Thursday, October 07, 2010

kenisah : pak mahbub

PAK MAHBUB

 

Mahbub Djunaedi, penulis kondang itu, punya kolom yang bertajuk 'asal - usul'. Semula saya beranggapan 'asal usul' ini bermakna 'asal - muasal', atau semacam 'asbabun nuzul', begitulah. Beberapa waktu kemudian barulah saya sadar bahwa 'asal – usul'-nya Pak Mahbub Djunaedi ini artinya adalah 'usul sembarangan'. Usul yang asal – asalan.

 

Menarik bagi saya pribadi, karena sebetulnya orang sekaliber Pak Mahbub yang kolomnya menghiasi setiap pagi di media tentunya menulisnya nggak asal – asalan. Nah, lain perkara dengan saya. Tulisan saya, walau kejadiannya bisa sangat langka, walau melalui pemikiran sampai membuat capek, tentunya masih mengandung kadar muatan yang lebih rendah. Dan, walau digarap 'sebegitu seriusnya' hingga memakan waktu, tentunya tulisan saya 'lebih asal – asalan' ketimbang punya Pak Mahbub.

 

Baiklah. Ini memang sudah hak. Setiap orang ber-hak untuk berpendapat. Ini dijamin oleh negara, dijamin oleh sorga, gitu kata temen – temen berseloroh. Mangkanya setiap orang ber-hak punya pendapat, tentunya ber-hak punya usul. Setiap usul sedapatnya ditampung bila wadahnya cukup, dan semoga wadahnya tidak bocor. Sukur – sukur nggak luber. Karena belum tentu wadah yang ada itu cukup untuk menampung usul yang asal usul. Karena banyak sekali 'asal usul' ini. Setelah usul itu tertampung, sudah alhamdulillah bila usulan itu bisa sempat di kaji. Dan sungguh amazing bila ternyata asal – usul seperti itu bisa diwujudkan. Tergantung sikon-nya. Tergantung juga malaikat dan setan. Bila malaikatnya dominan, maka usulan yang baik, biarpun sekedar asal – usul, pastilah dicermati. Jadi, saya-pun ber-hak asal –usul. Nyuwun permisi kepada Pak Mahbub karena istilahnya saya gunakan.

 

Konon, negara ini sudah kehabisan duit untuk membiayai bahan bakar rakyat. Minyak tanah nggak cukup memberi profit. Mangkanya minyat tanah rakyat dialihkan ke bahan bakar gas, yang beberapa kali sempat membuat ledakan dan memanggang daging manusia. Kompor minyak tanah yang meleduk sudah nggak musim lagi, sekarang jamannya gas bocor dan memberi ledakan yang lebih mantab. Kampanyenya cukup jor-joran. Bukan kampanye ledakannya, tapi kampanye sosialisasi gas rakyat ini. Sementara minyak tanah mau dikasih subsidi lagi kok sudah bukan jamannya lagi menyubsidi berlebihan. Demikian juga dengan premium. Premium yang digunakan oleh banyak orang sedapatnya dicoba untuk dikurangi, konon juga karena bahan bakar ini dalam rangka produksinya masih menyita subsidi. Jadi, bila premium banyak diproduksi, maka negara makin cekak kantongnya. Bila kantong negara cekak, maka mohon maaf bila rakyat harus menanggung hal ini.

 

Namun kayaknya negara ini nggak pernah cekak kantongnya kalo untuk membeli mobil dan fasilitas pejabat. Konon mobil sekarang yang pakai para pejabat 'grade'-nya naik lagi di banding tahun – tahun sebelumnya. Saya sebut 'konon' karena ramai media massa memberitakan, tetapi pejabat menganggap hal ini sebagai kewajaran," Nggak berlebihan kok…". Gitu. Belum lagi fasilitas yang lainnya. Okelah. Kalo boleh sekedar asal - usul, mbok ya-o yang demikian itu dialihkan saja buat subsidi bahan bakar. Biar saya masih bisa menikmati premium, biar rakyat nggak gosong karena terbakar ledakan gas.

 

Beberapa tahun terakhir, ada anggaran yang cukup besar menyedot duit negara. Yakni kenaikan pendapatan pegawai negara di sektor yang bersentuhan dengan duit. Penggajian tersebut menggunakan duit negara. Bila gaji naik, maka anggaran untuk gaji meningkat, otomatis kocek negara musti dirogoh lebih dalam. Kooonoooon hal ini dibutuhkan untuk menurunkan merajalelanya korupsi. Istilahnya adalah 'gaji dinaikkan biar nggak korupsi', gitu. Sekedar dari kacamata orang awam, 'konon' kegiatan yang menyita banyak duit ini ternyata kurang sakti. Disana – sini masih saja banyak terjadi korupsi. Gaji sudah dinaikkan, anggaran sudah tersedot cukup banyak. Namun kayaknya korupsi masih bertahta.

 

Sementara sering kita temui seorang masinis kereta api angop (menguap) sambil nyetir sepur. Konon katanya kelelahan dan mengantuk, apalagi bila jadwal kereta api molor – molor. Padahal di belakang para masinis itu ada ratusan orang yang bila sang masinis terkantuk maka mereka semua bisa celaka. Masinis adalah 'malaikat' di atas rel.

 

Masinis memang nggak boleh mengantuk. Tetapi katanya mereka jarang tidur cukup. Hidup yang tidak sehat ini, diantaranya karena beberapa masinis memiliki hobi menjadi tukang ojek, tukang-pijet, atau kuli serabutan. Sebelum nyetir sepur, bisa jadi sang masinis itu habis begadang ngojek di gang komplek. Katanya sih cari duit buat bayar sekolah anaknya.

 

Lha kalo boleh asal – usul, kenapa nggak dinaikkan saja gaji para masinis itu, sehingga dia nggak perlu bergadang ngojek, nggak perlu bercapek – capek menjadi kuli serabutan, sehingga cukup istirahatnya, sehingga tidak membahayakan ratusan orang.

Okelah saya tau kas negara lagi cekak. Tapi, -usul saya- bisa jadi anggaran untuk kenaikan gaji pegawai yang ngurusin korupsi di-stop saja. Dialihkan kepada para masinis yang kerjaannya nyetir sepur dan bertanggung jawab terhadap keselamatan nyawa banyak orang. Mungkin, berlebihan malah. Karena setau saya, orang yang ngurusin duit lebih banyak ketimbang para masinis. Gimana ? [] haris fauzi – 7 oktober 2010



salam,

haris fauzi

1 comment:

ehm kommunika said...

blog yang menarik bagi pengunjung nya...salam kenal...http://ehm-kommunika.blogspot.com/