BERITA, LAGU, BUKU
Ada --walau seharusnya lebih-- tiga hal yang sudah terbiasa semenjak usia SD. Baiklah, cerita soal tiga ini sahaja dahulu, yakni 'Berita, Lagu, dan Buku'. Jadi, semenjak kecil saya terbiasa membaca dan mendengar berita. Bukannya kemaruk, tetapi karena memang acara televisi kala itu yang boleh ditonton adalah kartun dan ketika adzan maghrib usai berkumandang maka televisi dimatikan. Ini aturan yang berlaku. Nah, baru pada pukul sembilan malam diperbolehkan untuk menonton televisi kembali. Dan acara tak lain tak bukan adalah 'Dunia Dalam Berita'. Selain 'Dunia Dalam Berita', Bapak lebih sering menyalakan radio-nya untuk memonitor berita, baik RRI hingga gelombang pendek ShortWave yang memajang radio Australia hingga siaran dari Masjid Jami' Malang.
Ini tentang berita-berita yang naik tayang jaman saya kecil. Dimana liputan - liputan yang bagus, berita yang menarik --dengan sortir sensor tentunya-- ditayangkan di televisi dan radio. Mungkin, tidak ada yang salah dalam sistem penayangannya, walau sebagian tentunya mempertanyakan arogansi lembaga sensor tadi. Kala itu, 'nature'-nya begini : liputan yang bagus tentunya layak tayang. Hanya itu ? Tidak juga. Program kampanye pro-pemerintah tentunya juga menyeruak. Namanya 'berita titipan'. Tidak ada yang salah pula dalam hal ini. Bukannya pers itu berfungsi sebagai media informasi dan bisa pula sebagai media promosi ? yang penting proporsionalnya seperti apa. Begono. Jangan sampe oposisi serang membabi buta, ini namanya provokasi. Namun jangan pula kampanye secara berlebihan, kalo kayak gini namanya keterlaluan.
Oke. Kembali ke -'nature' tadi. Bila tidak suuzhon, maka berita yang layak tayang adalah berita yang bagus. Itu jaman dulu. Jaman sekarang ? Konon berita titipan sedang naik daun. Banyak topik berita yang tiba - tiba menjadi top hits dalam sekejab. Berita 'mendadak top hits' ini tentunya bisa melambungkan ikon - ikon tertentu, baik orang, institusi, ataupun lainnya. Kadang hal ini disengaja untuk memrovokasi, kadang memang digunakan untuk melenakan terhadap hal lain. Istilah kerennya sebagai pengalihan opini. Ini jenis berita titipan juga.
Jadi sedikit tersamar dengan urusan iklan. Advertisement. Teman saya bilang, ada kasus - kasus yang memang didanai khusus agar selalu bisa terekspos berita. Jadi, bila kita punya modal cukup, maka kita bisa memesan berita apa yang hendak ditayangkan. Kapital material berkuasa disini. Misalkan saya punya duit cukup, lantas saya ingin kejadian anak saya belajar sepeda menjadi top hits, maka saya bisa memesan hal itu agar bisa ditayangkan berulang - ulang sampe penonton hafal atau bosan. Semacam iklan juga. Wallahualam. Ini cuma katanya saja, walau kebenarannya bisa jadi tebak - tebak buah manggis. Tolong pastikan sendiri, kan anda yang makan manggisnya.
Saya mengenal lagu dari radio. Andai jaman tahun 70-an, di rumah kala itu cuma ada kaset klasik koleksi bapak yang makin kusut masai karena dipake buat mainan. Pitanya di-olor-olor kemana - mana. Setelah duduk di bangku SMP baru-lah mendapatkan hadiah pemutar kaset, istilah kerennya 'tape-compo'. Perlu saya jelaskan disini, bahwa ihwal lagu ini terkait dengan radio dan televisi juga. Jadi begini, jaman saya kecil, media televisi menjadi ajang promosi lagu. Produser lagu membayar televisi untuk mengiklankan lagu - lagu bikinannya. Beberpa acara di televisi memang menyediakan slot promosi lagu, misalnya 'Aneka Ria Safari' atau 'Galarama'. Dan ini jaman sekarang juga, karena semenjak MTV, maka budaya iklan lagu semacam ini jadi semakin meledak. Istilahnya video clip. Hingga ada lagu yang berjudul 'Video Kill Radio Star' yang jadi tayang perdana MTV.
Itu urusan 'tape compo' dan klip di televisi. Bagaimana dengan radio ? Jaman saya kecil, stasiun radio mempunyai kupon untuk meminta lagu. Jadi pendengar setia radio boleh menelepon,-- atau datang sendiri-- ke stasiun radio tersebut untuk meminta lagu yang hendak diputar. Anak SMP banyak nongkrong di stasiun radio untuk mendapatkan kupon lagu ini. Kupon ini bisa saja ada harganya, bisa juga gratis. Singkat cerita radio lebih dominan memutar lagu - lagu yang diminta pendengar. Istilahnya lagu rikues. Untuk itulah beberapa stasiun radio berinisiatif membuat ranking mingguan --atau bulanan-- terhadap lagu - lagu yang paling laris dipesan pendengar. Istilah kerennya top-ten.
