Wednesday, April 19, 2006

KENISAH Januari 2006

kenisah, [bukutergores], gearbox,
tumpukan CD dan buku


23 Juli 2004 untuk pertama kalinya saya posting tulisan saya. Tulisan ini menjadi pembuka bagi seri kolom "kenisah". Hingga pada 7 Juli 2005 untuk kali terakhir saya menulis kolom tersebut. Dalam hitungan saya genaplah seratus tulisan kolom kenisah telah ter-posting dalam setahun. Tentang 100 tulisan kenisah sudah pernah saya muat dalam tulisan kenisah yang terakhir itu sendiri.

'Kenisah' merupakan satu kisah sukses bagi saya, yang menyisakan kisah - kisah gagal di lain pihak. Karena terus terang akhir - akhir ini saya teramat malas membaca. Apakah saya dulu seorang yang rajin membaca ? Ah, tidak juga. Saya adalah pemalas yang jadi makin malas dalam membaca. Sebabnya saya tidak tau benar mengapa.
Dampaknya adalah saya berhenti menulis [bukutergores] sejak 13 Oktober 2005. Seri[bukutergores] mulai saya tulis 3 Desember 2004 dan hingga hari ini baru mencapai delapan belas tulisan. Dalam menulis [bukutergores] saya memang 'wajib' mencuplik kalimat dalam suatu literatur. Semakin sering saya membaca, maka semakin banyak kalimat yang bisa saya cuplikkan dan saya tuliskan dalam [bukutergores], demikian juga sebaliknya.

Ya salah satu alasannya adalah memang saya makin jarang membeli buku karena harga buku yang terus - menerus naik. Kebijakan saya membeli buku sekarang adalah membeli bila ada kortingan. Entah di pasar loak dekat Sriwedari-Solo, pangkalan buku bekas di dekat stasiun kereta api Malang, lapak-lapak Kwitang-Jakarta. Atau titip rekan yang hadir pameran buku atau titip adik yang sering nyanggong di toko buku mahasiswa. Pokoknya cari yang murah. Berharap dapat korting harga minimal 20%.
Namun alasan 'membeli buku' ini ternyata tidak valid. dalam verifikasi diri saya, semalas-malasnya saya membeli buku, ternyata saya lebih malas membacanya. Terbukti masih banyak buku bertumpuk yang belum sempat terbaca. Bahkan masih ada yang bersegel dan berbungkus plastik, rapi jali.
Mudik lebaran kemarin saya memborong buku cukup banyak. Baik buku baru yang beli di toko buku bekas, atau nyomot koleksi almarhum ayah saya. Sampai detik ini, baru dua buku yang saya buka dari sekitar 10 buku yang terbawa ke rumah.
Ya. Intinya memang saya sedang malas untuk membaca. Demikian juga dengan beberapa koleksi lagu dan film saya. Beberapa CD mangkrak di meja tanpa tersentuh. Mereka ngantri untuk berdendang. Seperti halnya kaset-kaset lama yang kini sudah tidak tahu lagi entah kapan diputar untuk terahir kalinya, dan entah kapan hendak diputar ulang. Hanya debu dan sarang laba - laba yang menyuarakan kebisuan mereka.
Hal ini banyak terkait dengan waktu saya yang banyak tersita untuk kegiatan di luar rumah. Ini alasan saya semata. Dan kalaupun di rumah, saya pasti kalah berebut player dengan anak saya. Walhasil CD koleksi saya masih perlu ngantri lagi buat disetel. Setengah kasihan saya melihat mereka. Buku-buku, kaset, dan disk teronggok menanti giliran. Walaupun saya menyayangi koleksi saya tersebut, tetapi saya ternyata telah menelantarkannya.

Mungkin saya beranggapan saya tidak punya waktu untuk membaca. Sibuk bekerja-kah ?
Kesibukan saya bekerja menginspirasi saya untuk menulis seri lain, yakni 'gearbox'. 'Gearbox' yang berisi tentang hal - hal yang berbau pekerjaan saya di dunia pabrik mulai saya tulis pada 6 Juli 2005 setelah era 'kenisah' lewat. Tetapi ternyata 'gearbox' tidaklah se-rutin 'kenisah'. Buktinya adalah hingga sekarang 'gearbox' baru tertuang dalam 11 tulisan. Sungguh memalukan !
Artinya dunia kerja tidak cukup menginspirasi diri saya untuk menulis dengan rajin. Padahal semakin sibuk kita bekerja, artinya semakin banyak inspirasi atau hal - hal yang bisa dijadikan bahan tulisan. Tetapi ini malah kebalikannya.
Lho ?
Ya ! Artinya saya kali ini memang terjangkit penyakit malas menulis juga --disamping malas membaca. Ini salah satu poin penting dalam evaluasi akhir tahun bagi diri saya sendiri.
Setahun ini saya memang malas untuk membaca dan menulis. Dua hal inilah yang membuat 'gearbox' dan [bukutergores] akhirnya tidak memenuhi kuotanya. Dua hal tersebut memang suatu kesalahan yang harus saya akui. Kalaupun saya tidak mengakuinya, maka berarti saya telah membuat kesalahan berikutnya, yakni malu mengakui kesalahan diri - sendiri. Selamat tahun baru 2006.[] 19 Desember 2005

salam,haris fauzi

_______

...... semula saya ingin melanjutkan seri [gearbox] yang terlunta-lunta,
namun tulisan yang jadi kok malah mirip kolom 'kenisah' yang sudah saya tutup juli lalu.
yo wis lah,....daripada saya vakum terlalu lama, maka saya posting tulisan berjudul 'jaket merah' ini, sekaligus pertanda bahwa kenisah sesi ke-2 di mulai (....walau tanpa sengaja..)....


