INREYEN
Gimana nulis benernya saya nggak pernah tau. Mungkin istilah ini dari bahasa Belanda, suatu istilah untuk masa percobaan, biasanya untuk mobil baru. Dan saya punya mobil tua yang habis oversize dan di-korter mesinnya. Hampir seluruh jerohan mesinnya diganti. Selesai oversize, maka mesin itu harus dijalankan inreyen sepanjang seribu kilometer. Mirip mobil baru. Kecepatannya maksimum 75 km/jam.
Semula saya memandang enteng tugas ini. Tapi kenyataannya sungguh menyesakkan. Seribu kilo itu lama sekali menempuhnya. Saya hampir nggak sabaran untuk menyelesaikan 1000 kilometer ini. Sesak dada saya di salip mobil lain terus - menerus, pengen saya injak pedal gas ini biar langsung 3000 rpm dan lari 100 km/jam. Tapi bila ini saya lakukan, maka proses oversize yang memakan dana lima juta rupiah itu akan sia - sia. Mesin yang masih inreyen itu akan rusak kembali. Akhirnya apa lacur, saya harus berusaha menahan diri.
Mungkin kita sudah terlalu terbiasa sesuatu;-- layanan dan konteks materi-- yang cepat, instan, dan 'grusa - grusu'. Contoh gampang ya itu tadi, saya terlalu grusa grusu pengen cepet menyelesaikan masa inreyen. Dan di banyak hal juga terjadi seperti itu. Contoh lain adalah oleh soal keinginan punya CD atau buku. Maka karena harganya mahal, bisa jadi saya akan mengkopi-nya. Ini cuma sekedar contoh buruk yang sedang saya hindari, jangan ditiru.
Contoh lagi urusan pembuatan KTP, SIM, dan sebagainya. Lha wong belum lulus ujian praktek nyetir kok sudah pengen pegang SIM. Ya lantas jadi berandalan di jalanan.
Lha wong ngurus KTP di Kelurahan yang cuma ada mesin ketik kok minta semalam jadi.
Yang samar tetapi nyata adalah di masyarakat kita yang serba sulit ini ternyata ada paragidma pengen cepet kaya. Bayangan dari udik bila merantau ke Jakarta, maka dalam hitungan hari bakal menjadi orang berada. Kalau anaknya sudah lulus kuliah, atau kalau anaknya sudah lulus tes karyawan atau ujian masuk pegawai negeri, maka sudah jelas menjadi manusia mapan.
Seakan lupa berapa sih gaji pertama ? Apakah bayangan 'hidup mapan' yang bisa diwujudkan dengan gaji pertama ? Jangan - jangan kita memang selalu over estimate terhadap hal ini. Seakan gaji pertama sudah menjawab semua apa yang kita inginkan. Sudah bisa dipake untuk membelanjakan mobil, rumah, pesawat terbang, dan kapal pesiar. Gila atau keblinger. Masih ada proses yang panjang untuk bisa menduduki jabatan yang tinggi, masih butuh waktu yang lama untuk bisa meraih standar gaji yang tinggi, yang cukup sebagai pembeli mobil dan rumah dan pesawat terbang dan kapal pesiar. Nggak kontan.
Dan untuk jawaban ini, karena 'keinginan sudah demikian menggebu', maka jadilah sikap grusa - grusu tadi. Jalan instan diambil untuk meraih pengharapannya.
Contoh lain yang cukup mencolok adalah dalam urusan sepak bola. Kalo sudah mengirim duapuluh orang anak muda ke Italia atau ke Belanda, maka kita dalam setengah tahun maka terbayang sudah memiliki para jagoan sepak bola yang siap untuk mendapat kalungan medali emas. Seakan kita lupa, bahwa dua puluh orang anak muda itu tidak akan menjadi apa - apa bila kita tidak mendukung dengan pembinaan dan sistem kompetisi yang baik. Pengiriman dua puluh bocah itu adalah kopi instan, tinggal seduh bisa diminum. Kita lupa akan adanya proses ditengah itu. Ini adalah masalah proses normal, bukan kasus quantum leap atau loncatan ke masa depan.
Ada beberapa alasan ditempuhnya jalan instan, salah satunya adalah karena adanya kendala di tengah perjalanan. Hal ini bisa terjadi karena kita sudah terlalu terbiasa untuk mengestimasikan segalanya dengan mulus. Lha itu kan andai semua hitungan lancar. Mulus seperti calo pegawai menjanjikan track karir kepada para audiens-nya. Masalah yang utama adalah adanya faktor kegagalan yang kadangkala ternyata cukup besar. Dan, beberapa kali kegagalan bisa membuat orang kita terkejut dan tersadar bahwa apa yang diinginkan ternyata masih jauh. Oh, ternyata gaji PNS itu segitu toh ? Oh, ternyata lulus insinyur itu ternyata gak gampang cari kerja.... Oh, ternyata sepak bola di Italia itu nggak gampang tho...? Menyadari hal ini, kita sering jadi kehilangan kesabaran.
Mungkin saya salah bila menilai bahwa bangsa ini adalah bangsa yang tidak sabaran. Salah besar ! Bangsa ini sudah terbukti menjadi bangsa penyabar, yang bisa dijajah hingga 300 tahun. Nggak banyak bangsa yang bisa sesabar kita dalam hal ini.
Tetapi, mungkin bisa jadi kita ini merupakan bangsa yang sering grusa - grusu, terburu - buru, dan selalu pengen instan. Lha kalo sudah terburu - buru pengen kaya karena sudah lulus tes kepegawaian, maka dua tiga kali sandungan sudah cukup membulatkan tekad untuk mencari jalan lain agar cita - cita menjadi orang kaya bisa mewujud. The Show Must Go On, Pakde !
Yang kuatir adalah bila secara langsung menyangkut kemaslahatan orang banyak. Contohnya adalah pemilihan Kepala Daerah. Semoga hal ini tidak terjadi. Soalnya untuk bertarung di ajang pemilihan seperti ini pastilah tidak gampang. Banyak usaha yang diperlukan. Tidak sedikit orang yang kuatir kalau - kalau ada cara instan dalam ihwal ini. Pas jaman pemilihan kepala desa sejak dulu sudah terdengar kisah yang miring tentang deviden pra dan paska pemilihan. Kayak bursa modal saja. Itu baru tingkat desa. Lha ini tingkat propinsi, lebih hot tentunya.
Dalam kasus ini masih ada satu harapan --walau susah sekali-- yakni semoga masyarakat bisa memilih dengan tanpa grusa - grusu. Walau mungkin tiap pagi menyantap mie instan, semoga pilihannya tidak instan. Dan yang lebih penting adalah bangsa ini harus lebih belajar untuk tidak grusa - grusu, belajar untuk menempuh proses normal, setidaknya belajar untuk inreyen. Tapi ya jangan kesuwen (terlalu lama).....[] haris fauzi - 15 Desember 2006
salam,
haris fauzi
haris fauzi
Everyone is raving about the all-new Yahoo! Mail beta.
No comments:
Post a Comment