Sunday, April 25, 2010

kenisah : ithink, mas eet, dan pak tuek

ITHINK, MAS EET, DAN PAK TUEK

Saya mengenalnya dengan sebutan singkat, 'Ithink'. Dan karena usianya terpaut beberapa tahun di atas, maka saya memanggilnya dengan Mas Ithink. Saya tidak tau, siapa nama sebenarnya dia. Mas Ithink, sekitar tahun 89-an sering kedapatan membuka lapak kaset bekasnya di sekitar pelataran toko buku Siswa. Letaknya di seberang salah satu ujung alun - alun kota Malang . Di sekitar situ ada beberapa lapak pedagang kaki-lima, diantaranya adalah tukang kartu yang menggambar kartu dengan cara handsfree, tukang pigura, grafir gantungan kunci, dan beberapa lagi. Berbaur dengan tukang semir sepatu.

Mungkin, beberapa pedagang ini adalah pindahan dari kompleks Kayutangan. Semenjak didirikan tiga mall besar disekeliling alun - alun Malang , memang komplek pertokoan konvensional Kayutangan relatif surut. Beranjak sepi. Para pejalan pelancong lebih menyukai masuk mall ketimbang keluar - masuk toko yang berjejer sepanjang jalan seperti halnya kompleks pertokoan Kayutangan. Hanya tinggal orang tua dan beberapa pembeli fanatik saja yang masih setia menyusur jalan kompleks Kayutangan. Dan tentunya juga para manusia yang memburu kenangan, mungkin mereka dahulu --tempo dulu-- pernah berjalan - jalan memadu kasih di sepanjang jalan itu.

Lapak kaset bekas menjadi favorit semenjak tahun 1987-an, ketika jaman royalti diberlakukan. Mas Ithink menjual kaset bekas --terutama genre rock, yangmana beberapa diantaranya adalah koleksi pribadi beliau. Seringkali kedapatan pada sampul kaset bagian dalam ada tertanda stempel bulat cukup besar dengan gambar mirip gajah, lantas dilengkapi dengan tulisan 'Ithink Collection'. Itu artinya koleksi pribadi dia yang akan dia jual. Kondisi kaset bekas koleksi pribadi Mas Ithink relatif lebih bagus ketimbang kaset yang dijual lainnya. Walau tidak selalu. Saya pernah membeli kaset album Genesis disitu. Kondisinya masih bagus ekali. Namun bukan ber-stempel "Ithink Collection".

Secara pribadi, saya tidak mengenal baik siapa itu Mas Ithink. Dan tentunya Mas Ithink pun demikian juga. Banyak pelanggan dia yang lebih favorit. Apalah saya, karena saya adalah pembeli skala kecil yang lebih kerap nongkrong daripada membeli, banyak pelanggan yang kedapatan membeli borongan. Namun, tidak dapat dipungkiri, saya tidak gampang melupakan bagaimana ketika malam hari, selepas membolak - balik buku di toko buku Siswa, saya selalu menyempatkan untuk mengunjungi lapaknya. Mungkin sudah puluhan kali saya menyambangi lapaknya. Bagi saya, di lapak Mas Ithink semangat rock-n roll terasa selalu membara.

Mas Eet, tidak jauh berbeda dengan Mas Ithink. Ini bukan mas Eet Syachranny gitaris Godbless itu, tetapi hanyalah seorang remaja yang kebetulan berwajah mirip dengan Eet Syachranny. Dan profesinya tidak jauh berbeda dengan Mas Ithink, penjual kaset bekas. Orangnya ramah, maka tak heran, dari sekitar lima lapak kaset bekas di pojok kantor Pos Malang, maka lapak Mas Eet termasuk yang paling ramai dikunjungi pembeli. Dan saya suka dengan penjual yang ramah, yang tidak marah bila dagangannya batal dibeli. Karena saya memang jarang membeli, hanya keseringan melongok.

Mas Eet juga berjualan sekitar tahun delapan puluhan akhir hingga awal sembilan puluhan. Siang berjualan, malam-pun demikian. Dengan berbagai koleksi mulai rock, jazz, hingga musisi lokal. Koleksi Iwan Fals cukup lengkap, walau tidak bisa stabil, kadang ada - kadang tidak. Namanya juga jualan kaset bekas. Lapak Mas Eet ini termasuk lokasi favorit saya bila saya sempat ngeluyur ke seputaran alun - alun. Bisa dipastikan inilah tempat wajib yang saya kunjungi kala itu. Browsing sebentar di kotak display-nya, dan bila ada yang menarik, maka tak ragu saya untuk memintanya menyetel untuk uji coba. Dan bila cocok, harga dibayar. Kadang saya tidak perlu mencobanya, karena Mas Eet terkenal dengan customer satisfaction-nya. Bila ada yang rusak, maka kaset boleh ditukarkan. Dan dijamin kaset-nya pasti cocok dengan sampulnya. Bukan asal kaset bekas. Beliau mendengarkan dan mencocokkan dahulu, baru menjualnya.