-------------

JAKET MERAH

....I may never find all the answersI may never understand whyI may never proveWhat I know to be trueBut I know that I still have to try.....

Pagi ini saya bersua dengan meja kerja. Rutin setiap pagi seperti itu. Memang kantor dimana saya kerja belum memasuki masa libur akhir tahun. Malah kali ini seakan-akan si meja kerja menyeringai sambil menawarkan setumpuk problem. Saya berusaha tidak menatap seringai si meja walau sebenarnya sadar saya memiliki cukup nyali untuk menghadapinya. Saya memilih untuk terlebih dahulu menyalakan komputer dan speakernya. Sederet syair mulai terdengar. Saya belum mengenakan baju seragam, saya masih mengenakan jaket berwarna merah.

***

Masa - masa kuliah dulu, saya sering didera permasalahan. Baik seputar studi atau organisasi. Bagaimana dengan masalah cinta ? kadangkala hal tersebut menghadang. Tetapi ini masalah sepele, karena semasa kuliah saya tidak pernah berpacaran. Saya hanya pernah naksir beberapa teman wanita tanpa kesampaian menyampaikan sepucuk puisi cinta kepadanya. "Saya bukanlah Gibran yang sering berpantun tentang kasih sayang...", pikir saya arogan.

Masalah studi laksana menjadi dentuman godam karena saya memang kurang bisa mewujudkan harapan orang tua. Istilahnya mungkin saya terlalu bodoh untuk mencapai nilai - nilai yang diharapkan orang tua. Dan ini terjadi dengan cukup sering, karena hampir setiap minggu terdapat kuis atau ujian. Bahkan di semester - semester awal jantung saya selalu berdegup kencang bila tiba hari pengumuman nilai ujian. Hal ini sering saya alami semenjak umur dua belas tahun. Sejak itu --kelas 1 SMP-- saya tidaklah pernah bisa mewujudkan impian Ibu menjadi juara kelas lagi. Pokoknya sejak saat itu masalah nilai studi menjadikan saya berolah-raga jantung.

Berbeda dengan masalah di organisasi. Kendala yang ada seringkali membuat kehilangan semangat. Disinilah saya belajar, bahwa sebuah problem itu akan menjadi lebih besar apabila kita tidak memiliki niat atau semangat untuk menuntaskannya. Gunung itu tidak akan tertaklukkan bila kita tidak memiliki semangat untuk memanjatnya.
Cara terbaik untuk menanggulangi problem adalah menjaga semangat agat tetap menyala laksana mata naga, membakar. Adalah omong kosong bila kita hendak menaklukkan masalah tetapi nyatanya tidak memiliki semangat.

Di dalam kamar berkarpet hijau, --kala itu, saya sering tertunduk di atas bangku. Tertunduk hingga rambut panjang menutupi muka, dan rambut tengkuk terjun ke lengan. Problem - problem di atas memang tidak pernah berhenti menawarkan dagangannya. Lampu baca ataupun cahaya dari jendela mungkin sia - sia hendak menjangkau mata saya. Di rak sebelah musik rock yang cukup keras terdengar dari mini compo yang nangkring berhimpitan dengan buku - buku diktat. Emosi saya memang seakan dengan mudah dimainkan dan dibuai oleh pergerakan melodi musik rock, .....setidaknya saya bisa menenangkan perasaan dengan cara itu. Berusaha untuk hanyut dalam alunan hiruk pikuk. Di saat seperti ini album 'Wild Frontier' dari Gary Moore menjadi favorit;--- hard-rock tulen.

Awalnya saya rasakan melodi gitar seakan menyuruh menenangkan diri, mencampakkan segala emosi. Sebagai mahasiswa teknik saya sadar benar bahwa emosi yang berkecamuk tidaklah memperbaiki keadaan. Emosi hanya melumpuhkan logika, padahal dengan logika saya berharap bisa menaklukkan tantangan. Saya memang hanya berpikir sesederhana itu.

Melodi memang membantu untuk memadamkan emosi, namun saya membutuhkan hentakan drum untuk memaksa agar bangkit terbakar semangat baru. Semangat yang lebih besar untuk menghantam persoalan yang menghadang. Sekali lagi musik rock berjasa kepada saya. Musik rock memang banyak memberi inspirasi, termasuk menyuntikkan heroin ke otak agar ter-akselerasi dalam hal mencari problem solving.
Kalau orang bilang ihwal 'kebutuhan terapi', mungkin yang saya jalani bisa jadi memang terapi.

Setelah terbuai dentuman musik rock, setelah emosi lenyap, dan setelah 'heroin' musik rock bekerja di otak,...... dalam hati saya akan berujar ,"......mari kita selesaikan...". Saya bangkit dari duduk, melangkah menuju pintu kamar sambil menyambar jaket merah. Jaket yang sering menemani dalam suka duka sebagai mahasiswa. Acapkali jaket ini memberi tambahan energi ketika dikenakan. Jaket itu tidak bermacam pola, hanya berwarna merah polos dengan badge bertuliskan "SOLID, student press movement-faculty of engineering".[] haris fauzi - 26desember 2005


MAS EDY

Dalam suatu rapat akhir tahun yang cukup menyita perhatian, seorang pimpinan kerja saya menyampaikan pesannya:"... dalam rapat kita harus jujur menyampaikan permasalahan dalam unit kerja kita, sehingga bisa dicarikan pemecahan masalahnya... hal ini akan memperlancar tujuan kita di masa mendatang...".Kurang lebih demikianlah bunyinya.

