Kalo dibilang salah, bisa jadi Pemerintah tidak salah. Karena Pemerintah sudah merilis aturan - aturan. Aturannya jelas, tidak boleh keluar rumah. Di sisi lain ada juga aturan mall dan toko ditutup. Sepi sekali. Beberapa bulan lalu seperti itu.
Alih cerita, dengan perkembangan berjalannya waktu, setelah beberapa bulan sepi pengunjung, rupanya para pemilik bisnis toko dan mall ini mengajukan dispensasi agar diperbolehkan untuk membuka mall dan toko - tokonya. Dan ini diperbolehkan. Trus, kini beberapa mall dibuka, di tengah aturan 'tidak boleh keluar rumah'. Aturan larangan keluar rumah ya otomatis masih berlaku. Pemerintah memperbolehkan mall dibuka, namun melarang masyarakat keluar rumah. Aturannya jelas, kan ?
Sama dengan aturan mudik. Mudik jelas - jelas dilarang. Pada awalnya juga begitu, sarana transportasi umum juga dilarang beroperasi, minimal dibatasi. Lantas beberapa minggu lalu 'petinggi urusan transportasi' mengumumkan diperbolehkannya moda transportasi beroperasi kembali. Tentunya yang begini ini dikehendaki oleh para pemodal / pemilik bisnis angkutan umum. Bisa jadi para pengusaha inilah yang mengajukan dispensasi agar bisnis mereka jalan lagi. Agar transportasi umum boleh beroperasi. Dan hal ini akhirnya diperkenankan oleh Pemerintah. Orangnya ? Masyarakat tetap dilarang mudik, harus tetap di dalam rumah. Aturannya jelas, kan ?
Dua fenomena di atas sepertinya bisa menimbulkan banyak interpretasi. Ada yang bilang Pemerintah gagal dalam mengatur rakyatnya, karena aturannya saling tidak singkron. Ada yang bilang pejabat tidak kompak. Namun dari sisi lain, masyarakat juga tidak kompak. Ada yang tergiur untuk berbondong - bondong ke mall, seakan tidak peduli terpapar virus corona. Atau malah menganggap bahwa dengan dibukanya pusat perbelanjaan, berarti wabah sudah berlalu. Asumsi sendiri-sendiri.
Bayangkan saja. Pemerintah menghimbau rakyat harus tetap di rumah. Pemerintah mengijinkan mall dibuka, dan langsung tancap gas dengan segala diskon yang menggiurkan. Kondisi menjelang lebaran dimana THR sudah ditangan. Normal. Rakyat memilih menyerbu mall. Bersenang - senang dengan mall dan tidak peduli adanya wabah. Inikah yang dinamakan berdamai dengan covid 19 ? Atau inikah yang disebut dengan 'NewNormal' itu ? Wallahualam. Yang jelas memang normalnya adalah pusat perbelanjaan akan penuh sesak saat menjelang lebaran. New, adalah baju baru, mungkin.
Trus, ternyata wabah masih gentayangan. Ratusan orang kembali tumbang, masuk Rumah Sakit. Tim dokter dan medis yang sudah tiga bulan bekerja non stop, masih harus menunda istirahatnya. Dokter itu sekarang tidak lagi memikirkan lebaran atau apapun. Mereka bekerja mati - matian. Resikonya kematian. Kondisi ini membuat tidak seorang-pun bisa mem-prediksi kapan tim medis ini beristirahat.
Maka, dengan aturan yang ada, jelaslah rakyat yang salah, melanggar aturan. Walau tetap saja aturannya gak karu-karuan, tapi kan sudah ditetapkan adanya larangan. Sudah dilarang, masih nekad nge-mall. Walaupun mall diijinkan buka, bukan berarti rakyat diperbolehkan jalan - jalan ke mall, harusnya rakyat tetap di rumah saja. Walaupun bis dan angkot sudah diijinkan beroperasi kembali, harusnya rakyat tetap di rumah saja. Pemerintah mengijinkan bis dan mall beroperasi, tetapi pemerintah melarang warga keluar rumah. Hayo, mau apa ? Aturannya seperti itu. Andai ada warga negara yang nekad pergi ke mall, nekad mudik, jelas resiko ditanggung dia sendiri. Siapa suruh pergi belanja ? Semua diserahkan ke masing - masing orang. Terserah.
