Wednesday, April 19, 2006

KENISAH Maret 2006

SEKARAT

Saya belum pernah merasakan. Hanya beberapa referensi pernah saya jumpai menggambarkan tentang prosesi tercabutnya -- atau pencabutan nyawa manusia. Jadi ini adalah prosesi antara hidup dan mati. Proses ini disebut sekarat atau sakaratul maut. Salah satu yang membuat saya terpekur adalah kisah sakaratul maut-nya nabi Muhammad, yang ditulis dengan sangat menyayat oleh Ali Syariati -- Cendekiawan Muslim Iran.
Kata banyak orang soleh seyogyanya kita harus sering mencermati proses sekarat ini, sebagai bekal penambah iman.

Di lain sisi kisah, beberapa film atau ceritera juga mengisahkan tentang masa sekarat ;--sakaratul maut. Ada yang digambarkan begitu sengsara, begitu pedih, hingga begitu gampang --enteng melegakan. Ada juga yang menggambarkannya dengan fashion dan gaya, bahkan ada film fiksi yang menceritakan proses sekarat yang penuh petualangan. Bisa dinikmati, bisa dihidupkan kembali, dan diulangi kembali. Mirip main game di komputer, kalo mati dan game over bakal bisa diulang lagi. Mereka berpetualang di garis antara hidup dan mati. Petualangan yang memacu adrenalin. Tapi ini cuma film. Cuma bohongan.

Penggambaran yang paling gamblang --tepatnya: paling gampang-- tentang prosesi sekarat baru saya temukan beberapa hari lalu. Walau saya masih belum yakin tingkat kebenarannya. Tapi penjelasan ini yang bisa saya tangkap dengan mudah. Cukup sederhana hingga saya punya cukup nyali untuk membayangkannya. Bahwa sekarat itu ada dua, gampang dan susah. Yang gampang; ya nyawa itu terbang dengan lancar laksana air yang tertuang dari corong teko. Mancur manteb.
Sementara yang seret katanya laksana menyisir bulu domba keriting yang basah. Bolak - balik, naik turun, tarik ulur, kadang ke-'jenggit' hingga mbrodol bulunya. Atau bahkan patah gigi sisirnya. Pokoknya susah deh. Nyisir rambut keriting saja sudah tidak gampang. Apalagi ini bulu domba yang gembel. Sudah gitu basah lagi ! Kebayang nggak kalo nyawa kita ditarik ulur seperti itu ? [] haris fauzi - 3 Maret 2006



EINSTEIN

......

Mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghemat kerja dan membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit kepada kita?
Jawaban yang sederhana adalah -; karena kita belum lagi belajar bagaimana menggunakannya secara wajar.

Dalam peperangan, ilmu menyebabkan kita saling meracun dan menjagal. Dalam perdamaian dia membikin hidup kita dikejar waktu dan penuh tak tentu. Ilmu yang seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan spiritual malah menjadikan manusia budak - budak mesin, dimana setelah hari-hari yang panjang dan monoton kebanyakan dari mereka pulang dengan rasa mual, dan harus gemetar untuk memperoleh ransum penghasilan......
...........
(cuplikan pidato Albert Einstein tahun 1938 di depan Mahasiswa California Institute of Technology. Dimuat dalam buku 'Ilmu dalam Perspektif' susunan Jujun S.Suriasumantri - Yayasan Obor 1999)

Dalam buku tersebut, pidato Einstein dimuat dalam halaman 248 dan 249. Tidak penuh dua halaman, total semuanya hanya satu seperempat halaman, karena hanya sekitar enam paragraf. Tetapi pidato yang disampaikan 68 tahun lalu, rasanya masih aktual dan bisa menuntut kita untuk merenung lebih dalam.

Manusia hidup memakai otaknya. Otak ini bergumul dengan ilmu pengetahuan. Tetapi, ternyata ilmu itu belum kita gunakan belum wajar. Artinya, otak kita-pun belum pula digunakan dengan wajar. Walhasil, hidup kita-pun --setidaknya menurut Einstein-- belum wajar pula.Ternyata kisah peradaban manusia unggul masih jauh di ufuk sana.[] haris fauzi - 9 Maret 2006



BERJAMAAH

Menarik sekali rasanya kala mengingat - ingat jaman saya diajari shalat berjamaah oleh mendiang Ayah saya. Mulai diajari iqamah (tanda dimulainya shalat berjamaah), hingga proses masbukh (menyusul kala tertinggal shalat berjamaah).