Saya jadi teringat --kira-kira-- pada tahun 1991, dimana saya mulai menapaki dunia organisasi kemahasiswaan. Saya berjumpa dengan beberapa orang kakak senior yang cukup mengesankan bagi saya. Mas Hakim yang memberi paradigma baru kepada wawasan saya, Mas Pungky --namanya sih seingat saya adalah Endang Purnomo-- yang begitu pandai memotivasi adik kelasnya, hingga saya sempat berkenalan juga dengan Mas Eric Salman (almarhum) yang membuat saya berdecak kagum sebab dari beliau jugalah muncul ide pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang cukup heboh itu karena melibatkan tokoh nasional seperti B.J. Habibie, Prof. Amien Rais, Dipo Alam, dan lainnya.

Senior - senior itu banyak membentuk pribadi diri saya terutama dalam hal organisasi.Nah, berkenaan dengan paragraf awal yang saya tuliskan di atas, saya jadi teringat benar dengan Mas Edy. Tepat namanya adalah Edy Nurhamid Amin. Senior tiga tahun di atas saya. Beliau adalah ketua Senat Mahasiswa Fakultas teknik dimana saya turut berbaur. Seperti tokoh pegiat kemahasiswaan yang lain, Mas Edy adalah sosok yang bersahaja. Seorang organisator ulung yang seingat saya juga senang menggeluti strategi Sun Tzu, tokoh yang populer dikalangan mahasiswa kala itu. Pandai pula mengarahkan bawahannya. Sehingga pantaslah dia memegang tampuk jabatan tersebut.

Selain itu, Mas Edy --sebenarnya-- adalah calon kuat lulusan cum-laude dari jurusan mesin, namun gelar insinyur cum-laude itu terpaksa Mas Edy lepaskan karena beliau harus menuntaskan dahulu kiprahnya sebagai ketua Senat Mahasiswa sehingga masa studi-nya jadi molor satu semester. Beliau berada di persimpangan antara lulus cum-laude di simpang lainnya adalah menuntaskan amanah jabatannya. Dia memilih Senat Mahasiswa, dan terbanglah gelar cum-laude tersebut.
" Dalam setahun, mungkin fakultas teknik meluluskan lima mahasiswa cum-laude, tetapi dalam setahun cuma ada satu ketua senat mahasiswa", demikian dalih Mas Edy yakin.Ya tentu saja Mas Edy cuma menjabat selama satu tahun saja.

Dalam beberapa forum pertemuan mahasiswa seringkali Mas Edy menyampaikan pesannya. Salah satu pesannya yang paling saya ingat adalah perihal kejujuran dalam berorganisasi." Janganlah berbohong walau kecil. Satu kebohongan kecil harus ditutupi dengan kebohongan yang lebih besar. Demikian seterusnya akhirnya kamu akan berbohong dengan sangat banyak dan besar...Semakin besaaaar kebohongan itu, semakin repot kita menutupinya....".
Terus terang... saya bersyukur pernah berkenalan dengan orang seperti Mas Edy.[]haris fauzi - 9 januari 2006


PUISI DI KALIURANG,
BELASAN TAHUN LALU....

Sekitar pukul 21.00. tepatnya saya tidak hafal betul. Malah mungkin pukul sebelas-an. Tergoda saya untuk keluar ruangan training. Masih nampak Sang Instruktur disitu sedang berkemas pula, namanya Mas Subarkah. Saya rasa semua tugas training hari ini telah selesai. Terdengar diluar genjrengan gitar teman - teman sesama peserta training sungguh menggoda. Gelap menyergap sekujur tubuh , dinginnya hawa malam pegunungan seakan memeluk leher. Bekal jaket pinjaman rupanya menjadi dewa penolong, rislitingnya musti mentok ke leher. Jaket milik saya sendiri malah dipinjam teman saya, dia kini terlihat tengah tertawa berderai bersama kawan lain. Mereka duduk ditepi jalan, membentuk lingkaran. Kelihatan Si Taufan sedang mengempit gitar dan duduk ditengah lingkaran.

Di tepi jalan ini kabut ternyata lebih pekat dari yang saya duga. Djoni --yang pinjam jaket merah saya-- masih saja ngakak - ngakak. Rupanya dia jadi maskot kali ini. Si Subhan Zen juga menjadi aktor lengkap dengan surban taplak meja. Sementara si Baihaqi belum nampak konyolnya. Sekitar dua puluhan orang tengah berkumpul disitu, duduk di aspal di salah satu pertigaan jalan raya Kaliurang - Yogyakarta. Sudah teramat dekat dengan air terjun Kaliurang yang legendaris itu. Laki - perempuan --tepatnya mahasiswa - mahasiswi--- tertawa bercanda sesekali diselingi kilatan lampu blitz.

Sayup nampak serombongan orang habis turun membuang waktu, rupanya hendak bergabung pula. Setelah dekat barulah nampak saya bahwa Baihaqi ada diantaranya. Saya rasa saya tidak kehilangan kesempatan berharga ini. Benarlah. Pertunjukan utama dimulai. Baihaqi mengeluarkan segenggam buku, membukanya dan berusaha membaca dengan temaram cahaya rembulan. Dia selalu begitu. Memulai pertunjukan spontanitasnya dengan puisi, seperti halnya aktivis pers mahasiswa yang lain. Kalau dia yang membaca, plesetan dan guyonan pasti terlontar. Inilah yang saya enggan melewatkannya.

