Omnibus Law yang penuh kontroversi itu baru saja disahkan, minggu lalu. Saya jadi teringat tahun 2006. Mungkin tahun 2007, lupa saya tepatnya kapan. Saat itu perusahaan dimana kami bekerja mulai mengalami resesi. Resesi keuangan yang berat. Seakan lebih besar pasak daripada tiang. Dalam suatu rapat darurat manajemen, entah kenapa saat itu ada voting. Dari semua dewan manajemen yang hadir, menyatakan bahwa perusahaan jalan terus. Hanya saya seorang yang bilang "tutup". Saat itu saya bilang," hati saya ingin perusahaan ini jalan terus, tetapi otak saya bilang tutup". Tak lama setelah itu, saya tidak diperkenankan lagi mengikuti jalannya rapat. Manajemen bersepakat untuk maju terus, menyusun program kerja. Di sisi lain, para pekerja optimis kembali, bahwa bakal lolos dari lubang kebangkrutan.
Singkat ceritera, pada tahun 2010 perusahaan kami tutup. Ternyata akhirnya tutup beneran, sesuai apa yang saya bicarakan di rapat beberapa tahun sebelumnya. Saat pabrik benar - benar tutup, saya salah satu yang terakhir keluar dari gerbang biru yang memorabilia tersebut. Saat itulah kepanikan mulai melanda. Manajemen memutar otak untuk mempersiapkan dana 'penutupan pabrik'. Bagaimana-pun perusahaan membutuhkan dana untuk bayar hutang termasuk pesangon PHK. Padahal dana lagi nol. Hutang bejibun. Beberapa bulan terakhir bisa dikata tak ada gajian. Sementara saat - saat seperti itu terjadi kekagetan berjamaah, pekerja seakan tidak percaya. Tergagap sementara. Padahal tanda - tanda sudah ada, setahun sebelumnya ada gelombang PHK. Namun kali ini, PHK belum tentu ada dananya. Hanya ada kaget - kagetan sahaja. Ini yang membikin tergagap. Geledek di tengah siang buntu.
Tak perlu waktu berminggu - minggu. Ditutupnya gerbang pabrik pertanda jelas - jelas bubaran. PHK. Beberapa pekerja menuntut pesangon. Ada yang berkirim pesan ke direksi, menelepon, atau sambang ke kantor pusat, guna meminta kejelasan ihwal pesangon. Ada perorangan, ada kelompok kecil, ada rombongan rame - rame. Pekerja kumpul sana kumpul sini, bicara strategi menagih pesangon. Berkerumun, lantas berangkat, entah kemana. Ada juga yang mengadu peruntungan ke lembaga tenaga kerja.
Sebetulnya, semenjak rapat darurat pada 2006, asli saya sudah penuh was-was. Perusahaan ini bakal tutup. Apalagi saya tidak disertakan lagi dalam sidang hari itu. Untuk itulah saya mulai bersiap. Saya punya waktu selama tiga tahun. Saya sadar betul, bila ternyata harus tutup, maka perusahaan kami tidak lagi punya dana. Bila-pun ada, tidak banyak. Hutang sudah menjerat terlalu erat. Memang akhirnya ada sebagian hak pekerja yang bisa dicairkan. Namun tak ada separuhnya. Mungkin sepertiga atau seperempatnya. Bagi saya ini sudah lumayan, daripada nol. Namun, ini tentu saja belum memenuhi hak. Banyak karyawan yang terus mendesak manajemen, mereka menuntut sisa hak yang belum jua terbayarkan. Entah sampai kapan. Namun saya tidak fokus disitu. Saya faham, 2006 saja sudah tidak ada duitnya. Apalagi 2009. Percuma juga di-demo. Wong ga ada duitnya. Saya lebih memilih menyibukkan diri mencari rejeki, bekerja di tempat lain agar tetap mendapatkan duit. Daripada kehilangan waktu dan kehabisan duit.
Ternyata wujudnya --salah satunya-- adalah Omnibus Law. Omni ini maknanya 'bermacam ragam'. Law artinya 'hukum'. Kata Dahlan Iskan, Omnibus ini artinya bus yang bisa diisi bermacam - macam. Jadi singkat ceritera, Omnibus Law artinya sumber hukum bermacam - macam topik dibundel dalam satu kemasan. Konon seribu halaman tebalnya. Luar biasa. Posisinya bisa menganulir topik UU yang telah ada. Boleh dikata posisi Omnibus Law ini berada di atas UU lain. Dari komposisi topik dan kedigdayaannya, jangan - jangan mirip UUD 1945. Ada bocoran cerita, bahwa kelak kerjasama yang efektif antara Eksekutif dan Legislatif semacam ini akan memproduksi belasan Omnibus Law (lagi). Untuk menggantikan UU yang telah dianggap usang. Posisinya semua Omnibus Law ini cukup powerful. Digdaya.
Harusnya tiga tahun yang lalu kita sudah bisa faham bakal kelahiran Omnibus - Omnibus ini. Tiga tahun lalu saat yang tepat untuk protes, bukan sekarang. Kalaulah baru hari ini protes, kemungkinan besar anda terlambat. Kalau sudah palu diketok, ya masalah jadi lebih ruwet. Apalagi pemerintah sekarang cenderung menutup telinga, sementara legislatif cenderung menutup mata. Padahal ini produk hukum, yudikatif sendiri menutup hati, cenderung pilih - pilih. Suara - suara keberatan dan penentangan terhadap rencana UU ini sudah nyaring semenjak lama. Suara nyaring. Suara doang, tanpa bakar - bakar. Kalau toh ada demo, tidaklah destruktif. Namun pihak eksekutif, legislatif, yudikatif sejauh ini konsisten untuk tutup mata tutup kuping tutup hati. Omnibus Law tak terhentikan.
Dan kini kaum proletar bergolak. Periuk nasi mereka terancam. Kaum buruh menggelar demonstrasi. Terlambat, bisa jadi. Omnibus Law sudah terlanjur di-sah-kan. Omni yang memang omnivora, segalanya dimakan. Bentrok sana sini, fasilitas umum rusak dan terbakar. Rasanya kurang elok dilihat. Namun mereka memperjuangkan perut. Ini posisi serba salah. Rekan saya bilang, di negeri ini selalu saja demikian. Atau jangan - jangan rezim ini memang harus diluruskan dengan cara bakar - bakar ? Ini bar-bar. Tidak intelek. Dan tentu saja mengenaskan. [] haris fauzi, 10102020
gambar : au pied de cochon