Salah satu 'ritual' yang sebaiknya dikerjakan oleh imam / pemimpin shalat berjamaah adalah menengok shaf / barisan dari makmum / pengikut-nya. Sang Imam harus bisa memastikan bahwa barisan telah rapi dan rapat sebaik mungkin sebelum shalat itu dikerjakan.
Pun pula, kalau sempat, sang Imam harus bisa menaksir makmum-nya.
Menaksir 'golongan' dari makmumnya itu, karena shalat itu banyak ragamnya. Kalau toh ada aliran yang tidak menghendaki ritual tertentu, hendaknya Sang Imam mampu mempertimbangkan pelaksanaannya. Contohnya adalah ritual doa qunut yang dilakukan oleh sebagian umat Islam, namun sebagian yang lain tidak menjalankannya. Dituntut kearifan Sang Imam dalam hal ini.

Mungkin juga diantara barisan itu ada yang sudah bersandar karena capek. Ini lebih ditekankan pada saat shalat yang marathon, seperti shalat tarawih misalnya.
Disini Sang Imam di tuntut untuk mengerti kondisi pengikutnya.
Komando setiap gerakan dalam shalat adalah ucapan takbir (AllahuAkbar). Setelah ucapan ini barulah dilakukan gerakan. Prinsipnya adalah gerakan tidaklah diperkenankan untuk mendahului takbir. Begitu kata Ayah saya.
Dalam berjamaah, ini menjadi semacam orkestra yang indah. Sang Imam bertakbir lantas bergerak. Sementara sang makmum belum boleh bertakbir sebelum takbir sang Imam usai. Otomatis, gerakan makmum tidak boleh --jangankan mendahului-- membarengi gerakan Imam. Sangat ritmis. Satu komando, tidak tergesa - gesa, tidak saling salip, satu koordinasi.

Apabila gerakan Imam ternyata salah, maka ada dua opsi yang harus dipilih makmum. Mengikuti saja, atau mengingatkan dengan tata cara tertentu pula. Keduanya opsi ini tidaklah mengapa, tidak mengandung dosa. Setelah dingatkan, Imam harus menghentikan lantas meralat gerakannya. Bentuk koreksi yang win-win solution.

Dalam sholat, ada doa - doa yang harus di baca perorangan. Apabila gerakan Imam dirasa terlalu cepat sehingga salah satu makmum tidak sempat menyelesaikan doanya, maka hal itu tidaklah jadi problem, karena pada dasarnya sebagian besar doa sudah dilakukan oleh Imam, makmum tinggal ikut saja. Ini representasi tanggung jawab pimpinan.

Masih banyak lagi yang bisa saya ambil dari pelajaran shalat yang diajarkan oleh Ayah saya. Sekarang baru terpikir untuk menuliskan hal di atas, mungkin lain kali saya tambahkan lagi.[] haris fauzi - 10 maret 2006


KEJADIAN ALAM

...Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya. (Al Quran : 30; 24)

Selang tahun lalu, ada fenomena alam yang berupa luapan air laut, nama komersilnya adalah bencana tsunami. Lokasinya di Aceh. Sebetulnya kita toh nggak cuma bisa tau hal itu. Banyak sudah gunung meletus, luapan sungai, dan jatuhnya meteor. Semuanya adalah fenomena alam, peristiwa alami biasa.

Beberapa orang mengaitkan dengan dosa - dosa dan hukuman Tuhan terhadap peristiwa itu. "Azab Tuhan", gitu katanya. Bahkan hingga berkesan terlalu gaib. Sebagian masyarakat --terutama masyarakat kota-- berusaha menyisihkan pikiran tentang azab dan segala kegaiban itu, dan menganggap kejadian - kejadian di atas adalah peristiwa alam biasa. Ya bila lempengan dasar bumi ini bergerak, tentu akan mengacaukan muatan air laut. Ini tentu berdampak timbulnya gelombang. Gelombang inilah yang menjadi air bah menyerbu ke daratan. "Sama sekali bukan peristiwa spiritual ! Ini peristiwa alam semata", begitu kalangan 'intelek' berkata.