Bukan hanya itu, timpalan dari Subhan, Djoni, Miming, dan seorang lagi yang selalu ber-ikat pinggang kain sarung --nama lengkapnya Muhamad Alfan Alfian-- menambah segar suasana. Rupanya dialek Jawa Timur mereka mengundang geli hati. Bagi kebanyakan orang --bahkan orang Yogya sekalipun-- dialek Jawa Timur yang khas menekankan huruf - huruf tertentu ternyata menyenangkan, --lucu. Saptopo putra Mataram yang pendiam itu terus saja berusaha menahan ledakan tawanya. Petikan gitar Taufan masih menyalak tak kenal lelah. Sesekali dia juga nyeletuk seperlunya.

Habis sudah ide si aktor, dia segera memberikan buku puisi tersebut ke peserta lain. Ganti giliran aktor baru membaca sekenanya. Kalo udah mentok, segera dia menyerahkan buku puisi tadi ke yang lain. Beginilah acara hiburan spontanitas para pegiat pers mahasiswa. Ciri yang paling khas adalah rutinitas pembacaan puisi. Bergantian, spontanitas. Terus terang saya belum pernah ikut membaca puisi seperti mereka, saya tidak cukup punya nyali untuk berbuat itu. Jadinya ya saya cuma nonton saja sambil ketawa - tawa.

Acara malam itu sebenarnya sungguh menarik,-- tapi apa daya, saya di dera batuk dan ngantuk. Saya segera pamitan untuk menuju pendiangan. Mereka sebagian mentertawakan saya,"...aktivis kok tidur...haaa..haa..haa......!!".
Namun ternyata berada di dalam kamar saya nggak bisa tidur. Batuk tanpa henti. Dan terutama dorongan hendak bergabung lagi amat kuat. Memang benar kata si Djoni,"...Ris,... jauh - jauh dari Malang kamu malah tidur melewatkan malam yang menyenangkan ini....". Akhirnya saya bergabung lagi untuk menikmati pembacaan puisi spontanitas ini. Asli sungguh menyenangkan. Setiap saya tertawa, batuk pasti ikut mengekor.

Mereka --para aktivis jurnalistik mahasiswa-- selalu bisa menikmati acaranya, yang penuh sajak - puisi - dan tawa. Kadangkala puisi cinta, namun tak jarang mereka melontarkan puisi kritik sosial. Lontaran pemberontakan. Kadangkala mereka tertawa di malam hari, setelah siangnya sempat berurusan dengan penegak hukum gara - gara ulahnya sendiri. Gara - gara idealismenya. Malam ini-pun saya rasa demikian. Saya duduk di aspal agak belakang. Tidak semua orang yang tertawa disini saya kenal. Maklumlah, ini acara mahasiswa tingkat nasional. Dihadiri mungkin lebih dari delapan puluh peserta. Setelah beberapa hari menggelar acara training dan konggres aktivis jurnalistik mahasiswa, saya setengah yakin diantara kita malam ini tentu terdapat intelijen. Rumornya sih begitu. Mungkin ada benarnya juga apa yang selalu dikatakan salah satu sobat saya ,"Ris,...diantara mahasiswa, dalam 48 jam pasti sudah ada intelijen...Tetapi idealisme tidak pernah tergadaikan...". Malam makin larut, saya tetap saja tidak bisa mengenali semua yang berada disini.[] haris fauzi - 12 januari 2006



...DAN JAMAN (MAKIN) SUSAH

Sebetulnya saya sudah mulai merasakan jaman susah dan makin susah ini sejak tahun 2003. Tahun itu saya merasa cekikan pertama terhadap perekonomian keluarga mulai menjerat dompet. Setelah berunding dengan Istri, seiring dengan kenaikan harga BBM-- maka saya memutuskan untuk mengurangi pos pengeluaran transportasi. Pengalihan konsumsi BBM dari pertamax ke premium ternyata tidak banyak menolong. Saya akhirnya mengambil jalan yang lebih konkrit untuk mengurangi pengeluaran. Lebih jelasnya adalah saya tidak lagi menggunakan mobil pribadi untuk berangkat ke kantor, kecuali kalau kepepet. Alternatifnya adalah bisa dengan menumpang --atau naik bis umum. Soalnya jarak ke kantor yang sekitar seratus kilo sekali jalan itu ternyata memang menyita banyak biaya bila ditempuh dengan mengendarai kendaraan pribadi.

Selain transportasi, pos - pos pengeluaran di rumah juga makin di reduksi oleh istri saya. Sedapat mungkin kami membeli barang consumable kelas murahan saja. Apalagi yang bersifat fashion jelas kena babat habis. Yang paling lucu adalah dihapuskannya pos pembelian 'kaos kaki' buat saya. Jadi sejak itu saya sudah tidak pernah membeli kaos kaki lagi, yang berakibat saya sedapat mungkin bersepatu tanpa kaos kaki. Bahkan seingat saya, tahun ini pulalah mulai diberlakukannya larangan pembelian baju baru lebaran. Baju lebaran yang terakhir saya beli adalah sepotong kemeja berwarna kuning kecoklatan seharga tiga-puluh ribuan, saya beli setahun sebelumnya.

