KAKEK
Bagaimanapun, seperti kebanyakan orang, saya juga memiliki Kakek dan Nenek. Ada dari pihak Ibu, adapula dari pihak Bapak. Kakek pihak Bapak sudah lama meninggal tanpa saya kenal lebih jauh karena Kakek meninggal sebelum saya lahir. Menuru ceritera – ceritera, Kakek orang hebat. Bukan hebat sebagai pejabat, melainkan hampir setiap waktunya digunakan untuk kepentingan umum. Sebelum meninggal, konon salah satu wasiat Kakek adalah urusan madrasah. Hingga detik ini, wejangan Kakek masih senantiasa menjadi perbincangan hangat di kalangan handai taulan. Saya hanya bisa mendengarkan betapa Kakek adalah orang biasa, namun namanya bergaung hingga puluhan tahun menjadi ceritera –bila tidak disebut legenda kecil—dikalangan keluarga.
Kakek dari pihak Ibu punya ceritera yang sama namun agak berbeda latar jamannya. Saya mengenal semenjak kecil hingga tulisan ini dibuat. Kakek hidup sebagaimana orang layaknya, bertani, dan kebanyakan waktunya dihabiskan untuk kepentingan umum, terutama urusan masjid. Ketika kecil, saya ingat bagaimana dengan rokok klobotnya Kakek mengajak saya bermain di persawahan hingga nyemplung di kali Boyong yang kerap kondang bila gunung Merapi mengamuk. Kakek merokok dengan melinting. Kadang dengan klobot kadang dengan kertas rokok. Kertas rokoknya yang tersusun rapi sering saya minta, kemudian ujung – ujungnya saya jilat. Terasa manis cengkeh.
Kakek adalah tokoh spesial bagi pribadi saya. Di mata saya Kakek adalah orang yang bersih dan tidak suka hal mewah. Selain hatinya bersih, Kakek juga bersih dalam arti fisik. Bajunya bersih. Kadang dicucinya sendiri dengan direbus air sabun yang di-cemplung-i gerusan sabun kodok. Bagian krah-nya disikat menggunakan sikat gigi bekas. Peci hitamnya sering disikat hanya gara – gara sedikit debu kelabu menempel. Kakek juga pribadi yang konsisten. Ketika menderita sakit akibat kegemaran merokok, maka saat itu juga Kakek berhenti merokok dan berhenti untuk selamanya. Sebagai orang yang biasa merokok, entah mengapa Kakek bisa dengan mudahnya menghentikan kebiasaan itu.
Yang lebih berkesan lagi adalah peran – peran Kakek dalam kehidupan saya pribadi. Yang pertama ya karena saya hanya mengenal satu Kakek se-darah dalam hidup. Yang kedua, memang penetrasi Kakek dalam kehidupan saya cukup terasa dan dalam. Setidaknya, menjelang saya menempuh ujian kelas enam SD, Kakek pernah berkirim surat. Isinya dilampiri do'a. Khas tulisan tangan Kakek. Lembar do'a ini masih tersimpan dalam almari buku saya, dan masih selalu saya lafaz-kan seusai sholat, sementara suratnya saya yakin sudah ketlisut. Isi do'a-nya adalah permohonan akan ilmu yang berguna. Dalam surat –yang kini sudah ketlisut itu— Kakek berpesan agar saya belajar yang baik serta memanjatkan do'a agar bisa lancar menempuh ujian. Entah seberapa besar peran do'a dari Kakek, yang jelas terbukti memang saya bisa lulus seleksi masuk SMP favorit kota Malang.
Tidak sekedar bangku sekolah dasar. Hampir setiap menjelang ujian, saya selalu diminta Ibu untuk memohon restu dan doa kepada Kakek. Hingga ketika menghadapi ujian sarjana-pun demikian. Dan semuanya berjalan lancar. Bahkan ketika hendak menghadapi ujian masuk perusahaan terkemuka, saya-pun mendapat doa restu Kakek. Dan lulus.
Ketika saya menikah, adalah kehormatan bagi saya ketika salah satu saksinya adalah Kakek. Dan saya masih ingat betul bagaimana Kakek men-syah-kan pernikahan tersebut. Juga bagaimana pada tahun lalu ketika saya mengalami kesulitan keuangan, maka Kakek berperan besar membangkitkan semangat. Ketika itu Kakek sakit. Saya menjenguknya di desanya di kaki gunung merapi. Sebelum berpamitan, saya sempatkan menyampaikan uneg – uneg kesulitan tersebut. Dan Kakek mendoakan agar saya dimudahkan jalan mencari nafkah.
Saat ini usia Kakek sembilan puluh tahun. Dan sebagian besar waktunya kini berada diperaduan. Kakek sudah capek dan terlalu lemah untuk duduk. Kakek ditemani oleh keluarga BuLik, dan setiap bulan Ibunda menyempatkan singgah barang dua – tiga minggu. Beberapa handai taulan juga silih berganti berkunjung. Awal bulan lalu kembali saya bersama kakak berkunjung ke kaki gunung merapi. Menjumpai wajah Kakek yang demikian tenang, walau sesekali terlihat letih dan menahan sakit. Ketika Kakek sempat bercanda, auranya membawa keteduhan kepada kita semua yang bersamanya. Namun ketika kondisinya lemah, membuat kita semua tertunduk.
Dua hari satu malam saya berkesempatan menapak rumah Kakek. Setelah itu saya pamit. Saya pamitan diakhiri dengan sebuah momen serupa terowongan yang penuh tanda tanya. Seperti halnya kebanyakan orang Islam, saya berpamitan dengan bersalaman. Di akhir pamitan, Kakek yang berucap salam. Saya terperanjat, karena sejatinya yang berpamitan adalah saya yang hendak balik ke Bogor. Ucapan salam Kakek membuat jutaan tanda tanya dalam benak. Jutaan tanda tanya ini tertimbun dan menggelisahkan, hingga kini. Hingga ketika Ibu menelepon. Ibu bilang,"…Le, Kakek-mu minta dibelikan kain mori satu gulung….".[] haris fauzi – 21 maret 2011
No comments:
Post a Comment