Kejadian mewabahnya penyakit flu burung, penyakit sampar di Eropa di abad pertengahan, dan beragam penyakit misterius pada jaman kuno dulu, sebetulnya juga fenomena alam biasa. Juga kasus penyakit aneh yang menimpa penduduk sodom dan gomorah, suatu komunitas gay dan lesbi jaman Nabi Luth. Mirip pula penyakit AIDS yang spesial diperuntukkan bagi penggemar gay modern abad ini.
Demikian juga dengan proses terjadinya serangan jantung yang menjadi momok kematian masyarakat kota.

Lantas meledaknya gunung Pompeii yang menenggelamkan kota metropolitan, adanya banjir besar jaman Nabi Nuh, porak-porandanya tentara raja Abrahah oleh ribuan burung yang membawa batu api, dan juga terjadinya badai (apapun namanya), petir, halilintar, ..... judulnya sama saja: kejadian alam semata.

Perkara itu azab atau bukan, perkara itu menunjukkan eksistensi Tuhan atau hanya 'kejadian biasa', semua itu persepsi masing - masing individu. Tinggal bagaimana kita memikirkan, meresapi, dan menyikapinya.

Di balik semua diagram dan grafik analisa gejala alam, tentu ada beberapa faktor yang kadangkala luput untuk dianalisa. Bagi yang percaya bahwa alam ini ciptaan Tuhan, maka sungguh tidak 'etis' bila dalam memperbincangkan suatu fenomena alam ini tidak menyertakan peran Tuhan dalam wacananya. Karena sebetulnya banyak sekali tanda - tanda alam yang bisa kita amati dan kita pikirkan, untuk selanjutnya menjadikan pengakuan bahwa Tuhan itu memang ada. Bahwa Tuhan itu bertindak. Ya. Seringkali kita lupa, bahwa Tuhan-lah yang mengatur semua peristiwa yang terjadi di alam semesta ini. Kita terlalu sibuk dibalik jutaan diagram dan segala lembar - lembar analisa canggih yang penuh denyut sinyal digital. Sekali lagi, kadang kita lupa bahwa Tuhan itu bertindak. Bertindak untuk mengingatkan kita. [] haris fauzi - 14 maret 2006


KE MUSEUM

Hari Minggu kemarin saya dan keluarga sempat mengunjungi dua museum, museum pertama adalah Museum Purna Bhakti Pertiwi yang berada di luar kawasan Taman Mini Indonesia Indah. Persis sebelum pintu masuk Taman Mini.

Pukul sepuluh pagi kurang sedikit, saya sudah menggenggam tiket seharga lima ribu-an dan mobil saya melaju memasuki kawasan museum berbentuk tumpeng tersebut. Mirip dengan 'Monumen Jogja Kembali' yang berada di ring-road Yogyakarta. Kalau dari pesawat, kompleks bangunan ini benar - benar seperti tumpeng komplit yang biasa disajikan masyarakat ningrat jawa untuk syukuran. Sungguh suatu kawasan yang berarsitektur 'penuh makna', tentunya bagi yang menggemari falsafah 'jawa'.

Ini untuk kedua kalinya saya memasuki museum ini. Museum terebut digunakan untuk menyimpan koleksi cinderamata Pak Soeharto -Presiden RI ke II-- dari beberapa koleganya. Tentunya cinderamata bertaraf internasional ini sungguh memikat hati.
Sasaran saya yang utama adalah adanya ukiran kayu akar karet raksasa yang ada patung sembilan dewa. Sungguh memesona. Ukirannya sungguh detil di tiap percabangan.

Ada beberapa perubahan yang saya amati, terutama kondisi museum yang seingat saya seharusnya terdiri dari tujuh lantai, namun kali ini hanya tiga lantai yang bisa dikunjungi. Beberapa atap bocor ditandai dengan adanya ember - ember penadah air tampak mengganggu pandangan.

Di hari minggu, museum tetap saja sepi. Maklum, orang sekarang lebih suka membuang waktu mereka di mall, plaza, dan pusat perbelanjaan. Saya jadi leluasa menikmati dan memotret koleksi cinderamata bertaraf internasional ini. Padahal tiketnya cukup murah, mungkin sama dengan harga parkir satu mobil di mall, --namun tetap saja miskin pengunjung. Ya saya jadi maklum, tentunya biaya operasional dan perawatannya tidak akan tersedia, mangkanya banyak atap bocor disini.