Dua tahun lalu saya sempat ngobrol bareng seorang teman ihwal lagu - lagu di radio. Dia menceritakan adanya sistem iklan pemutaran lagu di radio - radio. Jadi, singkat ceritera,-- lagu yang sering diputar di radio jaman sekarang ini belumlah tentu itu permintaan pendengar. Namun memang ada produsen - produsen musik yang membayar stasiun radio untuk selalu memutar lagu dagangan dia. Makin gede bayarannya, makin seringlah lagu itu diputar. Harapannya, lagunya dihafal orang, dan orang jadi membeli kasetnya. Atau bila ternyata bajakannya sudah rilis, setidaknya RBT-nya laris manis. Iklan.
Radio sudah menjadi mirip MTV. Siapa yang bayar, maka diputar. Advertisement memang memakan porsi besar, karena menjanjikan putaran duit.
Bagaimana dengan buku ? Saya mengenal buku semenjak TK. Dengan mengacak - acak koleksi buku Bapak. Dan saya memiliki koleksi buku pribadi semenjak kelas tiga SD. Jaman dulu ada beda antara percetakan dengan penerbitan. Percetakan bisa mencetak apa saja sesuai kemauan pemesan, asal ada duit. Sementara penerbit adalah menyortir naskah, mendapatkan naskah bermutu, lantas mencetaknya sebagai buku, dan kemudian dijual. Tentunya sebagian laba penjualan disetorkan kepada penulis.
Bagi saya sekarang, antara penerbit dan percetakan agak tersamar. Hampir mirip. Tak jarang buku yang kurang maknyus bisa terbit karena penulisnya memiliki modal. Penerbit memang masih menjalankan fungsi sortirnya, tapi tidak sekedar sortir redaksional dan topik, tapi ternyata soal pendanaan juga. Semakin besar dana yang disetor, maka peluang terbit akan semakin besar. Seorang teman dengan sinis berkata,"..jadilah penulis yang bermodal, atau jadilah orang kaya yang bisa menulis. Maka bukumu akan terbit..." [] haris fauzi - 9 maret 2011
Ada --walau seharusnya lebih-- tiga hal yang sudah terbiasa semenjak usia SD. Baiklah, cerita soal tiga ini sahaja dahulu, yakni 'Berita, Lagu, dan Buku'. Jadi, semenjak kecil saya terbiasa membaca dan mendengar berita. Bukannya kemaruk, tetapi karena memang acara televisi kala itu yang boleh ditonton adalah kartun dan ketika adzan maghrib usai berkumandang maka televisi dimatikan. Ini aturan yang berlaku. Nah, baru pada pukul sembilan malam diperbolehkan untuk menonton televisi kembali. Dan acara tak lain tak bukan adalah 'Dunia Dalam Berita'. Selain 'Dunia Dalam Berita', Bapak lebih sering menyalakan radio-nya untuk memonitor berita, baik RRI hingga gelombang pendek ShortWave yang memajang radio Australia hingga siaran dari Masjid Jami' Malang.
Ini tentang berita-berita yang naik tayang jaman saya kecil. Dimana liputan - liputan yang bagus, berita yang menarik --dengan sortir sensor tentunya-- ditayangkan di televisi dan radio. Mungkin, tidak ada yang salah dalam sistem penayangannya, walau sebagian tentunya mempertanyakan arogansi lembaga sensor tadi. Kala itu, 'nature'-nya begini : liputan yang bagus tentunya layak tayang. Hanya itu ? Tidak juga. Program kampanye pro-pemerintah tentunya juga menyeruak. Namanya 'berita titipan'. Tidak ada yang salah pula dalam hal ini. Bukannya pers itu berfungsi sebagai media informasi dan bisa pula sebagai media promosi ? yang penting proporsionalnya seperti apa. Begono. Jangan sampe oposisi serang membabi buta, ini namanya provokasi. Namun jangan pula kampanye secara berlebihan, kalo kayak gini namanya keterlaluan.
Oke. Kembali ke -'nature' tadi. Bila tidak suuzhon, maka berita yang layak tayang adalah berita yang bagus. Itu jaman dulu. Jaman sekarang ? Konon berita titipan sedang naik daun. Banyak topik berita yang tiba - tiba menjadi top hits dalam sekejab. Berita 'mendadak top hits' ini tentunya bisa melambungkan ikon - ikon tertentu, baik orang, institusi, ataupun lainnya. Kadang hal ini disengaja untuk memrovokasi, kadang memang digunakan untuk melenakan terhadap hal lain. Istilah kerennya sebagai pengalihan opini. Ini jenis berita titipan juga.
