Jadi, rupanya di muka bumi ini hampir semuanya berpikiran seakan - akan pada satu fenomena terdapat hanya satu fakta yang menyertainya. Kali ini, terus - terang saya agak kesulitan untuk menuangkan apa yang ada dalam pikiran saya sekarang ini. Jadi mohon maaf, lah.
Gampangnya begini; bila ada satu kejadian, taruhlah Ibu pulang dari pasar. Maka dalam pikiran kita kebanyakan menyatakan bahwa Ibu pulang dari pasar membawa sayur-mayur. Hal ini benar. Tetapi sebenarnya fakta yang terkait kan tidak hanya itu. Memang apabila diurutkan, maka yang dominan 'diusahakan' hanya satu fakta. Namanya juga dominan. Seperti halnya bila Si Badu tidak naik kelas, maka fakta yang menyertainya adalah Si Badu tidak bisa mengerjakan soal ujian. Itu hasilnya bila diurutkan nominasinya secara subyektif, tetapi bisa jadi ada ribuan alasan tentang kenapa Badu tidak naik kelas. Orang lain bisa punya subyektivitas yang berbeda.Bisa punya prioritas yang berbeda.
Fakta - fakta dari fenomena memang bisa saja terkait urut secara seri seperti rangkaian gerbong kereta api. Contohnya adalah Si Badu tidak naik kelas karena tidak bisa mengerjakan soal ujian. Badu tidak bisa mengerjakan ya karena dia tidak belajar, hal ini terjadi karena seharian dia berjualan gorengan. Badu harus jualan gorengan karena memang dia yatim - piatu, karena ... karena... karena... terus saja begitu...
Atau suatu saat mereka duduk paralel. Di samping tidak belajar, faktanya dia juga datang terlambat, juga pinsilnya ketinggalan, dan juga semua teman kelasnya membencinya sehingga tidak ada yang meminjami pinsil. Dan antara seri dan paralel tidak tertutup kemungkinan mereka bisa terkait bersilangan.
Saya tidak hendak mencoba membahas keterkaitan dan urutan fakta fenomena tersebut. Namun saya hendak mencoba menguraikan, bahwa kebanyakan kita hanya menjejak satu fakta, lantas tidak memperhatikan fakta - fakta yang lain. Seringkali kita terlalu subyektif. Hal ini sangat kentara dikebanyakan kita, kebanyakan dari kita cuma memperhatikan satu fakta dan satu keterkaitan. Sudah. Padahal kalo diingat orang di seluruh dunia ini ada milyaran orang, dengan keragaman budaya, dan milyaran makanan yang masuk mulut mereka masing - masing sehingga bisa jadi mereka memiliki latar belakang pemikiran, budaya, dan kebiasaan yang sangat beragam. Saya yang tinggal di kampung Ciparigi - Bogor dengan tetangga kampung sebelah pastilah punya beda pemikiran. Saya sebagai lulusan teknik, bisa dipastikan memiliki perbedaan pemikiran dengan orang penjualan. Apalagi saya dengan orang eskimo, misalnya.Ya. Hal ini menjadikan kita semua adalah multi pemikiran, bisa jadi salah satu mengatakan bahwa prioritas dan fakta dominan dari Badu tidak naik kelas adalah ketiadaan pinsil, bisa jadi orang lain mengatakan masalah dominannya adalah kekurangan waktu belajar. Beda. Wajar.
Yang jadi perkara besar adalah bila terjadi komunikasi antar 'orang' yang berbeda persepsi tadi. Parahnya, begitu kita 'cuma' meng-konfrontir'-kan satu item ini --dan ternyata berbeda - beda setiap kepala--, maka tak jarang yang terjadi adalah pertentangan dan adu mulut. Adu mulut terjadi karena masing - masing mempertahankan 'kartu-kebenaran' fenomenanya, --tanpa berusaha menguraikan sebanyak - banyaknya kartunya. Seperti kita bermain kartu gaple, bila kita tidak menguraikannya, maka kartu kita akan bentrok dengan kartu lawan, tidak bisa terangkai.
Dalam uji konfrontir seperti ini, yang sebaiknya dilakukan adalah menguraikannya, bukan mengkonfrontir masing - masing satu kartu saja, karena bisa jadi keduanya mengemukakan hal yang berbeda tetapi sebenarnya keduanya adalah benar. Tentunya dari sudut pandang dan kacamata yang berbeda. Bisa jadi demikian karena memang subyektivitas itu sulit sekali dihindari. Walau tidak selalu, namun tidak ada pula yang menjamin, kan ?
Benar sekali. Dalam satu hal peristiwa, patut disadari bahwa hal tersebut mengandung multi - persepsi, --apalagi bila sampe multi subyektivitas-- seperti halnya kartu - kartu yang menunggu untuk dipasangkan, bukan dipertentangkan. Dalam kasus lain, terus terang saya sempat pernah berprasangka buruk kepada para rekan Resimen Mahasiswa. Maklum, saya jaman kuliah dulu terbawa - bawa teman - teman dari kalangan Pers Mahasiswa. Namun, belakangan saya sempat membaca buku karya Abdul.H.Nasution, --ya, jendral TNI yang berwibawa itu-- dan menemukan suatu hal yang menarik. Dalam buku itu disebutkan bahwa Resimen Mahasiswa diproposalkan dan dibentuk oleh Pak Nas agar supaya Pak Karno merasa aman dan tidak perlu lagi membentuk angkatan ke-lima : yakni kaum buruh dan tani yang dipersenjatai. Dari kasus persepsi MenWa inilah saya jadi berpikir ulang, karena ternyata di dalam MenWa itu ada beberapa persepsi. Banyak lagi contoh yang memaksa saya untuk lebih berusaha berpikir multi persepsi. Model multi persepsi ini ada dibanyak kehidupan; di kantor, di kampus, dipasar, di kasur, di jalanan, di sawah, dimanapun.
Ada catatan kecil namun penting. Dalam kasus multi persepsi dan multi subyektivitas ini, kadangkala dikehendaki sikap legowo dari salah satu pihak. Kadangkala diurai sepanjang apa-pun, masih banyak mengandung ketidak-cocokan. Selalu ada bantahan dari sebuah uraian. Istilahnya : kartunya belum cocok. Namun, kartu itu akan menjadi cocok bila ada unsur legowo. Legowo itu salah satu bentuk aplikasi dari sifat mulia ikhlas. Jaman dulu, seringkali nabi mendapat pertentangan dari kaumnya, pertentangan yang susah dicari titik temunya. Apa yang dilakukan oleh nabi ? Dia menahan kartunya sejenak. Legowo dengan Ikhlas. Kalau dalam bermain kartu, ada istilah 'pass', atau 'lewat'. Artinya satu pemain tidak mendapat giliran sekali, supaya kartu gaple bisa terangkai terus.
Ya. Inisiatif 'peran' nabi seperti ini, sangat dibutuhkan agar kita bisa menguraikan persepsi yang berbeda - beda agar lebih baik. Bukankah kadangkala kita juga mengendurkan dan menarik balik suatu simpul bila kita ingin mengurai benang kusut? Ini bisa dimisalkan seperti itu. Mengulur sejenak demi mendapatkan komunikasi yang lebih baik. Artinya ; mengalah dengan ikhlas, barang sekali dua kali.
Namun, di jaman yang serba materialistis ini, di jaman yang penuh tekanan ini, di jaman yang menuhankan egoisme ini, ... siapa yang bersedia menjadi nabi ? Siapa yang punya inisiatif untuk sedikit saja mengambil peran nabi ini ? [] haris fauzi - 12 Juni 2007
***) ilustrasi adalah sampul album ABWH karya Roger Dean
salam,
haris fauzi
majalah solid
situs keluarga
kolom kenisah
You snooze, you lose. Get messages ASAP with AutoCheck
in the all-new Yahoo! Mail Beta.
No comments:
Post a Comment