Yang surprise adalah ketika jam sebelas datang rombongan anak - anak sekolah. Tiga bis penuh yang langsung berlarian mengacaukan suasana. Museum yang semula hikmat kali ini jadi hiruk - pikuk layaknya taman bermain. Mereka naik turun tangga, memanjat kursi koleksi, menjitak patung, atau bahkan memukuli dengan liar koleksi gamelan yang dikeramatkan. Namun mereka tidak sampai satu jam berkunjung disini, langsung kabur lagi entah kemana.

Pukul setengah satu, sambil menanti anak - anak minum susu, saya sempat naik ke lantai dua sekali lagi, kali ini dari ruang 'perjuangan' yang menjadi satu dengan main hall. Dan disana saya menemukan foto kuno bergambar sembilan orang tentara yang dibuat tahun 1949 bertuliskan berikut :" Komando Tentara & Teritorial Djawa Tengah Devisi IV Diponegoro Semarang Tahoen 1949 Tjandi Baroe.
Soeprapto - Soediarto - Soeadi - Soeharto - Gatot Soebroto - M.Sarbini - Moch.Bachrum - Soepardi - Achmad Yani".
Sia - sia saya mengenali mereka, saya hanya hafal wajah Pak Harto muda. Saya sempat curious karena saya sebenarnya punya saudara bernama Moch. Bachrum juga. Mungkin harus klarifikasi ke sesepuh keluarga tentang ini.[] haris fauzi - 20 Maret 2006



KE MUSEUM (II)

Sempat pula saya berkunjung ke museum 'Bayt Al-Quran' yang berlokasi di dalam kompleks Taman Mini. Kita harus membeli tiket masuk Taman Mini seharga sembilan ribu per-kepala. Padahal tiket masuk museum ini hanya dua ribu rupiah. Ya nggak pa-pa lah, udah tanggung ini.

Untuk kedua kalinya pula saya menginjakkan kaki di museum ini. Dulu saya pernah ke sini, tapi masih dalam taraf pembangunan sekitar tahun 1998. Kali ini kondisinya malahan lebih parah dari museum Purna Bhakti Pertiwi. Museum Bayt Al-Quran yang bertujuan menyimpan koleksi beragam kaligrafi, mushaf-mushaf yang ada di Indonesia, ukiran kayu bernafaskan Qurani, sejarah perkembangan Islam Nusantara, dan dokumentasinya ini ternyata sangat memprihatinkan. Beberapa lampu sorot mati, sehingga beberapa galeri tidak sedap dinikmatinya. Juga atap bocor di sana sini. Bahkan ada koleksi foto mesjid kuno yang terkena air. Beberapa identitas pamer juga sudah lenyap.

Saya jadi bersyukur menyegerakan untuk mendatangi museum ini. Soalnya saya sempat terbengong - bengong kecewa berat ketika hendak mendatangi untuk ketiga kalinya museum 'Ripley's - Believe or Not' di kawasan Pondok Indah, ternyata museum itu sudah raib berganti wahana lainnya

Target saya memasuki museum ini adalah menengok foto - foto mesjid peninggalan Walisongo dan mushaf Wonosobo, mushaf Al Quran terbesar se-Indonesia, segede meja pingpong. Walah, saya sampai kesulitan mengambil fotonya. Belum lagi pengunjung jail yang membuka - buka dengan iseng Al Quran raksasa tersebut. Kuatir malahan robek karena beban berat kertas istimewa itu. Nggak tau kenapa Al Quran raksasa ini dipamerkan dalam keadaan terbuka pas dihalaman 555.

Bagi istri saya yang alumni Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, adalah hal yang membanggakan ketika tafsir Al Quran versi Universitas Islam Indonesia ikut dipamerkan disini.
Bagi anak saya yang lagi demen - demennya menghafal surat Al-Fiil, dia begitu gembira ketika melihat ilustrasi surat Al Fiil yang berupa gambar pasukan gajah dihajar bom batu api yang dijatuhkan oleh sekelompok burung dari langit.

Di salah satu koridor ada koleksi bedug raksasa. Guedhe. Saya jadi ingat beberapa tahun lalu saya sempat berfoto di bedug mesjid Ciromed yang berada di jalur cadas pangeran Cirebon - Bandung.

Sekali lagi, museum ini berkonsep galeri -- pameran. Jadi tata ruang disusun sedemikian rupa sehingga kita bisa urut menikmati dari dinding satu ke dinding berikutnya sampai habis. Hampir dua jam saya berada di museum ini. Yang saya jadi prihatin, lha wong foto - foto mesjid kuno disini aja setengah terbengkalai. Saya jadi khawatir kondisi mesjid kuno yang sebenarnya. Semoga perawatan mesjidnya lebih baik ketimbang koleksi fotonya.