Tahun 2004 keadaan semakin menjepit. Hal inilah yang salah satunya membuat saya mengurangi konsumsi penggunaan air PDAM, karena taripnya memang gila - gilaan naiknya. Untuk hal ini saya memang harus memperbaiki kualitas air sumur, dan ini tentunya butuh biaya pula. Tak apalah. Cost for Save. Dengan mengonsumsi air sumur, saya 'cuma' harus mengeluarkan biaya listrik untuk pompa air. Namun ini jauh lebih murah dari harga air PDAM.

Demi penghematan, mudik tahun 2004 tidak saya lakukan di saat lebaran, melainkan di akhir tahun. Tidak mudik di jaman lebaran memberi banyak keuntungan secara ekonomi, diantaranya adalah tidak perlu menyediakan budget untuk menginap di penginapan karena terjebak kemacetan. Dan juga tidak perlu membeli baju baru. Saya hanya perlu membelikan satu set baju tidur untuk anak sulung saya.Dan untungnya pula istri saya menyimpan baju Si Sulung jaman bayi. Baju - baju bayi tersebut disimpan berdasarkan umur. Dan ketika anak kedua saya lahir, maka dengan sedikit modal benang dan jarum untuk menjahit dan menisik bagian yang tercabik, maka bisa-lah perlengkapan bayi tersebut digunakan oleh adiknya yang baru lahir. Memang warnanya sedikit pudar, bahkan ada yang ternoda bubur atau kecap. Tapi bayi tidaklah terlalu perlu fashion. Cukup mengenakan baju bekas tak pa-pa. Istilahnya adalah "baju lungsuran". Celana lungsuran yang kolornya melar ternyata masih bisa dipakai lagi oleh adiknya dengan menambah ikatan karet gelang di sisi belakangnya, mirip ekor bebek. Lucu malahan jadinya.

Tahun 2004 ini pula saya mulai menyetop pembelian buku - buku yang biasanya reguler saya beli. Kebutuhan akan buku saya penuhi dengan membeli buku diloakan atau kortingan, jadi sedapat mungkin tidak membeli buku di toko buku. Kalau toh jalan - jalan ke Gramedia, mungkin saya lebih suka mencatat judul-judul buku yang saya minati dan lantas mencatat harganya. Suatu saat saya membeli bila ada kortingan atau mencarinya di loakan.
Seperti saya prediksi, keadaan memang makin menjerat di tahun 2005. Pos dapur mulai memberlakukan pengetatan. Daging mulai jarang dihidangkan oleh istri saya. Tak apalah, --toh banyak kasus kambing atau sapi anthrax di sekitar kota saya tinggal--. Yang penting madu, susu, dan tahu-tempe-telor tetap setia menjadi santapan. Madu yang biasa membeli di Cibubur atau toko seharga lima puluh ribu se-botol diganti dengan madu yang akan kami impor dari Malang seharga dua-puluh ribu sebotol. Saya telah menguji kualitasnya, tak beda jauh. Bahkan saya lebih sreg dengan produk Malang yang murah tersebut.

Memang perihal acara "mengonsumsi daging" ini sangat boros. Disamping harganya cukup mahal, cara memasaknya-pun boros bumbu dan minyak. Dan ketika peralatan dapurnya dicuci juga sangat boros sabun cuci, maklumlah banyak lemak yang merekat kuat disitu. Saya kira sungguh tepatlah untuk menjauhi makanan yang satu ini, soalnya saya sendiri juga tidak terlalu menyukai masakan daging.

Acara makan ke restoran di hari libur juga kami tiadakan. Apabila kami jalan - jalan di hari libur, maka kami membawa bekal makan siang, jadi nggak perlu jajan makan siang. Ini sungguh sangat signifikan dari sisi ekonomi.

Yang perlu saya catat di tahun 2005 adalah adanya bencana atap roboh. Atap kamar utama rumah kami roboh karena terserang rayap. Repotnya, kalau tidak di cor semen maka bakal dirayapi lagi. Jadi percuma saya bangun ulang bila tidak di cor sekalian.Saya cukup kelabakan dengan 'biaya tak terduga' ini, karena memang harga material bahan bangunan sangat mahal. Akhirnya dengan berdaya upaya saya bisa mereduksi biaya sekitar seperempatnya. Saya membeli semua kayu tidak di toko bangunan, melainkan di lapak kayu madura. Dengan berbekal bicara logat Jawa-Timur-an, saya dapat potongan harga cukup banyak. Setelah itu saya nego juga perihal kayu - kayu sisa bangunan untuk saya jual kembali ke mereka. Saya cukup puas dengan hasil ini.

Pada saat mudik di bulan Nopember 2005, dimana saya bersua dengan adik dan kakak saya, kami juga sempat membicarakan keterpurukan ekonomi tanpa kebangkitan ini. Setelah mengobrol dengan saudara - saudara, kami cukup sepakat bahwa tahun 2006 akan makin ambruk. Dan ini akan berakibat makin tingginya biaya hidup, termasuk biaya untuk mudik. Kebutuhan biaya untuk mudik yang bagi kami sangat menguras kantong. Karena mudik tahun 2005 merupakan perjalanan jauh kami yang pertama dengan mengkonsumsi "BBM harga Presiden Yudhoyono" yang bagi kami sangat mahal itu. Walhasil keluarlah kesepakatan bersama bahwa kami bersaudara yang biasanya mudik setiap tahun maka pada kesempatan berikutnya akan melakukan ritual mudik dua tahun sekali.Ya daripada duit habis untuk mudik dan membeli bensin, mending disiapkan untuk biaya sekolah anak - anak. Itu pemikiran kami semua, dan ibu saya merestui hal ini. Bahkan Ibu sempat mengingatkan pesan Ayah kami almarhum tentang "hutang". Ya, memang Bapak saya punya prinsip ekonomi "menjauhi hutang". Dengan tidak berhutang, kita lebih aman; "lebih baik menjahit baju bekas ketimbang memakai baju baru hasil hutang", begitu pesannya.

