Monday, June 25, 2007

kenisah : nyontek & ngerepek

NYONTEK DAN NGEREPEK
 
Jaman kuliah dulu, ketika ujian umum menjelang, saya sering berharap ujian yang dilakukan adalah 'open book', sifatnya 'buka buku'. Saya memang lebih senang seperti ini, yang penting tau referensinya--lantas bisa jawab. Soalnya kalo hafalan saya suka puyeng. Saya bisa menghafal banyak hal, tetapi rentang waktunya cuma sebentar. Seringkali ilang begitu saja. Mangkanya kesana kemari saya sejak kecil sudah biasa membawa buku dan bolpen buat mencatat sesuatu yang saya anggap penting.
 
Apabila memang harus ujian closed book, yang saya lakukan menjelang ujian adalah pagi hari menghafal materi ujian sebanyak - banyaknya. Dengan keyword atau hints tertentu. Nah, begitu soal dibagikan,  yang saya lakukan pertama kali adalah menumpahkan segala yang saya hafal tadi di halaman belakang lembar soal. Kalau sempat kasak - kusuk dulu, musti langsung ditulis ke lembar soal. Kalau ada contekan rumus dari kalkulator, langsung dipindah dulu, lantas memori yang di kalkulator dihapus dengan segera.
Ditulis di lembar soal tidak menimbulkan masalah. Kalo ditanya oleh pengawas, ya memang saya yang membuat, tapi hal itu bukan kesalahan. Toh lembar soal itu dibagikan barusan. Kata teman saya, kelakuan ini namanya 'ngerepek setengah - setengah'. 'Ngerepek' itu bahasa jawa, artinya membuka catatan illegal untuk menjawab soal ujian. Diam - diam. Saya terus terang jarang ngerepek langsung, soalnya saya juga takut ketahuan bila ada razia. Lha kalo ketahuan ngerepek atau nyontek resikonya adalah digugurkan seluruh SKS semester  tersebut --kontan, kan bikin grogi. Ngerepek ada buktinya, sementara menyontoh / menyontek  tidak ada buktinya kecuali tertangkap basah dan sang partner nggak loyal.
 
Kalo jaman SMA saya sering menyontek teman. Yang penting menjaga relasi. Biasanya teman itu mau memberikan jawaban cenderung berprinsip barter. Nah, ini yang saya seringkali kerepotan. Saya pengennya dapet contekan dari teman yang pintar, sehingga jawabannya benar - benar 'benar'. Repotnya adalah ketika sang teman pintar itu bertanya jawaban satu soal misalnya, saya bisa jadi gak bisa menyelesaikan soal itu juga. Soalnya 'kan saya lebih goblog.  Jadi nggak ada yang bisa dibarterkan. Solusinya ya itu tadi, yang penting menjaga hubungan baik saja. Entah sebelumnya dipinjemin kaset, atau ngobrol baek - baek, apa ajalah... Soalnya dalam ujian saya tidak terlalu berani 'ngerepek' , saya lebih memilih menyontek teman. Lebih aman. Apabila ulangan harian, saya lebih berani untuk meminta contek jawaban atau ngerepek sekalian.
 
Jaman SMP saya jarang sekali menyontek  dan ngerepek karena memang takut, sementara jaman SD saya tidak pernah menyontek karena tanpa menyontek saya sudah menjadi juara kelas. Idem dengan jaman SMA, ketika SMP saya lebih berani melakukan kecurangan saat ulangan harian, bukan ujian. Selain ngerepek dan nyontek, sebelum ulangan harian saya sering berburu kisi - kisi soal. Kadangkala para guru memberikan ulangan harian dengan soal yang sama di kelas dan hari yang berbeda. Sukur - sukur bisa dapet jawabannya sekalian. Ini bukan kesalahan fatal murid, selama dia bisa menjawab tanpa nyontek dan tanpa ngerepek. Lain perkara bila bocoran jawaban yang ditulis di paha lantas dibuka saat ulangan.
 
Suatu hari, pagi 'umun - umun' pernah sudah saya kumpulkan semua rekan satu kelas, lantas saya memaparkan 'bocoran jawaban' ulangan yang bakal turun hari itu. Paparan jawaban itu saya tulis dipapan tulis dan direspon teman sekelas. Ada yang menuliskan di meja, di tangan, di paha, dan ada yang menghafalkannya. Padahal apa yang saya sampaikan itu saya bikin ngawur. Saya hanya tau bahwa ulangan yang bakal ada nanti soalnya 30 butir dan sifatnya pilihan berganda,... tanpa ada bocoran soal, tanpa ada bocoran jawaban. Jadi saya bikin bocoran palsu  untuk 30 soal a-b-c-d ngawur sengawur - ngawurnya saja. Hasilnya, jam pulang siang saya disumpah - serapah oleh teman - teman satu kelas. 'Bocoran gombal !", kata mereka.
 
Apa bedanya dengan jaman sekarang ? Kabarnya, dalam ujian - ujian sekolah sekarang, nyontek dan ngerepek itu sudah sistematik. Maksudnya gini, seringkali sang murid mendapat contekan malahan dari gurunya. Bisa jadi gurunya mengirimkan SMS jawaban ke anak didik yang dikehendaki. Padahal menurut sistem ujian,  'kan seharusnya guru adalah pengawas ujian. Biasanya hal ini bisa terjadi karena orang tua murid punya kuasa duit, sementara guru punya kuasa materi ujian. Sang orang tua murid menawarkan upah, lantas sang guru memberi jaminan dan dengan sekuat tenaga memberikan jawaban sebayak - banyaknya agar nilai sang bocah bisa bagus. Kadangkala transaksi penawaran dan permintaannya adalah bocoran soal. Namun saya pernah dengar juga transaksinya adalah jual beli nilai tanpa pandang soal dan jawabannya. Hal ini kabarnya terjadi di banyak tempat dan di banyak kesempatan.
 
Ada yang bilang itu kegiatan segelintir oknum, tetapi gosipnya --ya itu tadi-- praktek seperti ini sudah dijalankan secara sistematik. Maksudnya gosip itu mungkin seperti gini; bocoran soal dan jawabannya sudah dikoordinir oleh beberapa guru --mungkin malah melibatkan kepala sekolahnya sekalian--  untuk banyak siswa. Melibatkan kegiatan yang sistematik seperti ini tentunya sudah bukan pekerjaan oknum. Apalagi ada badan pengawas ujian yang --katanya-- hendak menegakkan wibawa pemerintah selaku penyelenggara pendidikan nasional. Harusnya gak mungkin hal ini terjadi. Harusnya. Karena bila hal tersebut memang terjadi, dampaknya sangat mengerikan.
Terus terang saya tidak tau kebenaran gosip tersebut --tetapi bolehlah saya mengungkapkan rasa prihatin berkaitan dengan hal tersebut. Dan saya berdoa semoga hal itu tidak menjadi kenyataan......[] haris fauzi - 26 Juni 2007


salam,
haris fauzi
 


Finding fabulous fares is fun.
Let Yahoo! FareChase search your favorite travel sites to find flight and hotel bargains.

1 comment:

Anonymous said...

Pendidikan masa kini sudah jadi bisnis ya mas. Tunggu saja kelak suatu hari apa kita selaku ortu murid akan didatangi guru yang ngobyek jawaban soal ujian anak kita... huhu... matre.