Museum Bayt Al Quran juga dilengkapi dengan toko buku yang bagi saya kurang memadai, karena di situ tidak menjual buku katalog museum. Berbeda dengan museum Purna Bhakti Pertiwi yang menjual beragam buku berkaitan dengan isi barang pamer museumnya.

O ya, salah satu catatan saya untuk museum ini adalah adanya seorang pengunjung anak - anak yang membawa pistol air. Dia kerap menembakkan pistolnya ke barang pamer hingga basah. Ini sungguh tindakan yang tidak lucu sama sekali. [] haris fauzi - 21 Maret 2006



... rasanya sudah cukup lama saya tidak menulis ihwal musik.
dunia musik bagi saya adalah dunia pasif,
saya hanya bisa menikmatinya tanpa bisa melakukannya
namun saya cukup bersyukur masih memiliki jiwa untuk menikmati musik...


----------------------------

KISAH KEBERUNTUNGAN

Nama kelompok musik ini adalah ELP, kepanjangan dari Keith Emerson, Greg Lake, dan Carl Palmer. Salah satu evergreen-nya adalah lagu 'Cest La Vie'. Saya mengenalnya lebih dalam pada tahun 1986 ketika terjadi perubahan struktur musisi dimana Palmer digantikan Cozy Powell, namanya tetap inisial ELP. Saya membeli kaset album yang berjudul 'Emerson, Lake, Powell' seharga duaribu dua ratus lima puluh rupiah. Langsung kesengsem, namun saya tidak segera mengoleksi album - album lain sebelumnya hingga akhirnya harga kaset melonjak dan tak terjangkau menjadi lima ribu rupiah di tahun 88-an.

Ditahun - tahun tersebut, grup ini terancam bubar, hingga Emerson dan Palmer reuni untuk membuat album '...to the power of three...' bersekutu dengan musisi lain bernama Robert Berry. Walhasil namanya bukan ELP lagi, tapi diubah jadi ' the 3'. Mereka rilis album tersebut dalam jumlah sedikit, dan tentunya dengan banderol baru : lima ribu rupiah untuk kaset. Disamping harga tidak terjangkau oleh saya, juga susah di cari.

Sebetulnya bisa jadi ELP ini grup yang cukup dahsyat, karena rumornya pada tahun 70-an ada seorang promotor musik wahid yang hendak mengubah namanya dari ELP menjadi HELP. Tak lain karena promotor tersebut hendak menggabungkan satu orang jawara gitar kala itu. Gitaris yang urung bergabung itu bernama Jimi Hendrix. Entah gimana jadinya bila HELP bener - bener terwujud.

Keberuntungan saya berawal di tahun 90-an ketika saya berjalan - jalan di deretan tukang loak, disitu saya bisa membeli kaset the very best ELP keluaran Team Records seharga kira - kira dua atau tiga ribu rupiah. Keadaannya masih lumayan mulus.

Kalau tidak salah, semenjak keluarnya album 'Emerson,Lake, Powell', grup ini tidak lagi menelurkan album studio, hingga akhirnya diantara tahun 1990-1995 di koran Republika saya membaca rencana keluarnya album baru yang berjudul 'Blackmoon'.
Katanya album heboh karena Carl Palmer bakal balik kucing sebab Powell cabut keluar.
Saya kurang berminat mengoleksinya karena tentu grup langka ini juga berharga mahal produknya, maklum sudah jaman royalti. Hingga akhirnya dengan bantuan dewi fortuna saya bisa mendapatkan CD aslinya di lapak loak (lagi...) dengan harga dua belas ribu rupiah kalo nggak salah. Ini keberuntungan kedua saya dalam mengoleksi ELP.

Keberuntungan ketiga ketika seorang teman baik memiliki koleksi lagu - lagu ELP dalam format mp3. Gratis saya mendapatkan gandaan disc-nya. Cukup komplit untuk meremajakan kaset yang saya miliki.
Babak peremajaan kaset ke digital ini dilengkapi dengan kiriman tak terduga juga. Seorang teman email dan sms berbaik hati --(saya malah belum pernah berjumpa) yang dengan tanpa 'beban' mengirimkan CD album 'Emerson, Lake, Powell' dan ' the 3' dengan cuma - cuma. Rasanya sudah cukup beruntung sekali saya sekarang. Memang di jaman susah begini, keberuntungan merupakan obat yang ampuh tiada tara.[] haris fauzi - 22 Maret 2006


JANJI EKSENTRIK SEORANG KARIB


Lelaki kurus itu namanya Ainul Ghurri. Bapak saya sempat bingung mengartikan nama teman saya yang satu ini. Ainul artinya 'mata'. Ghurri ? Kalo nggak salah dalam bahasa Arab ghurrur artinya bohong. Saya mengenal Ainul tahun 1990 karena kami berdua masuk dalam jurusan yang sama saat kuliah. OPSPEK bersama dan satu kelas di akademis.

Akhir tahun 1990 --semester pertama kuliah-- hingga tahun 1991-an saya ikut ke Senat Mahasiswa Fakultas Teknik jadi kacung-- istilah untuk para yunior. Sementara Gaguk (panggilan buat Ainul --yang jarang sekali saya pakai) kala itu lebih sering ke mesjid dan mengikuti diklat dasar jurnalistik.

Sampai akhirnya tahun 1992 (?) saya dihadapkan dua pilihan pada saat penyusunan kepengurusan Senat Mahasiswa Fakultas : antara Bidang Penalaran versus Bidang Penerbitan. Kedua Ketua Bidang meminang saya. Saya memilih bidang Penerbitan, yang mana akhirnya saya bersua dengan Ainul dalam kancah aktivitas kemahasiswaan untuk pertama kalinya. Kami berdua duduk sebagai redaktur Majalah Mahasiswa Fakultas Teknik : SOLID.

Tahun 1993 terjadi perubahan struktur organisasi kemahasiswaan, kali ini giliran saya --anak kolong lulusan training manajemen mahasiswa-- untuk duduk menggantikan senior menjadi Ketua Bidang Penerbitan, sekaligus menjadi Pimpinan Umum Majalah SOLID. Sementara Ainul --anak Blitar penggemar Gus Dur lulusan diklat jurnalistik-- duduk sebagai Pemimpin Redaksi. Kami bekerja beriringan selama setahun menerbitkan tiga majalah, beberapa majalah dinding, dan merintis lahirnya Tabloid.

Tahun 1994 saya mengambil spesifikasi akademis Mesin Produksi, sementara Ainul menentukan kuliah di Mesin Konversi Energi. Kami jarang lagi terlihat bersama - sama sampai tahun 1995 saya lulus duluan dan langsung mencari nafkah di Jakarta,.... sekitar tiga bulan kemudian saya dengar Ainul menyusul lulus.

Di stasiun Kereta Api Bogor, di tengah berlompatan menghindari beceknya jalanan, saya dikejutkan sapaan khas Jawa Timuran "..he.. Ris..!"... saya tengok ternyata Ainul yang menyapa saya melompat dari mikrolet. Tak disangka kami bertemu di situ. Ternyata dia kerja di Pulogadung Jakarta, dan punya kakak di Bogor. Sementara saya kerja di Sunter dan punya Paklik di Bojonggede. Sejak itu kami sering bersua, dan akhirnya melibatkan beberapa teman yang lain untuk sekedar kongkow - kongkow ngobrol ngalor ngidul, bisa jadi di deretan buku bekas Kwitang, ke Yayasan Muthahhari Bandung, ke kawasan kuno & kumuh di bandar Batavia, atau kemanapun...

Sekitar tahun 1997 - 1998 Ainul memutuskan untuk kuliah di Universitas Indonesia, sementara saya lebih tertarik mempersiapkan pernikahan dan terus bekerja di Sunter. Tahun 1999 saya menikah dan pindah rumah ke Bogor. Sementara Ainul yang telah lulus S2 merintis karir di dunia pendidikan di pulau Bali. Pernikahan saya di Solo dihadiri olehnya yang berangkat dari Denpasar. Semenjak itu kami cuma berkomunikasi lewat telpon, sms, atau e-mail. Setahun sekali kami reuni di Malang--saat lebaran. Dia masih seperti dulu, makin kritis pikirannya -- hingga badannya tidak kunjung gemuk.