Dalam mengawali tahun 2006, saya memulai dengan pemikiran:"...apalagi yang harus saya lakukan untuk perekonomian keluarga saya ?" []haris fauzi-16 Januari 2006



GAY, PLAYBOY, APALAGI ?

Pada suatu saat lampau, saya pernah menjumpai sampul tabloid (?) yang bertajuk "Gay@ Nusantara". Semula saya membaca sekilas sebagai "Gaya Nusantara". Tapi lama - kelamaan kok jadinya kebaca: 'Gay'. Wah. Apakah ini tabloid-nya komunitas Gay di Nusantara ? Saya nggak ngerti benar. Tapi nyerempet - nyerempet sih emang. Bila memang itu majalah komunitas gay-lesbi, berarti Gay-lesbi yang selama ini ditabukan di masyarakat kita kali ini dapat pengakuan resmi dengan terbitnya tabloid tersebut.

Itu sih kabar beberapa tahun silam, sebelum --atau hampir bebarengan dengan bombardir buku - buku bertema gay dan lesbi yang mulai menjadi best seller di tengah tahun 2004-an. Kabarnya sih buku - buku novel bertema gay dan lesbi kala itu amat diminati oleh kalangan mahasiswi dan mahasiswa, layaknya buku "Jakarta Undercover". Dan seingat saya oplah penjualannya gede juga, mungkin hanya bisa disaingi oleh buku "Harry Potter" atau "The Da Vinci Code". Saya sih nggak tau persis juga. Soalnya baik buku gay-lesbi, Harry Potter, atau Da Vinci saya belum ada yang punya.

Awal tahun 2006 ini, --disaat kita cukup dipusingkan dengan kenaikan harga-harga yang seakan nggak masuk akal,-- saya sempat heran juga dengan rencana dirilisnya majalah Playboy edisi Indonesia. Apalagi ini ? Rencananya sih terbit bulan Maret 2006. Siapa bintang sampulnya ? Ah. Siapa-pun cover girl-nya , yang pasti jelas sensual. Manteb mbok ! Maklumlah, edisi perdana.

Mungkin bagi sebagian orang yang suka melepaskan kepenatan dengan 'mencuci mata', rencana terbitnya majalah Playboy edisi Indonesia ini jadi angin segar di tengah kesulitan ekonomi. Mungkin juga gak ada pengaruhnya bagi orang yang cuek. Tapi bagi sebagian yang lain, --ditengah segala bencana dan kesulitan yang bertubi - tubi menghantam bangsa ini,-- penerbitan majalah 'panas' tersebut membikin makin gerahnya suasana. Kalau nggak bisa dibilang menambah petaka baru.

Kontroversi kelahiran majalah seksi ini memang masih menghangat sekarang. Pro dan kontra masalah pajangan puser wanita. Kok gini ya bangsa ini ? Padahal masih banyak hal - hal positif yang bisa dan harus dikerjakan. Ini malah mau pajang foto puser. Rencana penerbitan majalah 'gebleg' ini menurut saya pribadi sih nggak ada manfaatnya sama sekali, malah berpotensial menimbulkan kerusuhan. Ini pendapat saya pribadi lho ya...
Kalau sekarang --sebelum majalah itu terbit-- mungkin pertikaiannya masih sebatas diskusi dan polemik antara pengagum puser versus kaum normatif. Baru sekedar menuai bicang wacana. Namun, --nanti bila terwujud terbit,-- bukan tidak mungkin polemik itu berkembang karena bisa jadi ada sekelompok masyarakat yang berang. Nah, kalau yang berang itu sudah mengangkat kepalan tangan, apa nggak lantas timbul bentrok fisik? Ribut lagi. Ribut lagi.
Apapun alasannya, bagi saya penerbitan majalah sensual ini malah bikin perkara. Ah, bangsa ini memang selalu nantangin petaka. Heran saya jadinya. [] haris fauzi - 17 Januari 2006



KATA HATI

Pada saat saya duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, saya sempat membeli buku kumpulan cerita pendek dari penulis Rusia : Anton Chekov. Belakangan ada yang menuliskan dengan Cekhov, atau Cekov sekalian. Entah mana yang benar.
Tulisan - tulisan Anton Chekov sungguh merasuk hati saya. Dalam arti, dia menulis dengan detail deskripsi setiap kejadian yang bisa menyentuh perasaan. Dan spesialisasinya adalah deskripsi ketertekanan. Mungkin karena beliau termasuk penderita depresi politik komunisme di USSR sana. Kabar - kabarnya sih kondisi kemerdekaan pribadi amat sengsara disana kala itu. Entahlah. Saya juga tidak tau persis.

Yang jelas saya terpengaruh begitu membaca cerpen - cerpennya. Bagi saya, cerpen tersebut merupakan kata hati dari perasaan si Chekov. Bisalah saya anggap itu sebagai diary --catatan harian pribadi. Chekov menawarkan kedukaan dan kepekatan yang dialaminya, yang dilihatnya, yang dirasakannya. Dia melakukannya dengan sempurna sekali.

