Thursday, July 09, 2009

kenisah : usai

USAI

 

Tentunya banyak diantara kita yang pernah merasakan, betapa kita dengan segala energi yang kita miliki tercurah dan terlarut untuk sesuatu yang mungkin berada 'jauh' dari kita sendiri. Jauh lokasinya, jauh impak-nya, jauh dimensi 'keterlaitan'-nya. Istilahnya adalah jauh 'hubungan'-nya. Contohnya adalah liga sepak bola. Kadang kita bergadang malam ini untuk menonton sebuah pertandingan penyisihan sepak bola,-- liga Champions Eropa misalnya. Lantas minggu depan kita seminggu dua kali bergadang untuk menonton babak perdelapan, lantas perempat finalnya. Dilanjutkan lagi dengan beberapa kali bergadang nonton pertandingan semifinal. Demikian terus sehingga memasuki babak final, dan betapa kita terus mengikuti seandainya kesebelasan yang kita idolakan melaju menuju babak yang lebih jauh.

 

Demikian juga dengan Piala Dunia, GlandSlam tenis, seri sirkuit balapan Formula-1, motoGP, atau yang lainnya. Acara maraton seperti itu menyita perhatian dan energi kita, walau, terus terang tidak sedikit dari kita yang sebenarnya tidak terlalu dekat memiliki pengaruh akan diadakannya atau tidak acara tersebut. Saya punya teman yang 'rela' bergadang setiap pertandingan kesebelasan Liverpool ditayangkan di televisi. Dia bukan pemain bola, komentator juga bukan. Dia adalah pakar teknologi informasi. Cukup jauh hubungan antara urusan sepakbola dengan teknologi informasi. Hobi semata.

 

Contoh lainnya adalah saya –dulu--. Saya adalah rekayasawan pabrik. Sama sekali tidak ada yang menghubungkan saya dengan kesebelasan Manchester United selain saya memiliki kaos setan merah 'tembak-an' yang saya beli di pasar Senin. Atau juga hanya selembar poster bergambar kesebelasan di era Eric Cantona yang saya beli di kawasan Orchard Road Singapura, lebih sepuluh tahun yang lalu.

Saya sekedar penikmat tayangan mereka yang rela bergadang untuk itu. Hanya itu. Lain urusannya bila saya adalah seorang komentator atau kritikus olah raga yang memang, semakin saya menguasai data terkini, maka penghasilan saya semakin mapan karena sering berkomentar.

 

Ada urusan lain. Saya juga punya seorang kenalan yang demikian meng-idola-kan supergrup Led Zeppelin, sehingga semua pernak – perniknya dia miliki. Koleksi dia mungkin yang terlengkap di Indonesia, atau bahkan Asia Tenggara. Bahkan dia merupakan salah satu dari kontestan yang terpilih seleksi untuk menonton pertunjukan reuni Led Zeppelin di Stadion O2 baru lalu. Jutaan orang dari segala penjuru dunia mendaftarkan diri hendak menonton.Yang hendak menonton jutaan orang dari seluruh penjuru dunia sehingga harus diseleksi yang "bener – bener maniak-lah" yang bakal menikmati pertunjukan langka itu. Dan, dia terpilih untuk mendapatkan tiketnya. Apakah dia musisi ? Bukan. Dia hanya penggemar Led Zeppelin.

 

Kadang kita terheran – heran, entah mengapa ada orang yang demikian fanatik sehingga rela mengoleksi dengan modal jutaan rupiah. Atau juga, rela bergadang beberapa malam untuk menonton pertandingan, atau yang lainnya. Hal – hal serupa itulah. Setelah semua kejadian itu usai, apa yang di dapat ? Mungkin subyektivitas. Sebagai satu – satunya orang Indonesia yang nonton konser reuni Led Zeppelin, atau sebagai orang yang non-stop bergadang nonton siaran langsung piala Champions di televisi. Kita boleh heran, namun sama sekali tidak salah. Namanya hobi, terserah masing – masing.

 

Setelah usai, barulah kita bisa mengerti, sebenarnya seberapa jauh 'hubungan' kita dengan mereka. Antara seorang teman dengan Led Zeppelin, atau seorang pakar teknologi informasi dengan kesebelasan Liverpool, antara saya dengan Eric Cantona. Setelah Led Zeppelin usai manggung, sang teman pulang ke tanah air dan dinisbatkan menjadi salah satu saksi sejarah peristiwa hebat tersebut.

Juga setelah usai pertandingan dan kesebelasan idola itu mendapatkan pialanya, kita bisa menyaksikan para pemain yang berlaga bersorak – sorak mengangkat piala. Mereka mendapatkan banyak hadiah, banyak pujian. Sementara kita ? Kita bisa bercerita dengan bangga kepada rekan sebangku bahwa telah bergadang mendukung sang idola.

