Monday, August 24, 2009

kenisah : pasar sebelah

PASAR SEBELAH

Semenjak kecil saya tinggal di kampung Kesatrian. Rumah kami berbatasan dengan kampung sebelah, --hanya berselisih tiga rumah-- terpisahkan oleh jalan raya yang mana di sebelah timur adalah kampung bernama Bunulrejo. Kampung kami sendiri bernama Kesatrian. Disebut kesatrian karena memang tempatnya tentara --'satria'--. Banyak tangsi militer, mulai dari kavaleri yang hampir setiap seminggu sekali menggiring tank dan panzer melintas depan rumah, ada juga batalion infanteri yang hampir setiap pagi serdadunya berlarian sambil bernyanyi. dan tak lupa juga, Di kampung kami berdiam sepasukan penyandang nama serem, Korps Polisi Militer. Loreng putih istilah teman – teman. Ketika berombonan tentara itu silih berganti lewat di muka hidung kami laksana karnaval, maka pertunjukan paling eksotis adalah rombongan tank dan masa perploncoan calon serdadu yang jadi tontonan gratis masyarakat sekitar tangsi. Sementara hal yang paling terngiang adalah bunyi terompet pergantian regu jaga. yang bisa kami dengar sebelum kami memejamkan mata.

Bila kampung kami lebih bersifat 'tentara', maka kampung sebelah lebih bersifat 'publik', karena Bunulrejo memang memiliki kekuatan infrastruktur kebutuhan masyarakat, mulai dari pasar, tempat ibadah berupa sejumlah mesjid dan mushola, sekolahan dasar negeri, pemukiman, hingga pekuburan Ngujil yang cukup kondang.

Bila bicara tentang pasar, maka pasar Bunul jawabnya–demikian kami memanggilnya. Hampir setiap pulang sekolah saya lewati. Blusukan di pasar nan becek untuk mencari sabut kelapa bakal prakarya, misalnya. Atau sekedar mampir lewat mengantar teman pulang sekolah, karena kebetulan beberapa teman bermukim di sepanjang jalan belakang pasar itu.

Bapak tidak terlalu suka andai saya keseringan melintas pasar, konon, pasar banyak setannya. Memang kumuh sih. Becek, karena air tergenang di sana – sini, bau anyir daging. Dan warna tiang hijau lumutnya yang kusam itu berikut pagar kawat berduri yang sudah tidak lurus lagi yang membatasinya dengan area parkiran yang semrawut penuh becak membuat makin pekat.

 

Ada beberapa ikon yang saya ingat ihwal pasar Bunul tempo lalu. Ada penjual tempe yang berada di tengah pasar. Habis subuhan, sering saya disuruh ibu untuk membeli tempe di pagi buta. Saya sendiri masih ngantuk sehingga sering tersaruk kubangan membuat kaki ini berlumpur di sela jemari kaki. Mungkin saya termasuk pembeli pertama kala itu, soalnya Sang Penjual tempe sering kedapatan melecut – lecutkan uang dari saya ke dagangannya sambil berujar,"…laris….laris…".

Tidak jauh dari situ ada penjual kue lupis, namun dia berdagang lebih siang di banding tukang jual tempe . Sementara penjual daging dengan timbangan kuningan yang entah bagaimana peneraannya, asyik membanting – banting hewan potong lantas menghajarnya dengan pisau besarnya, yang menghunjam ke tatakan kayu tebal menghasilkan suara yang khas.

Area tengah pasar merupakan pusat perdagangan sayur – mayur. Ada bedak – bedak yang terbagi – bagi berdasar blok, namun tak sedikit yang berdagang di jalanan antar blok bedak. Aturan blok mungkin sudah tidak ditepati lagi. Rasanya tidak dikelompokkan. Asal bedak aja. Contoh menyolok yang anomali salah satunya adalah seorang keturunan Arab, kami memanggilnya 'Pak Bakar', yang berdagang buku pelajaran diantara penjual sayuran. Letaknya memang di pinggir, tetapi tetap saja berbaur. Hanya dia sedikit 'lebih elit' karena bersebelahan dengan warung kopi sehingga lahan depannya tidak becek. Selain berjualan buku pelajaran sekolah, juga berjualan kitab turutan (juz-amma), yasiin, buku tulis, dan kaos oblong.

 

Blok – blok pasar Bunul dikelilingi oleh semacam deretan toko. Di deretan toko yang hampir belakang, ada saudagar kulakan yang cukup sukses, namanya Pak Hadi. Kami sering memanggilnya "Lek Di". Tokonya terkenal dengan julukan pemiliknya;  toko 'Pak Hadi'. Anaknya adalah teman sekolah adik bungsu saya. Anaknya bernama Hadi juga. Memang beberapa pedagang pasar itu menyekolahkan anaknya di mana saya juga bersekolah. Seperti juga hal-nya seorang Bapak yang berjualan pinsil, benang, dan layangan yang seingat saya membuka toko bernama "Restu". Anak pemilik toko Restu itu bernama Pur, kawan sekelas adik perempuan saya. Kami sering menyebutnya toko-nya "Pur".

 

Dalam paradigma kekinian, tenda penjual es campur berada di luar kompleks pasar, di dekat pangkalan becak. Namun, kala jaman dulu, siapa peduli dengan teritorial pasar ? Dia berjualan di depan sebuah kios. Saya memanggilnya kios "Anyong". Yang punya kios orang Tionghoa bernama panggilan Anyong. Saya beberapakali diajak Ibu berbelanja jajanan kering di Anyong. Dan bila sore hari menyengat panasnya, Bapak sering menyuruh kami berangkat membawa rantang untuk membeli es campur di depannya.

 

Seingat saya ketika kelas enam SD, --sekitar tahun 1980-- rupanya diadakan 'peremajaan' pasar. Kami mendengar beberapa dinamit yang diledakkan untuk membongkar pondasi tiang pasar. Konon, pasar ini semula bikinan belanda, dengan kualitas bangunan kolonial yang lumayan kokoh sehingga dibutuhkan beberapa dinamit untuk merobohkannya.

Dipugar, itu istilah orang – orang sembari menjelaskan lokasi baru para pedagang pasar Bunul. Paska pemugaran, pasar Bunul menjadi keren –berwarna krem--, tidak becek lagi. Cuma atapnya relatif lebih rendah. Memang beda, ketinggian badan standar kolonial dengan standar bangsa kita yang lebih pendek

 

Tidak berbeda jauh. Kenyamanan pasar baru itu tidak bertahan lama. Pasar itu kembali ke keadaan semula, walaupun tidak sejorok dulu, namun tetap saja berubah menjadi gelap, entah kenapa. Mungkin karena atapnya sudah banyak ditimpa atap - atap tambahan yang kebanyakan berupa terpal plastik. Atau lampu - lampu yang mulai ada yang putus bohlamnya.

Perkembangan jaman membawa pengaruh juga. Sekitar tahun 90-an, melintas-lah angkutan kota di jalan raya yang memisahkan kampung kami. Suasana menjadi bertambah ramai, pasar menjadi hidup hingga larut malam pasih ada pengunjung, walau cuma berbelanja di deretan toko depan. Banyak orang yang bisa meng-akses pasar Bunul menjadikannya lebih metropolis. Bahkan tahun dua ribuan entah sudah berapa jalur angkutan kota melintasnya sehingga perlu dibuat terminal di samping pasar itu. Wah. Sungguh hiruk pikuk.

Jaman kuliah, tahun sembilan puluhan, saya dan teman – teman kampung beberapa kali nongkrong di bedak tukang wedang jahe. Kadang hingga larut malam. Nongrong bareng dengan para tukang becak. Namun semenjak banyak angkutan kota, maka tak ayal lagi disitu ada terminal, maka yang dominan disitu adalah para sopir angkutan kota .

 

Awal tahun kemarin saya sempat pulang ke Malang . Ada apa lagikah yang berubah dengan pasar Bunul ? Banyak. Angkutan kota semakin banyak. Bahkan akses ke kuburan juga ada. Praktis lahan terminal semakin berjubel. Sementara pasar sudah tidak saya kenali dengan baik siapa yang bercokol disitu. Toko kulakan milik Lek Di konon sudah tidak sesukses dulu lagi. Mungkin kalah bersaing dengan darah segar, semacam toko Tulik yang kompetitif harganya, walaupun toko Tulik tidak berada di dalam pasar. Atau juga bisa jadi karena munculnya beberapa toko waralaba disitu. Tukang es campur sudah tidak ada. Tapi toko Anyong masih berjualan, anaknya yang meneruskan. Mungkin ada beberapa lagi.

 

Ada yang berubah, ada pula yang tetap. Dan saya juga tidak terlalu faham. Mengapa saya 'menjadi' tidak faham ? Tak lain karena saya juga berubah. Saya semakin jarang melintas pasar itu, yang otomatis menyingkat memori pikiran saya. Dan saya kira, Anda-pun juga berubah, walau bisa jadi Anda kurang faham ihwal pasar itu. Buat apa memahami fenomena pasar itu ? hahahaha....Bagi saya hal itu banyak gunanya. Maka dari itu, tulisan ini saya buat.

Adakah pasar di dekat tempat tinggal 'masa kecil' Anda ? Bila ada, cobalah untuk menuliskannya, atau setidaknya mengingat - ingatnya. [] haris fauzi - 24 Agustus 2009



salam,

haris fauzi

2 comments:

Donny Victor said...

wah..koyoke sate kambing nang pasar bunul lali yo..trus mantri sunat nang pasa bunul yo ono ris..biyen... ha ha ha....

Haris Fauzi said...

ono maneh sing laris...dokter tasmonoheni taslim....