Apa yang dilakukan Chekov sebenarnya bisa kita lakukan juga. Tentunya nggak usah sehebat Chekov, dan dalam format tulisan - tulisan kita sendiri.
Setiap dari kita --terutama perempuan--, sering menuliskan perasaannya dalam suatu diary, terutama perasaan kalut atau patah hati. Tapi tulisan itu jadi konsumsi diri sendiri. Bahkan beberapa bulan setelah di tulis, maka tulisan itu jadi malah memberi rasa malu bila di baca sendiri. Bayangkan ! Di baca sendiri aja memalukan. Gimana kalo dibaca orang lain ?

Suatu hari saya berpikir, adalah tidak mustahil bila coretan perasaan itu bisa dikonsumsi oleh orang lain. Pastilah dari perjalanan perasaan itu mengandung hikmah, dan hikmah adalah hal yang sebaiknya disampaikan kepada orang lain. Berarti tulisan tersebut harus bisa dan layak dibaca orang lain. Ya tentunya harus dikemas dalam bahasa yang 'tidak memalukan' untuk di baca orang lain.
Contohnya adalah apabila anda sedang patah hati dengan calon jodoh anda, anda bisa menuliskan dengan :"..... adalah tidak bijaksana meletakkan seluruh cita - cita hidup kita kepada seseorang, karena cita - cita itu adalah milik kita sendiri".
Kalimat tersebut bisa dikonsumsi oleh banyak orang, walau mungkin mengandung kesamaan arti dengan tulisan 'lagu cengeng' lainnya.
Kita semua bisa mencoba membuat kalimat seperti itu berdasar perasaan masing - masing. Apalagi di tengah kesulitan ekonomi yang tengah kita alami ini, tentu hati ini lebih sensitif dan produktif untuk melontarkan ungkapannya. Begitulah, masih banyak lagi kata hati yang bisa di sampaikan kepada orang lain untuk berbagi rasa. Disamping sebagai alternatif pelampiasan.

Pada walnya memang secara teknis menulis seperti itu akan canggung. Pekerjaan apapun akan seperti itu. Tapi, kalau itu dilakukan setiap hari tentunya akan semakin terasah kemampuannya. Dan akan makin wahid apabila ditambah rajin membaca. Hal ini jugalah yang kali ini juga sedang saya usahakan secara amatiran. Membaca - Merasakan - Menuliskan - Membagikan. Seperti halnya Muhammad, beliau juga memulai dengan wahyu pertama-Nya : 'IQRA', artinya "Bacalah...".[] haris fauzi - 19 Januari 2006



SURAT DARI PAKLIK

"....Ia makin sempoyongan ketika para pengendara lain pada datang dan ikut melayangkan tangan dan kakinya. Ia terkapar layu tak berharga seperti selembar kertas yang kehujanan...." (Surat dari Paklik)

Seorang Paklik saya yang baru pulang tugas dari Eropa terkejut dengan perubahan metropolis Jakarta ini. Paklik memaparkan hal pencoleng jalanan, kekerasan jalan raya, dan segala kebiadaban metropolitan yang menurut dia sangat terkait dengan fenomena kemiskinan struktural. "Jalanan Jakarta menjadi semakin beringas," gitu pendapatnya. Dia mengakhiri suratnya dengan istighfar.

Sebagai catatan, Paklik saya bukanlah tipe 'selebritis'. Dia masihlah seorang lulusan pondok Gontor yang tetap setia mudik ke tanah kelahirannya di kaki gunung Merapi - pinggir Yogyakarta. Saya yakin Paklik tidak akan lupa pengalaman dia manakala harus berhadapan maut ketika investigasi kasus waduk Kedungombo. Saya juga begitu yakin bahwa dia tidak bakalan lupa ketika menggunakan dokar untuk berangkat wisuda dari desanya menuju kampus.

Saya masih ingat kamar dia kala mahasiswa yang bertilam tanpa dipan. Sambil sarungan main gaple kami nyetel lagu - lagu 'Telephone Mama' dan 'I Like Chopin' karya Gazebo di sana. Hari pertama Paklik pulang ke Jakarta saya menelepon ke rumah kontrakannya, saya dengar beliau berkelakar di ujung telpon sana:"....Ris, jangan ke sini dulu. Sekarang saya kalo tidur masih di atas karpet...haa.. haa... haa..".

Saya tau kali ini Paklik 'hanya' sedikit mengalami shock karena beliau terbiasa menyetir di Bonn atau Paris yang cukup tertib lalu lintasnya. Saya bisa maklum, karena Paklik sudah dalam hitungan tahun meninggalkan metro Jakarta ini. Saya-pun ketika pulang setelah dua minggu di Singapura sempat merasa Bandara Cengkareng begitu semrawut. Bayangkan ! Dua minggu di kota yang penuh aturan, membuat Jakarta yang saya tinggali sebelumnya jadi seakan begitu semrawut.

Bagi sebagian orang yang senantiasa dan setiap hari mondar - mandir di Jakarta, perubahan ini tidaklah terlalu dirasakan, bagi mereka yang berpikiran pragmatis maka harga BBM yang menjulanglah yang begitu menusuk kantong. Masalah kriminalitas jalanan tidaklah terlalu berubah. Atau bahkan mungkin mereka malahan merasa tidak ada perubahan, merasa stagnan.

Bagi saya pribadi, Jakarta --dan Indonesia-- tidak stagnan semrawut, melainkan bergerak dan senantiasa bergerak. Namun bergerak tenggelam dan semakin tenggelam. Semrawut dan makin saja semrawut. Benarlah pendapat Paklik saya: "Jakarta makin beringas!". Segala aturan dan tata kota yang baru dan senantiasa dibuat, seakan tidak kuasa menahan kejamnya kekelaman peradaban. Jakarta adalah medan pertempuran yang sebenarnya.

