Dalam masa pandemi Covid-19 ini banyak orang --bisa dikata rakyat Indonesia terlalu sering menyalahkan pemerintahan. Saya juga begitu, terlalu banyak menyalahkan. Pokoknya pemerintah banyak salahnya. Pemerintah tidak sigap lock-down. Pemerintah tidak siap dana. Pemerintah meloloskan WNA. Pemerintah bingung keputusan mudik. Pemerintah tidak kompak satu suara. Para pejabat berbeda - beda instruksinya. Pemerintah membiarkan mall beroperasi. Pemerintah membuka transportasi umum beroperasi. Pemerintah tidak antisipasi krisis ekonomi. Pejabat pemerintah lebih mementingkan kepentingan RRC. Pemerintah tidak mempersiapkan korban PHK akibat pandemi. Pemerintah tidak tegas menutup jalanan. Dan segala macamnya. Kenapa hal ini terjadi ? Kenapa kita menyalahkan pemerintah ?
Dua puluh tahun paska reformasi, dua puluh tahun paska pergantian abad, kita bisa rasakan sekarang bagaimana informasi sedemikian derasnya, sedemikian bebas dan demokratisnya, sedemikian ngawurnya (juga). Jurnalisme menjadi hak dan pekerjaan semua orang. Terjadi banyak dinamika informasi dan jurnalisme. Baik media main stream maupun media sosial. Media main stream bisa beralih menjadi media apa saja, bebas sesuai keinginan dewan redaksi dan dewan pemiliknya. Memuat apa saja tanpa perlu takut sensor ala Orde Baru. Bisa jadi dan bisa saja menerima pesanan. Siapa tau. Bahkan boleh saja membiarkan saja apa cibiran rakyat.
Di sisi lain rakyat makin bebas mengemukakan apa saja, apalagi di media sosial. Ngoceh di media sosial tanpa perlu menyamar seperti saat Orde Baru. Walaupun bila terlalu norak mencela pemerintahan masih saja ada ancamannya. Tidak bebas 100% sih.Yang bebas 100% hanya buzzer - buzzer pemburu oposisi. Dia berhak mencela apa saja, dan tidak akan dihukum. Karena mereka mencela oposisi, bukan mencela pemerintah. Aman. Bila ingin bebas mencela, maka cela saja oposisi. Beres.
Hal kedua yang menyebabkan banyak orang --termasuk saya-- menyalahkan pemerintah, karena sepertinya kita terlalu bersandar kepada mereka, terlalu berharap kepada pemerintah. Ini kesalahan fatal manusia sebagai makhluk Allah SWT, yang seharusnya --diciptakan untuk beribadah kepada Allah SWT. Atas segala hal, dua sebab di atas, rasanya hal ini lebih penting untuk direnungkan. Kita bisa melihat, bagaimana kemampuan pemerintah dalam mengendalikan wabah ini. Sungguh sangat kepayahan. Lantas, kita masih terlalu berharap kepada makhluk sebagaimana mereka ? Mereka kini lagi sempoyongan, apalagi banyak kepentingan. Makhluk memiliki banyak keterbatasan, banyak kekurangan. Karena itulah Ali bin Abi Thalib pernah berujar, bahwa berharap kepada manusia adalah kepahitan.
Lantas, kita harus berharap kepada siapa ? Dalam sehari ummat Islam puluhan kali membaca surah Al-Fatihah. Minimal tujuh belas kali dalam sehari saat sholat wajib tujuh belas rakaat. Itu bila kita melaksanakan sholat. Dan bila kita faham makna bacaan dalam surah Al-Fatihah. Dalam ayat lima disebutkan bahwa "Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan". Nah. Artinya, kita harus berharap ke siapa ? Jelas 'kan ? [] haris fauzi - 13 mei 2020
No comments:
Post a Comment