Suatu senja pulang kerja, saya berkesempatan mendatangi sebuah masjid di kisaran Cibubur berkehendak maghrib-an disitu.Usai maghrib-an, 'ndilalah' diumumkan bahwa bakal ada kajian. Rencananya seperti itu, tapi Sang Da'i belum datang. Pihak takmir mengumumkan bahwa jadwalnya ba'da maghrib langsung kajian, tetapi karena sesuatu dan lain hal, maka pengajian kali ini agak mundur, musababnya Sang Da'i belum tiba. Diiringi permohonan maaf atas kemoloran ini, Pak Takmir masjid menutup pengumumannya.
Seumum yang saya tau, biasanya bila ada kajian ba'da maghrib, --biasanya-- Sang Da'i datang sebelum maghrib, jadi sempat didapuk pula sebagai imam sholat maghrib. Untung - untung bila pengajiannya hingga menyentuh saat isya, maka Sang Da'i otomatis didapuk kali kedua jadi imam sholat isya. Itu biasa yang saya tau, bisa jadi kali ini mungkin beda. Senyampang menunggu kedatangan da'i yang sedang dalam perjalanan, para jamaah mengisi dengan tadarus.
Setengah jam kemudian, Sang Da'i tiba, menunaikan sholat --entah sholat apa saya tidak mengamati-- dan lantas membuka tausyiah dengan permintaan maaf atas keterlambatan gegara kemacetan lalu lintas.
Ada dua hal utama yang Sang Da'i sampaikan. Pertama adalah masalah pentingnya sholat di awal waktu. Ihwal kedua adalah pentingnya sholat sunnah demi menjaga tegaknya syiar Islam. Nah, disinilah letak beratnya sebagai Da'i. Bayangkan, dalam ihwal pertama, ketepatan waktu, Sang Da'i datang terlambat dan lantas berbicara --berteori-- tentang pentingnya sholat di awal waktu. Mungkin ini bukan masalah serius. Masalah berubah menjadi cukup serius dan agak menusuk hati ketika Sang Dai beberapa kali bertanya kepada audiens ihwal "prestasi sholat", sambil sedikit sinis melecehkan audiens yang ditanya. Untungnya audiens yang ditanya--sekaligus dijadikan bahan candaan itu-- tidak berbalik bertanya kepada Da'i ihwal keterlambatannya tadi.
Ihwal kedua adalah persoalan sholat sunnah. Sang Da'i dengan gaya lelucon dengan candaan yang agak melecehkan, kembali bertanya kepada para audiens ihwal "prestasi sholat sunnah" yang telah dikerjakan oleh masing - masing. Membandingkan betapa hebatnya prestasi sholat sunnah para pengikut nabi, diperbandingkan --dengan gaya melecehkan-- prestasi sholat sunnah para audiens. Lucu tapi menusuk. Dan Sang Da'i tertawa girang melihat muk malu para audiens yang di tanya. Untungnya, sang audiens tertolong masuknya waktu isya. Saved By The Bell. Kajian ditutup sementara dan sepakat dilanjutkan ba'da isya. Dan adzan isya-pun berkumandang. Sholat jamaah didirikan.
Ba'da salam sholat isya, barang sekitar sepuluh dua puluh detik setelah salam, Sang da'i mengambil mikropon dan segera duduk untuk memulai kajian. Sang Da'i membuka dengan mukadimah bahwa berkaitan dengan betapa pentingnya materi yang akan dia bawakan, maka kajian harus segera dilanjutkan. Sungguh sangat penting rupanya apa yang bakal beliau sajikan.
Ada yang aneh disini, setelah sebelumnya Sang Da'i menggojlok audiens dengan skak-mat ihwal sholat sunnah, tak berselang lama--- sekitar 10 menit kemudian, Sang Da'i malah mengajak audiens untuk bersama - sama meninggalkan salah satu sholat sunnah utama, ba'diyyah isya. Entah maksudnya kenapa.
Dua fenomena yang terkesan in-konsistensi ini membuat posisi Da'i riskan dipertanyakan kredibilitas dan ke-istiqomah-annya. Dan untungnya, --alhamdulilah-- audiens tidak ada yang mempertanyakan hal tersebut. Sungguh berat jadi Da'i. [] haris fauzi, 13 maret 2016
No comments:
Post a Comment