Bagi seorang Paklik yang sudah sekian tahun tidak pernah nyetir di jalanan metropolitan, tentu merasa perubahan tersebut sangat drastis. Sebagai orang luar tentu Paklik lebih peka.
Kalau toh memang Paklik melimpahkan dosa utama terletak pada kemiskinan struktural, maka bagi sebagian besar kita tentu melimpahkan dosa kepada kenaikan harga dan keterpurukan ekonomi. Tapi, itu semua apakah ada bedanya ? Sama saja. Ketimpangan kaya-miskin inilah yang menimbulkan jurang. Dan jurang ini mencipkatan kekelaman dan kebuasan. Jakarta adalah ladang perburuan. Ada pemburu, ada pencoleng, dan ada korban. Hanya Winnetou yang mampu bertahan. Hanya harimau yang tidak bakal kelaparan. Selamat datang di Jalanan Metropolitan, Paklik ![] haris fauzi - 24 Januari 2006
______
Paklik (Bapak Cilik ; bahasa jawa) = Om = adik lelaki dari Ayah, atau adik lelaki dari Ibu.





?

Wanita itu masih memiliki keraguan yang cukup besar ketika Bapaknya menganjurkannya menikahi Pemuda yang telah sering mengunjunginya. Wanita itu belum sreg. Namun entah kenapa, alasan terakhir dari Bapaknya akhirnya dia terima jua. Ya. Pemuda yang telah sering menyambanginya itu memang anak tunggal seorang usahawan berhasil, dan kelak usaha orang tuanya itu bakal turun diwariskan ke Pemuda itu, artinya ke wanita itu jua, dan artinya pula Sang Bapak jelas kecipratan kenaikan status ekonominya. Ikutan kaya karena menantunya telah diwarisi usaha.

Dengan mengadakan pesta pernikahan, maka Wanita dan Lelaki itu telah sah menjadi suami-istri. Sang Suami --yang anak tunggal itu-- ingin sesegera mungkin memiliki anak, sementara Istri beralasan masih ingin menjaga tubuhnya. Dengan berjalannya waktu, Si Suami semakin tidak mengerti mengapa Istrinya tidak juga ingin menjadi Ibu dari anak mereka. Tidak ingin ? Tidak mau ? Tidak mampu ? Ah, Wanita itu ternyata selalu diam - diam menenggak pil kontrasepsi. Dia memang tidak ingin punya anak ! ....Dan suaminya tidaklah mengetahuinya -- sejauh ini.

Apa yang dinasehatkan oleh Bapak Wanita itu terjadilah. Besan-nya menyerahkan usahanya kepada anak Lelaki --Suami Anaknya. "Anak perempuanku telah kaya.... Dia telah memiliki separoh kekayaan Besanku", gumam lelaki itu. Tanpa menunggu lebih lama dia segera memanggil anak perempuannya --yang hingga kini belum juga hamil--. "....Segera kamu atur perceraianmu, ...dan kamu sekarang boleh menikahi lelaki yang kamu maui...", ujarnya disambut mata berbinar - binar anak perempuannya. Bapak - Anak itu kali ini sepakat bulat.

****

Kisah di atas mirip penggalan ceritera dalam sinetron (Shit-netron...) yang senantiasa mendongengi masyarakat kita pada jam tujuh malam. Namun, sebenarnya itu adalah kisah nyata. Saya sampai terbengong - bengong ketika diberi kabar bahwa kenalan saya mengalami hal tersebut. Kenyataan di atas apakah terinspirasi dari sinetron ? Ataukah sinetron yang ada malah terinspirasi dari kenyataan tersebut ?

Seorang kenalan milis pernah mengatakan kepada saya bahwa media informasi (televisi dll) dan budaya tulisan (buku) adalah cerminan peradaban dan budaya masyarakat. Artinya tayangan televisi dan buku-buku itu menggambarkan kondisi masyarakat yang ada. Kalau masyarakatnya bobrok, maka hal itu akan tercermin dalam karya buku-buku dan tayangan televisi. Jadi secara dominan dipaparkan bahwa budaya masyarakatlah yang membentuk redaksional buku dan siaran televisi. Adanya masyarakat gay akan membentuk redaksional khusus untuk kaum gay. Redaksional buku dan media informasi merupakan refleksi budaya masyarakat.
Apakah pendapat kawan milis saya ini salah ?
Dia tidak salah, tetapi kurang lengkap.

Karena seorang rekan lain lagi berpendapat lain. Dia memberi pendapat yang lebih komprehensif. Bagi dia, selain budaya masyarakat terefleksi dalam buku dan tayangan televisi, maka ada arah kebalikannya. Yakni redaksional buku dan tayangan televisi punya andil yang besar dalam membentuk budaya masyarakat. Andai siaran televisi dan buku menganjurkan kekerasan, maka terbentuklah budaya kekerasan. Hal yang lumrah karena bagaimanapun juga televisi dan buku merupakan sarana propaganda yang ampuh.
Saya pribadi lebih dominan dengan pendapat kedua. Budaya dan redaksional buku-media memang memiliki dua mata sisi : refleksi dan propaganda. Artinya, media informasi dan redaksional buku merupakan sarana propaganda disamping hasil refleksi (cerminan) dari suatu budaya. Itulah pendapat saya, entah bagaimana pendapat Anda...[] haris fauzi - 27 Januari 2006

No comments: