? dibolak - balik ya tetep seperti itu.

 

Dari sudut pandang de facto materi dan sudut pandang dunia spiritual, hal ini bisa berlaku baik untuk perseorangan --individu-- maupun untuk sekelompok orang. Karena sebenarnya, sekelompok orang bisa dianalogikan sebagai seorang manusia juga. Kelompok dan individu kadang memiliki beberapa kesamaan metodologi. Walau tidak bisa dipungkiri bahwa pembahasan konteks komunal, --kelompok, keluarga, masyarakat, organisasi, bangsa-- pastilah tidak sesederhana pembahasan individu, karena  berurusan dengan lebih banyak elemen dan fakta. Demikian juga dengan aplikasi hadits Muhammad ini. Contoh yang paling jelas mungkin adaah bangsa kita sendiri. Dalam sekumpulan manusia yang bermasyarakat, bernegara, apabila bangsa itu tidak memiliki kekuatan devisa, terlilit hutang menggunung puluhan tahun, maka tak heran bila di dalam bangsa tersebut akan banyak sekali terjadi pelanggaran, pengingkaran hukum yang sebenarnya sudah ditetapkan bersama, hukum dan fitrah yang sudah di-'iman'-i bersama. Bangsa yang miskin akan banyak berisi orang - orang yang melanggar, orang - orang yang 'kafir'. Demikian juga kebalikannya, bangsa yang banyak berisi orang - orang yang 'ingkar', bangsa yang berisi manusia - manusia 'pelanggar' akan membawa bangsa itu menuju kefakiran.

 

Ditambah pula bila di tinjau dari sisi dunia spiritual, makin terjerumuslah bangsa itu menjadi bangsa yang ingkar apabila bangsa tersebut makin merasa kekurangan selalu. Tidak mensyukuri kekayaan yang dipunyainya sehingga tidak mau mengelola dengan baik kekayaan yang ada. Merasa kekurangan selalu, karena hati sanubarinya tidak bisa merasa cukup. Selalu ingin lebih, selalu berharap mendapatkan dari orang lain. Di sini, dari segala aspek, terbukti sudah bahwa kefakiran itu 'ber-tetangga' dengan kekafiran. Kekurangan itu duduk sebangku dengan ke-ingkar-an.

 

Intinya memang ada di hati. Dengan hati yang berkecukupan, rasa syukur itu akan berbunga. Dengan ini, kita bisa meredam nafsu akan materi. Dan, menjauhkan diri dari tindakan yang melanggar, menjauhkan diri dari tindakan ingkar. Baik secara individu maupun secara komunal, baik pribadi maupun secara ber-bangsa, --sekali lagi-- intinya ada di hati sanubari.

 

Sekarang problemnya adalah seberapa yang harus dimiliki seseorang atau sebuah bangsa untuk bisa masuk kategori 'tidak fakir' sehingga dia tidak menjadi 'kafir' ? Nah, ini pertanyaan yang mudah untuk muncul, namun tidak gampang menjawabnya. Tolong bantu saya menjawabnya. Bila kita kesulitan menjawabnya, cuplikan lagu GodBless --yang akhir - akhir ini sering saya putar berulangkali-- mungkin cukup membantu:

...

Hanya bilik bambu tempat tinggal kita,

tanpa hiasan, tanpa lukisan

Beratap jerami, beralaskan tanah,

namun semua ini punya kita

memang semua ini milik kita sendiri

...

Segala nikmat dan anugerah yang Kuasa,

semuanya ada disini

rumah kita

...

[]haris fauzi - 22 Juni 2009



 
salam,

haris fauzi

No comments: