Terbiasa hidup dalam hutang, akhirnya sang Raja memutuskan berhutang lagi. Singkat kisah kas kerajaan kini telah terisi lagi. Terisi harta hasil hutangan. Hutang tentunya harus dibayar. Maka Raja mengumumkan kenaikan pajak untuk membayar hutang. Maksud hati harta hutangan tersebut hendak dijadikan biaya untuk mengatasi wabah. Maka disusunlah segala perangkat dan peraturan untuk hal tersebut. Dasar kerajaan di ujung neraka yang memang ber-akhlak rendah. Begitu dana keluar, punggawanya bancakan. Walau tidak semua. Demikian berjalannya waktu, dana tersebut rutin turun, dan senantiasa mengalami penyunatan sana - sini. Begitu melulu yang terjadi. Rakyat hanya bisa gigit jari. Ada beberapa pemuda yang gagah berani berusaha mempertanyakan keberadaan dana tersebut, berniat menguak keterbukaan. Namun para 'tukang sunat' telah memiliki koneksi dengan pasukan bertombak. Pasukan bayaran. Walhasil nasib para pemuda ditangan pasukan bertombak. Pasukan bertombak dengan mudah meringkus para pemuda tersebut. Beres. Sebelum praktek kekerasan ini menyebar, pasukan woro-woro bergerak. Mereka menyebar berita palsu ihwal diringkusnya para pemuda pemberani tadi. Berita palsu yang mengelabui, namun istana seakan membiarkan saja. Selalu begitu.
Sekian tahun berjalan, masih saja wabah itu mencabut nyawa warga kerajaan. Rakyat bergiliran antri dikubur. Petinggi kerajaan tidak sedikit yang tewas. Entah wabahnya yang memang dahsyat, ataukah perangkat kerajaan yang tidak bisa bekerja dengan baik. Yang jelas wabah masih merajalela. Dana yang di-hutang sudah habis, penyakit masih gentayangan. Rakyat makin sengsara. Bekerja tidak bisa. Mereka menunggu para tabib yang mencoba meracik ramuan penyembuh. Obat. Para petinggi berkirim surat kepada para kolega diluar kerajaan, hendak membeli ramuan yang ada disana, bila ada, bila bisa.
Suatu hari ada petinggi yang rupanya mempunyai berita gembira. Dan lantas dia berniat mendatangkan ramuan dari luar kerajaan. Biayanya mahal sekali. Terpaksa kerajaan berhutang lagi. Pajak kerajaan dinaikkan lagi. Rakyat yang sudah kere, mendapat tugas tambahan, membayar pajak tambahan. Pokoknya, Sang Petinggi tadi harus mendapatkan keistimewaan, karena membawa obat istimewa dengan harga istimewa. Bila perlu para tabib diharuskan berhenti meracik ramuannya. Tabib yang ngeyel meracik ramuan, akan berhadapan dengan pasukan bertombak yang sudah terkenal kekejamannya. Kerajaan hanya perlu mendatangkan obat dari luar. Sebanyak-banyaknya.
Sedemikian hendak membeli, harga naik kembali. Entah kenapa. Dengan sukarela kerajaan merogoh kocek lebih dalam lagi. Kocek hutangan. Menutup harga yang luar biasa. Mungkin ada yang bermain harga disana. Raja tersenyum, petinggi tertawa - tawa. Ketika ramuan berharga mahal itu tiba, pasukan woro-woro bergerak lagi. Mewartakan kehebatan ramuan sebagai obat, tanpa mempermasalahkan permainan harga. Dana kerajaan telah habis banyak. Hutang makin menggunung, rakyat menyiapkan punggung, karena pajak harus ditanggung.... ternyata kerajaan akan membuka panggung.
Panggung apa ? Di tengah menggunungnya hutang, ditengah wabah yang merajalela, di tengah penderitaan rakyat yang makin kere, tibalah saat-saat yang ditunggu-tunggu. Raja dan para petinggi kerajaan mengadakan panggung pesta pengangkatan para punggawa baru. Ini kegiatan berkala tahunan. Raja menunjuk para punggawa baru. Benar - benar baru. Mereka adalah anak cucu keluarga famili dari Raja dan para petinggi. Kerabat pejabat ditunjuk menjadi pejabat. Dulu mereka masih anak kecil, kini sudah dianggap cukup dewasa untuk menjadi pejabat. Punggawa baru, dengan segala fasilitas dan kemewahan. Hutang masih mencekik, wabah masih mendera, rakyat makin kere. Kehadiran pejabat baru diharapkan bisa melipur penderitaan rakyat. Rakyat harus memahami warta kerajaan dari pasukan woro-woro. Yang mempertanyakan warta penguasa, akan dipertemukan dengan pasukan bertombak. Selalu begitu. [] haris fauzi, 3 oktober 2020
gambar dari pinterest
No comments:
Post a Comment