Kemudian ada tim medis yang lelah dengan kondisi ini. Mungkin bukan saja lelah secara harafiah. Namun juga lelah yang ditimbulkan karena unpredictable condition ini. Kapan kelarnya ? Tidak ada yang bisa menjawab dengan jelas. Bahkan data yang hendak di analisa-pun masih belum jelas. "Selegenje" kata teman saya. Deviasi. Tim medis ini sekarang berjibaku --entah sampai kapan-- untuk menyelamatkan para korban, yangmana bisa jadi adalah mereka yang beramai - ramai ke mall, ke toko, dan berdesak - desakan naik transportasi umum. jalan - jalan bahkan mudik. Bersukaria belanja ke mall, lantas tumbang masuk ruang isolasi. Merepotkan tim medis yang sudah lelah.
Yang salah siapa ? Ada yang bilang bahwa tim medis tidak boleh mengeluh karena tugas tim medis adalah menyelamatkan korban. Ya ini pendapat ngawur. Kalo korbannya banyak, fasilitas kurang, tenaga sedikit, ya harusnya masyarakat secara kolektif sadar bahwa mereka harus ikut berpartisipasi menahan laju serbuan virus, bukannya malah bersuka - ria tanpa beban, dimana hal tersebut malah meningkatkan resiko jatuhnya korban. Pesta pora semacam ini hanya membuat kerja tim medis seakan tidak efektif, padahal tidak demikian.
Bagi saya sih, ini namanya salah kaprah. Semua salah. Aturan yang dibuat pemerintah tidak komprehensif. Terlepas dari adanya kepentingan dan segala conflict of interest, urusan simpang siurnya regulasi ini jelas kesalahan pemerintah. Sehingga membuka celah, bahkan memicu pergerakan dan aktivitas masyarakat ke arah yang tidak seharusnya. Banyak orang berbondong - bondong bepergian, bagi mereka yang mencari nafkah, okelah. Tapi tidak semudah itu. Mereka banyak juga yang mudik, traveling, shoping, nge-mall. Seakan tidak mengenal resiko virus corona. Ini yang salah masyarakat, karena tergiur mall, tergiur bepergian. Atau mungkin mereka sudah bosan terkurung selama tiga bulan. Tapi jangan salah, andai toko dan mall dibuka, para pemilik toko dagang dan kios di mall adalah mereka sedang mencari rejeki lebaran juga, mengharap pembeli berlimpah. Problemnya disitu juga. Pedagang pasar juga cari rejeki. Cari nafkah. Andai pembeli tidak ada, repot juga. Trus, maunya gimana ?
Oke deh, pemerintah punya kontribusi kesalahan. Masyarakat juga punya kontribusi. Dari semua ini, yang 'paling salah' siapa ? Dalam kondisi 'salah kaprah', biasanya yang paling bersalah adalah iblis. [] haris fauzi, 2 syawwal 1441 H.
Alih cerita, dengan perkembangan berjalannya waktu, setelah beberapa bulan sepi pengunjung, rupanya para pemilik bisnis toko dan mall ini mengajukan dispensasi agar diperbolehkan untuk membuka mall dan toko - tokonya. Dan ini diperbolehkan. Trus, kini beberapa mall dibuka, di tengah aturan 'tidak boleh keluar rumah'. Aturan larangan keluar rumah ya otomatis masih berlaku. Pemerintah memperbolehkan mall dibuka, namun melarang masyarakat keluar rumah. Aturannya jelas, kan ?
Sama dengan aturan mudik. Mudik jelas - jelas dilarang. Pada awalnya juga begitu, sarana transportasi umum juga dilarang beroperasi, minimal dibatasi. Lantas beberapa minggu lalu 'petinggi urusan transportasi' mengumumkan diperbolehkannya moda transportasi beroperasi kembali. Tentunya yang begini ini dikehendaki oleh para pemodal / pemilik bisnis angkutan umum. Bisa jadi para pengusaha inilah yang mengajukan dispensasi agar bisnis mereka jalan lagi. Agar transportasi umum boleh beroperasi. Dan hal ini akhirnya diperkenankan oleh Pemerintah. Orangnya ? Masyarakat tetap dilarang mudik, harus tetap di dalam rumah. Aturannya jelas, kan ?
Dua fenomena di atas sepertinya bisa menimbulkan banyak interpretasi. Ada yang bilang Pemerintah gagal dalam mengatur rakyatnya, karena aturannya saling tidak singkron. Ada yang bilang pejabat tidak kompak. Namun dari sisi lain, masyarakat juga tidak kompak. Ada yang tergiur untuk berbondong - bondong ke mall, seakan tidak peduli terpapar virus corona. Atau malah menganggap bahwa dengan dibukanya pusat perbelanjaan, berarti wabah sudah berlalu. Asumsi sendiri-sendiri.
Bayangkan saja. Pemerintah menghimbau rakyat harus tetap di rumah. Pemerintah mengijinkan mall dibuka, dan langsung tancap gas dengan segala diskon yang menggiurkan. Kondisi menjelang lebaran dimana THR sudah ditangan. Normal. Rakyat memilih menyerbu mall. Bersenang - senang dengan mall dan tidak peduli adanya wabah. Inikah yang dinamakan berdamai dengan covid 19 ? Atau inikah yang disebut dengan 'NewNormal' itu ? Wallahualam. Yang jelas memang normalnya adalah pusat perbelanjaan akan penuh sesak saat menjelang lebaran. New, adalah baju baru, mungkin.
Trus, ternyata wabah masih gentayangan. Ratusan orang kembali tumbang, masuk Rumah Sakit. Tim dokter dan medis yang sudah tiga bulan bekerja non stop, masih harus menunda istirahatnya. Dokter itu sekarang tidak lagi memikirkan lebaran atau apapun. Mereka bekerja mati - matian. Resikonya kematian. Kondisi ini membuat tidak seorang-pun bisa mem-prediksi kapan tim medis ini beristirahat.
Maka, dengan aturan yang ada, jelaslah rakyat yang salah, melanggar aturan. Walau tetap saja aturannya gak karu-karuan, tapi kan sudah ditetapkan adanya larangan. Sudah dilarang, masih nekad nge-mall. Walaupun mall diijinkan buka, bukan berarti rakyat diperbolehkan jalan - jalan ke mall, harusnya rakyat tetap di rumah saja. Walaupun bis dan angkot sudah diijinkan beroperasi kembali, harusnya rakyat tetap di rumah saja. Pemerintah mengijinkan bis dan mall beroperasi, tetapi pemerintah melarang warga keluar rumah. Hayo, mau apa ? Aturannya seperti itu. Andai ada warga negara yang nekad pergi ke mall, nekad mudik, jelas resiko ditanggung dia sendiri. Siapa suruh pergi belanja ? Semua diserahkan ke masing - masing orang. Terserah.
Kemudian ada tim medis yang lelah dengan kondisi ini. Mungkin bukan saja lelah secara harafiah. Namun juga lelah yang ditimbulkan karena unpredictable condition ini. Kapan kelarnya ? Tidak ada yang bisa menjawab dengan jelas. Bahkan data yang hendak di analisa-pun masih belum jelas. "Selegenje" kata teman saya. Deviasi. Tim medis ini sekarang berjibaku --entah sampai kapan-- untuk menyelamatkan para korban, yangmana bisa jadi adalah mereka yang beramai - ramai ke mall, ke toko, dan berdesak - desakan naik transportasi umum. jalan - jalan bahkan mudik. Bersukaria belanja ke mall, lantas tumbang masuk ruang isolasi. Merepotkan tim medis yang sudah lelah.
Yang salah siapa ? Ada yang bilang bahwa tim medis tidak boleh mengeluh karena tugas tim medis adalah menyelamatkan korban. Ya ini pendapat ngawur. Kalo korbannya banyak, fasilitas kurang, tenaga sedikit, ya harusnya masyarakat secara kolektif sadar bahwa mereka harus ikut berpartisipasi menahan laju serbuan virus, bukannya malah bersuka - ria tanpa beban, dimana hal tersebut malah meningkatkan resiko jatuhnya korban. Pesta pora semacam ini hanya membuat kerja tim medis seakan tidak efektif, padahal tidak demikian.
Bagi saya sih, ini namanya salah kaprah. Semua salah. Aturan yang dibuat pemerintah tidak komprehensif. Terlepas dari adanya kepentingan dan segala conflict of interest, urusan simpang siurnya regulasi ini jelas kesalahan pemerintah. Sehingga membuka celah, bahkan memicu pergerakan dan aktivitas masyarakat ke arah yang tidak seharusnya. Banyak orang berbondong - bondong bepergian, bagi mereka yang mencari nafkah, okelah. Tapi tidak semudah itu. Mereka banyak juga yang mudik, traveling, shoping, nge-mall. Seakan tidak mengenal resiko virus corona. Ini yang salah masyarakat, karena tergiur mall, tergiur bepergian. Atau mungkin mereka sudah bosan terkurung selama tiga bulan. Tapi jangan salah, andai toko dan mall dibuka, para pemilik toko dagang dan kios di mall adalah mereka sedang mencari rejeki lebaran juga, mengharap pembeli berlimpah. Problemnya disitu juga. Pedagang pasar juga cari rejeki. Cari nafkah. Andai pembeli tidak ada, repot juga. Trus, maunya gimana ?
Oke deh, pemerintah punya kontribusi kesalahan. Masyarakat juga punya kontribusi. Dari semua ini, yang 'paling salah' siapa ? Dalam kondisi 'salah kaprah', biasanya yang paling bersalah adalah iblis. [] haris fauzi, 2 syawwal 1441 H.
ilustrasi : inibaru.id; tempo web