Jadi sedikit tersamar dengan urusan iklan. Advertisement. Teman saya bilang, ada kasus - kasus yang memang didanai khusus agar selalu bisa terekspos berita. Jadi, bila kita punya modal cukup, maka kita bisa memesan berita apa yang hendak ditayangkan. Kapital material berkuasa disini. Misalkan saya punya duit cukup, lantas saya ingin kejadian anak saya belajar sepeda menjadi top hits, maka saya bisa memesan hal itu agar bisa ditayangkan berulang - ulang sampe penonton hafal atau bosan. Semacam iklan juga. Wallahualam. Ini cuma katanya saja, walau kebenarannya bisa jadi tebak - tebak buah manggis. Tolong pastikan sendiri, kan anda yang makan manggisnya.
Saya mengenal lagu dari radio. Andai jaman tahun 70-an, di rumah kala itu cuma ada kaset klasik koleksi bapak yang makin kusut masai karena dipake buat mainan. Pitanya di-olor-olor kemana - mana. Setelah duduk di bangku SMP baru-lah mendapatkan hadiah pemutar kaset, istilah kerennya 'tape-compo'. Perlu saya jelaskan disini, bahwa ihwal lagu ini terkait dengan radio dan televisi juga. Jadi begini, jaman saya kecil, media televisi menjadi ajang promosi lagu. Produser lagu membayar televisi untuk mengiklankan lagu - lagu bikinannya. Beberpa acara di televisi memang menyediakan slot promosi lagu, misalnya 'Aneka Ria Safari' atau 'Galarama'. Dan ini jaman sekarang juga, karena semenjak MTV, maka budaya iklan lagu semacam ini jadi semakin meledak. Istilahnya video clip. Hingga ada lagu yang berjudul 'Video Kill Radio Star' yang jadi tayang perdana MTV.
Itu urusan 'tape compo' dan klip di televisi. Bagaimana dengan radio ? Jaman saya kecil, stasiun radio mempunyai kupon untuk meminta lagu. Jadi pendengar setia radio boleh menelepon,-- atau datang sendiri-- ke stasiun radio tersebut untuk meminta lagu yang hendak diputar. Anak SMP banyak nongkrong di stasiun radio untuk mendapatkan kupon lagu ini. Kupon ini bisa saja ada harganya, bisa juga gratis. Singkat cerita radio lebih dominan memutar lagu - lagu yang diminta pendengar. Istilahnya lagu rikues. Untuk itulah beberapa stasiun radio berinisiatif membuat ranking mingguan --atau bulanan-- terhadap lagu - lagu yang paling laris dipesan pendengar. Istilah kerennya top-ten.
Dua tahun lalu saya sempat ngobrol bareng seorang teman ihwal lagu - lagu di radio. Dia menceritakan adanya sistem iklan pemutaran lagu di radio - radio. Jadi, singkat ceritera,-- lagu yang sering diputar di radio jaman sekarang ini belumlah tentu itu permintaan pendengar. Namun memang ada produsen - produsen musik yang membayar stasiun radio untuk selalu memutar lagu dagangan dia. Makin gede bayarannya, makin seringlah lagu itu diputar. Harapannya, lagunya dihafal orang, dan orang jadi membeli kasetnya. Atau bila ternyata bajakannya sudah rilis, setidaknya RBT-nya laris manis. Iklan.
Radio sudah menjadi mirip MTV. Siapa yang bayar, maka diputar. Advertisement memang memakan porsi besar, karena menjanjikan putaran duit.
Bagaimana dengan buku ? Saya mengenal buku semenjak TK. Dengan mengacak - acak koleksi buku Bapak. Dan saya memiliki koleksi buku pribadi semenjak kelas tiga SD. Jaman dulu ada beda antara percetakan dengan penerbitan. Percetakan bisa mencetak apa saja sesuai kemauan pemesan, asal ada duit. Sementara penerbit adalah menyortir naskah, mendapatkan naskah bermutu, lantas mencetaknya sebagai buku, dan kemudian dijual. Tentunya sebagian laba penjualan disetorkan kepada penulis.
Bagi saya sekarang, antara penerbit dan percetakan agak tersamar. Hampir mirip. Tak jarang buku yang kurang maknyus bisa terbit karena penulisnya memiliki modal. Penerbit memang masih menjalankan fungsi sortirnya, tapi tidak sekedar sortir redaksional dan topik, tapi ternyata soal pendanaan juga. Semakin besar dana yang disetor, maka peluang terbit akan semakin besar. Seorang teman dengan sinis berkata,"..jadilah penulis yang bermodal, atau jadilah orang kaya yang bisa menulis. Maka bukumu akan terbit..." [] haris fauzi - 9 maret 2011
1 comment:
tautan dunia dalam beritanya keren bro..ingat masa SD , waktu perang Malvinas di kepulauan Argentina, seta=elah it br deh nonton bionic woman wkwkwkwkkwwakaka..
Post a Comment