Mungkin seikitar awal tahun 2001, ketika mudik saya merencanakan untuk menilik lapak Mas Eet, namun ternyata sudah tidak kedapatan lagi. Ujung kantor pos itu bersih dan lega, dan pastilah saya merasa ada sesuatu yang hilang. Biasanya saya selalu menenteng sepeda pancal saya lantas meminggirkan di dekat trotoar, dan kemudian menyisir display dagangan Mas Eet.
Kali itu tidak. Rupanya seluruh pedagang kaki lima disitu di-relokasi seiring dibukanya Pasar Besar Baru. Penjual kaset bekas, lapak buku kaki lima --dimana biasa membeli buku pelajaran dengan harga yang terjangkau--, penjual kalender, penjual poster --termasuk kalender dan poster semi porno-- entah di geser kemana. Konon sebagian penjual buku berpindah ke seberang stasiun Kereta Api Malang dan sebagian lagi ketempat lain. Yang jelas, Mas Eet tidak kedapatan disekitar situ lagi.

Terakhir saya mengunjungi lapak kaset bekas diseputaran kota Malang adalah tahun 2006-an. Setelah itu, saya tidak menambah koleksi kaset lagi. Lapak terakhir langganan adalah Lapak Pak Tuek, begitu adik saya menamai lapaknya karena yang jaga memang orang tua berkaca mata dengan bingkai hitam. Letaknya di dekat rel kereta api di jalan dekat apotik Boldy. Apotik ini salah satu tempat legendaris kota Malang . Namun sekeliling jalan di kanan kirinya penuh dengan pedagang kaki lima --terutama barang bekas-- sehingga terasa enak bagi pengunjung untuk berjalan - jalan sekedar tengok dagangan di sana-sini, namun bagi pengendara kendaraan --terutama roda empat-- maka situasi ini pasti membuatnya puyeng.

Terakhir bertemu kala itu, Pak Tuek masih tetap dengan gayanya yang anggun. Mendengarkan kaset, sambil sesekali mencabuti jenggotnya dan tak lupa dengan asap rokoknya. Dan bila membuka - buka sampul kaset, beliau mencondongkan punggungnya sedikit kebelakang. Kadang beliau terkantuk. Memang, Pak Tuek ini terlalu kesiangan dalam membuka lapaknya, baru buka pukul sepuluh siang dan kelar pada maghrib. Mangkanya pasti panas terik ketika disana. Belum lagi ritmis ketika kereta lewat --letaknya memang dekat dengan rel kereta api-- membuat suasana makin panas. Dan bagi sebagian orang, hal seperti ini mengundang kantuk.

Ketika berjumpa, saya tidak menyapa dengan istilah apapun karena saya tidak mengenal nama sebenarnya. Cuma, ketika sampai rumah, dan adik  bertanya,"..kaset dapet dimana ?". Saya menjawab,"..Pak Tuek...". dan adik  manggut - manggut memaklumi sambil menengok sampul kasetnya.

Dari sekitar empat ratus biji koleksi kaset saya hingga kini, mungkin separuhnya didapatkan dari lapak kaki lima. Mengirit biaya, karena jaman itu adalah jaman royalti yang membanderol harga kaset menjadi cukup tinggi. Alternatif terbaik dengan kondisi duit cekak ya membeli dari pedagang rombeng. Dan, sebagian besar kaset bekas itu saya dapatkan dari Mas Ithink, Mas Eet, dan Pak Tuek.

Beberapa kali saya mengunjungi lapak - lapak itu. Selain untuk membeli atau sekedar 'browsing', saya juga kangen dengan 'bara' rock n roll yang kedapatan selalu menyala disana. Bila ketika mendekati lapak Mas Ithink maka ada semacam semangat rock n roll yang menggelora, maka tak jauh berbeda dengan lapak Mas Eet dan pak Tuek. Viva Mas Ithink, Viva Mas Eet, Viva Pak Tuek. Long Live Rock n Roll...[] haris fauzi - 23 april 2010

------------------

btw,... bendel 80 artikel pilihan KENISAH detik ini sedang dalam proses lay-out format buku, trims buat teman - teman untuk saran - sarannya ---


2 comments:

DEDI DWITAGAMA said...

muanteeeeep tenaaan, saluut mas ... keep blogging

iwan said...

pak tuek itu namanya...Pak Dhie, di jalan Juanda ada juga..Tono...pemain lama juga