Tahun kemaren, karib saya penggemar tulisan Bertrand Russell ini menikah di Denpasar. Saya di undang, namun tidak kuasa hadir. Pada saat lebaran saya sekeluarga --dan kakak saya sekeluarga juga-- menyempatkan berkunjung gantian ke kampung halamannya di Blitar. Ah. Ternyata dia mudik tidak membawa istrinya--katanya masih mabok karena hamil muda..... Masih seperti dulu, kurus badannya, kritis omongannya, cuma sekarang dia berkaca mata dan berhadapan dengan notebook. Saya jadi ingat janji eksentrik Ainul pas masih mahasiswa ; "....selama kuliah S1 dan S2, saya harus bisa buktikan bahwa komputer tidak perlu beli, adanya rental komputer sudah cukup membuat kita lulus kuliah...". [] haris fauzi - 23 Maret 2006


BIOSKOP & GENDER

Terakhir nonton film di gedung bioskop sekitar tahun 1999. Kalo nggak salah film-nya Mr. Bean, di Solo. Soalnya setelah nikah saya tidak pernah mengunjungi gedung bioskop lagi. Yang pertama karena harga tiket ternyata tidak masuk kuota dompet, yang kedua karena anak saya tidak akan ikut serta, sementara yang ketiga karena selera saya kurang cocok dengan film - film sekarang. Walau tidak semuanya.
Salah satu film yang nancep di hati saya adalah 'The Untouchables' yang dibintangi Kevin Costner dan Robert de Niro. Ceritanya tentang perseteruan antara seorang Akuntan bernama Elliot Ness melawan raja mafia dan gangster Al-Capone. Muanteb.

Sekali lagi ini masalah selera. Contohnya gini, saya kurang berminat dengan film action - habis - habisan berlaga seperti 'Rambo' (Sylvester Stallone) dan 'Commando' (Arnold Schwarzenegger). Justru malah menyukai Arnold main sebagai polisi dan guru TK di 'Kindergarten Cop'.
Demikian juga saya kurang berminat dengan film aksi gebug - gebugan yang dibintangi wanita seperti 'Tombrider', 'Electra', atau 'Ultraviolet'. Bila saya amati, rasanya film aksi laga dengan jagoan perempuan ini makin subur saja. Saya nggak tau ini ada kecenderungan apa. Saya cuma bisa menduga bahwa ini adalah dampak dari kampanye universalisasi dan kesetaraan gender. Jadi di jaman sekarang ini musti ada jago gebug perempuan, kalo perlu ada Rambo-wati.

Ya mungkin di belahan dunia 'sana' tren 'jagoan berantem perempuan' ini memang sudah membudaya, dan bisa jadi saya yang tidak tanggap terhadap kesetaraan gender ini. Memang jagoan perempuan bisa lebih 'exciting' karena bisa diekspos dengan lebih vulgar ketimbang James Bond sekalipun. Rambo-wati dengan kaos singlet tentu lebih eksotis ketimbang Rambo beneran. Ini sih bukan masalah berantem dan menggebug. Soalnya kalo masalah berantem kan tinggal sutradaranya mengatur, siapa yang harus menang dan siapa yang musti bonyok - bonyok.

Saya sempat kaget ketika saya pulang kerja pas itu anak sulung saya lagi nonton kartun yang judulnya 'Perusha', ditayangkan oleh tv saluran khusus anak - anak 'Spacetoon'.Yang bikin kaget saya adalah di kartun itu jagoan anak cewek lagi gulat wrestling. Lha kartun perempuan model apa pula ini ? Terus terang saya nggak setuju kalo anak perempuan saya besok bergulat wrestling. Akhirnya saya matikan saja televisinya. Saya sama sekali nggak selera dengan acara itu.

Menulis tentang selera film gebug - gebugan memang tak kunjung habis. 'Untouchables'-pun ada gebung - gebugannya. Ada bersimbah darah di hajar puluhan peluru, ada pula gambar taplak meja makan bersimbah darah karena kepala dipenthung tongkat bisbol. Bagi saya, bukan gebugan yang jadi tema utama film tersebut.
Namun apapun pembelaan saya, itu memang selera saya --yang jelas - jelas subyektif dan bisa jadi berbeda tiap orang-- . Jadi semua terserah kepada masing - masing, kalo saya sih sampai sekarang (sekali lagi) masih kurang suka dengan film gebug - gebugan semata, apalagi kalo yang musti berantem itu perempuan.[] haris fauzi - 29 Maret 2006

No comments: