Setelah diingat – ingat, sepanjang karir sebagai sopir mobil pribadi, bisa jadi empat kali saya berurusan dengan polisi yang menyoal tilang jalan raya. Tilang artinya 'Bukti Pelanggaran'. Bukan artinya 'Titip Langsung'. Konon polisi menjadi saksi dan berfatwa bahwa menurut dia, si pengendara suatu ketika dianggap melakukan pelanggaran, dengan bukti yang dia lihat. Tentunya berdasarkan subyektivitas dan obyektivitas masing – masing polisi jalan raya. Dan ketika berbicara subyektivitas, maka jelas sekali urusannya bisa jauh dari obyektif. Walau tidak harus selalu seperti itu. Maka, tak jarang subyektivitas polisi akan bertolak – belakang dengan pandangan pengemudi. Dalam kerangka subyektivitas pribadi pengemudi, adanya tilang –bukti pelanggaran—yang dikemukakan polisi, kadang kala kadarnya ternyata kecil sekali. Dalam beberapa kasus, beberapa pengemudi malah bilang mengada –ada, dalam versi pengemudi tentunya. Sementara polisi haqqul-yakin menganggap adanya pelanggaran. Hal yang sangat debat-able, karena tidak adanya saksi independen lain atau bukti kamera, misalnya.
Ini cerita saya. Yang pertama adalah ketika melakukan perjalanan ke Surakarta. Kejadiannya di jalanan luar kota, di jalan raya trans Jawa Tengah. Siang itu dalam rangka perjalanan dari kota transit Semarang menuju Surakarta. Di jalanan yang beberapa berkelok, saya kesulitan mendahului mobil di depan saya. Suatu saat kemudian datanglah kesempatan untuk mendahului. Saya waspadai garis pembatas jalan, ternyata garis putih putus – putus, artinya saya boleh menggunakan lajur jalan sebelah kanan guna mendahului mobil lain.
Maka setelah memastikan lajur kanan bebas, sambil menginjak pedal gas saya masuk ke lajur kanan dan mulai mendahului. Repotnya, mobil yang didahului ikutan menambah kecepatan. Maka jadinya adalah semacam pacuan. Dan karena mobil yang akan didahului ternyata bersi-kukuh menambah kecepatan lagi, saya mengurungkan niat menyalip dan berhasrat balik lagi ke jalur kiri. Apalagi di sebelah kiri saya melihat ada rambu dilarang menyalip. Mangkanya saya balik ke kiri. Namun terlambat, garis pembatas jalan sekonyong – konyong sudah berubah menjadi garis sambung. Dan andai saya mempertahankan diri berada di lajur kanan, tentunya menjadi masalah karena itu digunakan oleh mobil yang berjalan berlawanan arah. Memang sih masih bebas alias sepi.
Ketika balik ke lajur kiri itulah roda kanan sempat sedikit menginjak garis sambung tersebut. Dan selanjutnya adalah delapan polisi sudah menghadang di depan. Dalam hati saya berpikir, apakah ini jebakan ? Dengan meletakkan rambu dilarang menyalip terlalu dekat. Jarak yang terlalu dekat antara rambu dan garis marka sambung ini cukup menyulitkan, atau istilahnya tidak memberi kesempatan kepada pengemudi untuk bisa dengan mulus kembali ke 'track' kiri.
Dari Kuningan Jakarta, suatu siang bersama seorang teman, namanya Pak Achmad,-- berkendara mobil melalui jalur tol dalam kota Jakarta menuju Bogor. Melewati Cawang Interchange, mendadak Pak Achmad –setelah menerima panggilan telepon-- meminta saya menghentikan laju mobil. Gokil. Rupanya dia hendak turun. Ini problem besar. Tidak boleh menurunkan penumpang –apalagi menurunkan sopir— di jalan tol. Saya bersi-kukuh melanjutkan perjalanan. Namun ternyata alasan Pak Achmad sangat masuk akal, Istrinya mendadak sakit, jadi dia memutuskan untuk segera mungkin pulang.
Di area itu tidak ada lokasi yang 'tepat' dan 'syah' untuk menurunkan penumpang. Namanya juga tol. Tol artinya membayar, bukan 'bebas hambatan'. Mangkanya jangan heran bila di jalan tol kita harus sering membayar. Dan jangan heran pula bila ternyata jalan tol tidak selalu bebas hambatan, malah macet rapat. Dan bila di jalan tol meminggirkan mobil lantas menurunkan sang teman, maka ini jelas – jelas melakukan pelanggaran. Saya yang melanggar karena saya yang mengemudi, sementara penumpang yang turun sejatinya juga melanggar aturan jalan tol. Karena kendaraan roda tiga, roda dua, dan tanpa roda –pejalan kaki- dilarang lewat jalan tol.
Akhirnya dengan pasrah saya memperlambat kendaraan, meminggirkannya, dan lantas menurunkan di pinggir tol. Dan selang dua menit kemudian dihadang oleh patroli polisi jalan raya. Murni ini pelanggaran. Ketika diinterogasi polisi, saya mengaku bahwa itu salah. Dan ketika polisi menanyakan mengapa pelanggaran dilakukan, saya hanya bilang," Istrinya sakit gawat. Teman harus segera pulang. Nggak ada waktu lagi". Tidak ada pembelaaan, hanya karena mengingat pentingnya urusan sang teman. Ini keputusan terbaik –dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan--.
Suatu siang bersama keluarga sedang berada di Taman Ismail Marzuki. Ketika sedang menyaksikan acara peluncuran buku baru, seorang rekan meminta saya untuk menemuinya di Kemayoran. Setelah atur –sana – sini, kita janjian bertemu jam 5 sore di Kemayoran. Dari TIM, saya melintas jalan Pramuka. Rencananya, begitu bertemu dengan tol dalam kota arah Priuk, akan belok kiri dan naik tol tersebut. Rencananya gitu.
Di jalan Pramuka Jakarta, ada jalur lambat di sebelah paling kiri. Jalur lambat dan jalur cepat dibatasi oleh jalur hijau. Selang beberapa kilometer, jalur hijau itu beberapa kali diputus oleh adanya akses bergantian, baik dari jalur lambat ke jalur cepat atau sebaliknya.
Tentunya untuk berbelok ke kiri, sudah seharusnya memasuki area jalur lambat dahulu, baru boleh belok kiri. Saya tau itu. Masalahnya adalah, seingat saya papan penunjuk jalan yang meng-informasi-kan kapan saya harus belok kiri, berada cukup jauh setelah akses masuk ke jalur lambat. Jadi, ketika hendak belok kiri, maka sudah tidak ada lagi kesempatan untuk memasuki jalur lambat. Dan ketika harus belok kiri langsung, maka saat itulah saat yang ditunggu oleh para polisi jalan raya. Mereka sudah bersiaga tepat di depan. Mungkin kejadian ini sudah sering terjadi. Jadi pak polisi sudah bisa menebak.
Polisi lalu lintas yang menghentikan laju mobil menyampaikan bahwa berbelok kiri langsung dari jalur cepat adalah pelanggaran. Saya sempat menanyakan ihwal letak rambu penunjuk belok kiri yang berada setelah akses ke jalur lambat tentunya menyulitkan pengendara. Karena tidak mungkin untuk mundur dahulu. Adalah lain perkara bila papan itu berada sebelum akses menuju jalur lambat, tentunya akan mudah memasuki jalur lambat sebelum berbelok kiri. Saya juga kemukakan bahwa tidak ada marka yang saya langgar. Karena memang bisa jadi marka jalur cepat sudah tidak nampak lagi alias cat-nya pudar. Bila memang ada marka yang terlarang, maka dari jalur cepat akan lurus dan menempuh jalur lain untuk menuju tol.
Alasan tersebut rupanya masuk akal juga, namun pak polisi tetap menganggap saya melanggar karena berbelok kiri mendadak adalah berbahaya. Itu-pun saya tau. Saya berusaha menjelaskan, agar tidak berbahaya seharusnya rambu dibuat se-informatif mungkin. "Iya Pak. Nanti akan ditingkatkan. Namun dengan berbelok langsung, Bapak membahayakan pengguna jalan raya lain". Oke, terserahlah.
Masih ada satu cerita lagi. Sendirian saya melaju di hari libur dari tugu Pancoran hendak menuju Cililitan. Karena hari libur, dan jaraknya yang relatif dekat, maka saya tidak menggunakan layanan jalan tol dalam kota. Saya memilih jalur reguler. Ini pilihan yang jarang saya lakukan, karena biasanya di hari kerja saya memilih untuk melewati tol. Alasannya adalah jalur reguler ini di hari kerja macet sekali.
Tiba di Cawang, untuk menuju arah Cililitan harus berbelok kanan. Saya mengantri dengan beberapa mobil lain di sebuah traffic light yang kebetulan sedang menyala merah. Dan ketika lampu berganti hijau, maka dengan santainya melaju belok kanan. Dan tak lama setelah itu diterima oleh Pak Polisi di seberang sana. Ternyata yang boleh belok kanan melalui traffic light tersebut hanya TransJakarta. "Itu Jalur Busway", kata dia.
Jalur BusWay ? Saya tidak melihat tanda bahwa traffic light itu khusus untuk BusWay. Bila memang ada papan rambunya, tentunya saya tidak melihatnya oleh karena dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah saya yang alpa. Bila memang saya yang alpa, mengapa banyak mobil lain yang melakukan ke-alpa-an serupa. Kemungkinan kedua adalah memang rambu itu tidak nampak, atau bahkan tidak ada wujudnya alias rambu ghaib. Yang jelas, tidak ada separator jalur khusus busway, dan warna aspalnya-pun hitam. Seperti kita tau, standar warna aspal jalur BusWay untuk TransJakarta adalah merah. Tapi hal ini diabaikan sajalah. Maka, di bawah kolong fly over Cawang terjadilah di-tilang kolosal dengan beberapa mobil lain. [] haris fauzi – 28 maret 2011
salam,
haris fauzi
kolomkenisah