 

Saya ingat bagaimana kesebelasan idola saya Manchester United mendapatkan treble winner, juara mendapatkan tiga piala. Setelah menjalani proses berminggu – minggu mereka bertanding, --dan saya selalu menonton dari televisi setiap dini hari sehingga hampir setiap pagi saya mengantuk di kantor,-- akhirnya mereka merayakan puncak kemenangan. Mereka jaya, sponsor berdatangan meningkatkan penghasilan mereka berlipat-ganda, karir mereka melesat. Sementara dari diri saya yang tersisa adalah kantuk dan rasa capek yang baru bisa hilang selama tiga hari. Energi saya tersita namun penghasilan saya tetap seperti bulan sebelumnya. Seusai itu, barulah terpikir bahwa 'hubungan' antara saya dengan sang treble winner itu sungguh jauh.

 

Contoh di atas adalah betapa ada manusia yang rela berbuat banyak untuk sebuah kejadian yang 'hubungan'nya jauh. Karena hobi, karena kepuasan, mereka rela melakukan hal itu, menyalurkan sebagian energinya. Namun, ada juga yang bukan karena itu. Tetapi karena terbawa atmosfir lingkungan. Contohnya adalah cuaca politik. Ya, urusan politik negara. Bila ada beberapa pimpinan politik sebuah negara yang sedang memiliki urusan, seringkali rakyatnya-lah yang terbawa atmosfirnya untuk ikutan. Entah ikutan bergadang, entah ikutan memperhatikan, menyimak, dan berkontribusi baik langsung ataupun tidak. Permainan politik olah para jawaranya memang membawa konstituen. Semakin pakar dia, semakin banyak yang terbawa.

 

Pentas para jawara politik yang paling bergengsi adalah pemilihan kepala negara. Pentas seperti ini jelas – jelas menyeret banyak perhatian. Apalagi peran partai politik yang menggurita dan seringkali bermanouver tak terduga, saling dukung di atas namun kadang saling bentrok di jalanan, saling sikut di pergolakan politik namun kadang berjabat tangan di muka kamera televisi. Hampir secara tidak sengaja menyedot effort, opini, dan sejumlah besar energi rakyat.

 

Bagi para profesi yang terkait langsung –memiliki 'hubungan' kuat dengan jalannya pentas politik ini-- seperti para komentator politik, tayangan televisi, aktivis partai, tentunya hal yang wajar. Karena pentas ini bisa jadi akan mengubah hidup mereka. Mereka bisa naik pangkat, menjadi senator, menjadi menteri, atau menjadi kepala negara. Namun urusan ini juga menyedot energi kalangan lain yang –menurut hemat saya-- tidak terkait langsung, seperti tukang batu yang bisa memasang bata dengan rapi, tukang antar nasi rantang yang setiap jam tujuh mengetuk rumah untuk mengantar menu. Mereka ini se-usai pentas politik, tidak lantas berubah hidupnya, mereka tidak kontan menjadi menteri keesokan harinya.

 

Mangkanya pesta kontes para politikus ini seringkali disebut pesta rakyat. Bukan karena rakyatnya berpesta - pora makan - minum sepuasnya, namun tak lebih karena perhatian dan sejumlah besar energi para rakyat ini begitu tersita oleh jadwal maraton pentas jawara politik tersebut. Mulai pencanangan partai, acara kampanye senator, pemilihan senator, penetapan kontestan pemilihan kepala negara, kampanye dan tayangan di televisi,  proses pemilihan umum-nya, hingga bagaimana detik – detik penghitungan suaranya. Duh. Rasanya rame banget deh.

 

Seperti dalam urusan bergadang menonton tayangan sepakbola atau sebangsanya, kita juga bisa menyaksikan bagaimana banyak orang yang dengan sukarela mengkampanyekan idolanya, membentuk paguyuban – paguyuban seperti fans club, hingga memelototi televisi untuk mengikuti lembar – lembar penghitungan hasil akhirnya. Itu yang sukarela. Bagaimana dengan orang yang ikutan terseret atmosfirnya ? Seperti halnya maraton begadang nonton bola yang menyisakan kantuk, bagi yang 'hubungan'-nya rendah, maka se-usai pentas politik ini yang tersisa adalah kehabisan energi.

 

Karena saya bukan orang politik, yang mana "cadangan energi" ini masih banyak diperlukan untuk yang lain. Untuk urusan yang langsung berhubungan dengan jemari saya, urusan yang memiliki 'hubungan' lebih dekat menyangkut hidup saya. Siapapun yang memenangkan kontes politik itu, saya sebagai orang awam yang tidak terlalu dekat dengan urusan politik tidaklah memiliki energi yang cukup banyak untuk terus – menerus secara maraton terbawa atmosfir proses kontes politik. Dan, bila urusan ini usai, sejatinya saya bisa bernafas lebih lega. Hal seperti ini mungkin tidak hanya menyangkut diri saya. Rasanya cukup banyak orang yang terbawa dan tersedot energinya untuk urusan pentas para jawara politik ini, dengan 'hubungan' yang tidak terlalu dekat. Seperti saya, mereka mungkin juga tidak memiliki banyak energi tersisa. Dan bila urusan berkepanjangan ini telah usai, maka saya dan mereka akan melanjutkan menjalani rutinitas hidupnya dengan sisa energinya. Sambil berharap semoga 'sisa energi'-nya masih cukup. [] haris fauzi – 8 juli 2009


No comments: