Awalnya saya faham ketika ada masukan dari teman kajian, bahwa sebaiknya menulis salam itu di tulis lengkap. Jangan menulis 'Assww', tapi ditulis lengkap 'Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh'. Begitu katanya. Entah kejadian itu berapa tahun silam, lupa saya. Lebih lima tahun lalu saya rasa. Setelah itu, surat - surat, apalagi perpesanan baik SMS atau BBM, makin banyak yang tidak menggunakan salam di awal paragraf. Cobalah ingat - ingat. Hal ini mungkin disebabkan oleh dua hal, yang pertama adalah email dan pesan pendek makin lama makin dianggap tidak perlu menggunakan salam, lebih pantas menggunakan 'Dengan Hormat' atau sebangsanya. Yang kedua adalah adanya anggapan daripada dosa karena menyingkat salam, maka tidaklah perlu menggunakan salam, toh mengucap salam itu hukumnya sunnah.
Dalam tiga tahun terakhir, dunia media sosial dan perpesanan juga dibombardir dengan gaya 'slenk' anak muda borjuis milenial. Salah satunya adalah prokem penulisan salam yang di-sleneh-kan. Semacam 'Slamlekum' (plesetan dari Assalamualaikum) dan sebangsanya. Otomatis, otoritas kajian semakin gencar melarang penggunakaan salam yang disingkat, apalagi disleneh-slenehkan. Saling gempur di dunia maya, akhirnya kaum borjuis milenial lelah, mereka menggeser trend perpesanan. Salam slenk tidak booming lagi.
Reda dari gempuran salam slenk sotoy tersebut, kembali otoritas kajian melakukan gebrakan baru. Yakni dipopulerkannya gerakan menulis salam dengan menggunakan huruf arab. Dengan berbagai dalil, dan tentu saja dalil - dalil tersebut benar. Karena memang salam muslim tersebut memang bahasa arab, ya pasti secara penulisan pasti lebih pas dengan menggunakan huruf arab. That's It. Ujung - ujungnya, klaim - klaim sepihak bahwa penulisan salam mengunakan huruf latin tidaklah sesuai dengan kaidah Islam. Ini menjadi semacam regulasi, karena terus - menerus di-budaya-kan. Dengan regulasi baru ini, maka, makin banyak email, perpesanan, bahkan surat tercetak, yang meninggalkan penggunaan salam muslim tersebut. Kini, dalam list email yang masuk ke kotak surat saya, lebih 90% surat yang ada tidak menggunakan salam muslim, padahal 90% kolega korespondensi saya adalah muslim. Demikian juga dalam aplikasi perpesanan, hanya chat dalam grup kajian saja yang menggunakan salam, itupun tidak lebih dari 10% dari chat yang ada di grup itu sendiri. Semisal saya punya 50 grup whatsapp, 5 diantaranya adalah grup kajian. Total 5 grup kajian ini mungkin dalam sehari --katakanlah-- ada 100 chats. Dari 100 chats tersebut, hanya 10 chats yang menggunakan salam. Ini di grup kajian Islam. Sisanya ya bablasan begitu saja tanpa salam. Nylonong bebas.
Tidak hanya salam, penulisan 'Rasul'-pun mengalami perlakuan serupa. Awalnya adalah regulasi dari otoritas kajian memopulerkan penulisan lengkap. Bukan Rasul, tetapi Rasulullah, dan SAW tidak disingkat. Ditulis lengkap "Salallahu Alaihi Wassalaam". Setelah itu, penulisannya disarankan menggunakan huruf arab, terutama pada "Salallahu 'Alaihi Wassalaam". Demikian juga dengan singkatan "Subhanahu wa Ta'ala", disarankan -dengan kuat- menggunakan huruf arab, walau hal itu tentu saja tidaklah mudah. Walhasil, kata - kata tersebut semakin sedikit digunakan, karena memang dalam keseharian keseringan menggunakan huruf penulisan latin, bukan huruf arab. Makin lama makin jarang muncul dalam literasi keseharian, baik media sosial, serat elektronik, maupun perpesanan. Bila pilihan substitusi muncul, maka yang populer adalah penggunaan kata Nabi dan Tuhan. Karena tidak memuat konsekwensi penggunaan huruf arab.
Hal yang nyaris sama terjadi dalam budaya ber-niat. Ummat Islam Salafi dan Wahabi melarang pelafalan niat. Harus dalam hati. Ini ada beberapa impak. Dalam sholat, saya amati nampak mereka yang tidak melafalkan niat dengan khusyu, hanya dalam hati kemudian sekonyong - konyong langsung takbiratul ihram, maka banyak yang berdirinya goyang - goyang, masih maju mundur. Atau masih sering garuk hidung atau kuping, bahkan menyerut jenggot. Hal ini -mungkin- karena mereka sekonyong - konyong langsung sholat, belum sempat memusatkan konsentrasi dengan baik. Wallahu'alam.
Niat puasa, jaman tahun 1980-an, ramai - ramai dilafalkan secara berjamaah di masjid dan surau. Apalagi anak - anak, bersemangat sekali melafalkan hal tersebut dengan sekencang - kencangnya. Ketika ditanya, apakah niat berpuasamu ? Mereka menjawab "nawaitu shauma ghadin ... dst". Dalam kekinian, ketika jaman "niat adalah dalam hati", iseng saya tanya seorang anak kecil, apakah niat puasamu ? dia menjawab," gue besok mau puasa". [] haris fauzi, 8 Mei 2020
Dalam tiga tahun terakhir, dunia media sosial dan perpesanan juga dibombardir dengan gaya 'slenk' anak muda borjuis milenial. Salah satunya adalah prokem penulisan salam yang di-sleneh-kan. Semacam 'Slamlekum' (plesetan dari Assalamualaikum) dan sebangsanya. Otomatis, otoritas kajian semakin gencar melarang penggunakaan salam yang disingkat, apalagi disleneh-slenehkan. Saling gempur di dunia maya, akhirnya kaum borjuis milenial lelah, mereka menggeser trend perpesanan. Salam slenk tidak booming lagi.
Reda dari gempuran salam slenk sotoy tersebut, kembali otoritas kajian melakukan gebrakan baru. Yakni dipopulerkannya gerakan menulis salam dengan menggunakan huruf arab. Dengan berbagai dalil, dan tentu saja dalil - dalil tersebut benar. Karena memang salam muslim tersebut memang bahasa arab, ya pasti secara penulisan pasti lebih pas dengan menggunakan huruf arab. That's It. Ujung - ujungnya, klaim - klaim sepihak bahwa penulisan salam mengunakan huruf latin tidaklah sesuai dengan kaidah Islam. Ini menjadi semacam regulasi, karena terus - menerus di-budaya-kan. Dengan regulasi baru ini, maka, makin banyak email, perpesanan, bahkan surat tercetak, yang meninggalkan penggunaan salam muslim tersebut. Kini, dalam list email yang masuk ke kotak surat saya, lebih 90% surat yang ada tidak menggunakan salam muslim, padahal 90% kolega korespondensi saya adalah muslim. Demikian juga dalam aplikasi perpesanan, hanya chat dalam grup kajian saja yang menggunakan salam, itupun tidak lebih dari 10% dari chat yang ada di grup itu sendiri. Semisal saya punya 50 grup whatsapp, 5 diantaranya adalah grup kajian. Total 5 grup kajian ini mungkin dalam sehari --katakanlah-- ada 100 chats. Dari 100 chats tersebut, hanya 10 chats yang menggunakan salam. Ini di grup kajian Islam. Sisanya ya bablasan begitu saja tanpa salam. Nylonong bebas.
Tidak hanya salam, penulisan 'Rasul'-pun mengalami perlakuan serupa. Awalnya adalah regulasi dari otoritas kajian memopulerkan penulisan lengkap. Bukan Rasul, tetapi Rasulullah, dan SAW tidak disingkat. Ditulis lengkap "Salallahu Alaihi Wassalaam". Setelah itu, penulisannya disarankan menggunakan huruf arab, terutama pada "Salallahu 'Alaihi Wassalaam". Demikian juga dengan singkatan "Subhanahu wa Ta'ala", disarankan -dengan kuat- menggunakan huruf arab, walau hal itu tentu saja tidaklah mudah. Walhasil, kata - kata tersebut semakin sedikit digunakan, karena memang dalam keseharian keseringan menggunakan huruf penulisan latin, bukan huruf arab. Makin lama makin jarang muncul dalam literasi keseharian, baik media sosial, serat elektronik, maupun perpesanan. Bila pilihan substitusi muncul, maka yang populer adalah penggunaan kata Nabi dan Tuhan. Karena tidak memuat konsekwensi penggunaan huruf arab.
Hal yang nyaris sama terjadi dalam budaya ber-niat. Ummat Islam Salafi dan Wahabi melarang pelafalan niat. Harus dalam hati. Ini ada beberapa impak. Dalam sholat, saya amati nampak mereka yang tidak melafalkan niat dengan khusyu, hanya dalam hati kemudian sekonyong - konyong langsung takbiratul ihram, maka banyak yang berdirinya goyang - goyang, masih maju mundur. Atau masih sering garuk hidung atau kuping, bahkan menyerut jenggot. Hal ini -mungkin- karena mereka sekonyong - konyong langsung sholat, belum sempat memusatkan konsentrasi dengan baik. Wallahu'alam.
Niat puasa, jaman tahun 1980-an, ramai - ramai dilafalkan secara berjamaah di masjid dan surau. Apalagi anak - anak, bersemangat sekali melafalkan hal tersebut dengan sekencang - kencangnya. Ketika ditanya, apakah niat berpuasamu ? Mereka menjawab "nawaitu shauma ghadin ... dst". Dalam kekinian, ketika jaman "niat adalah dalam hati", iseng saya tanya seorang anak kecil, apakah niat puasamu ? dia menjawab," gue besok mau puasa". [] haris fauzi, 8 Mei 2020
No comments:
Post a Comment