APA YANG MEMBUAT
TAKDIR (SEPERTINYA) MENGECEWAKAN
Kadangkala kita menyindir sinis terhadap keputusan yang diambil oleh Tuhan. Dalam banyak hal, kadang kita merasa suatu hasil sebuah usaha tidaklah sesuai dengan penilaian kita, penilaian orang lain, atau penilaian kolektif. Seakan kita sudah babak belur berusaha berlimpah darah terburai, namun hasil yang dipetik tidaklah kita rasa sepadan dengan usaha yang terah dicucurkan.
Kebalikannya, apabila sekonyong - konyong kita mendapat keberuntungan 'besar' karena suatu usaha 'kecil', maka dengan mudah kita melupakan apa yang berada dibalik hal itu. Alih - alih malah kadang kita menganggap itulah hasil kerja 'cerdas' kita. Mereduksi peran Tuhan dan takdir-Nya.
Tapi repotnya, bukankah kita merasa lebih sering di-dzalim-i oleh takdir ketimbang merasa beruntung. Kenapa ini ?
Sering pula kita menyindir kepada Tuhan, bahwa apa yang dilakukan seseorang, tidaklah patut mendapat reward sebanyak itu. Kita sering berprasangka bahwa rejeki maling lebih besar dari rejeki ulama. Pada dasarnya kita mempertanyakan takaran keadilan Tuhan. Adakah yang salah dengan sistem 'reward' dan 'punishment' yang sedang diatur oleh Tuhan dan para malaikat di atas sana ? Ah, kita jadi sok analis disini.
Sejujurnya, dunia ini memang letak para penggemar ideologi 'muskil'. Termasuk muskil keadilan yang paripurna. Namun bukan berarti di dunia ini tidak ada keadilan. Ya. Karena di dunia ini tidak sepenuhnya adil, maka ada janji keadilan di alam akherat kelak. Percaya nggak percaya silakan. Siapa yang janji ? Tuhan, demikian bila memang kita menganggap Tuhan ada.
Hal kedua, adalah paradigma kita yang terkungkung bahwa nikmat itu selalu dan dominan identik dengan materi dan kekayaan. Nikmat itu adalah es krim yang memiliki gundukan stawberry yang padat dengan ujung yang meleleh siap di jilat. Naif sekali. Adalah hal yang wajar berpikiran seperti itu bila memang kita belum memahami fungsi manusia dalam menempuh perjalanan spiritual di masa akhirat paska perjalanan dunia fana ini usai.
Apabila memang seperti itu, --kita hanya beranggapan bahwa kita hanya akan 'hidup' di dunia semata,-- maka paradigma bahwa nikmat adalah selalu identik dengan materi tentu tak akan bisa ditepiskan. Dengan ideologi seperti ini, maka tuntutan akan merengkuh nikmat sebanyak - banyaknya di dunia ini, pasti tidak terhindarkan lagi. Maka, apa akibatnya ? Carut - marut yang pasti terjadi.
Itulah. Nikmat tidaklah selalu identik dengan materi. Beberapa ulama dalam sepanjang masa banyak yang menyitir, bahwa nikmat terbesar dari seorang muslim adalah Islam itu sendiri. Islam adalah bentuk ideologi, jalan hidup, dan juga jalan spiritual.
Seyogyanya orang yang beranggapan bahwa dunia adalah segalanya, akhir dari semua perjalanan, akan memuliakan dunia ini, memelihara, dan mendamba keadilan. Karena mereka tidak berharap ada keadilan setelah ini. Tapi Tuhan jauh lebih pintar. Bayangkan bila memang dunia ini adalah akhir segalanya. Bukannya keadilan yang terwujud, maka perebutan habis - habisan yang akan terjadi. Bukankah begitu ?
Untungnya, Tuhan juga merencanakan adanya alam akhirat kelak. Ya. Sekali lagi, Tuhan lebih pintar. Sayangnya kita sering merasa lebih pintar.
Demikian juga dengan takdir. Takdir rejeki apalagi. Takdir akan nikmat. Tuhan sudah memiliki porsi. Dan, termasuk porsi komplit dunia akhirat. Jadi, cobalah ukur dari dua porsi ini. Kita tidak bisa menerawang seperti tukang ramal, namun setidaknya kita bisa menakar antara keadilan nikmat di dunia ini, dan menimang dacin timbangan untuk porsi akhirat kelak. Ya memang hanya berdasar janji Tuhan semata. Hanya janji yang bisa kita hadapi, tapi itu janji Tuhan.
Lantas bolehlah kita tutup kecewa kali ini dengan pemanis bahwa mungkin tahun depan kita akan mendapatkan rejeki yang kita inginkan. Tetapi sebelum kita menginjak tahun depan, bolehlah sejenak kita mematut dan berkaca sejenak. Apakah patut kita berharap terhadap rejeki itu ? Sekaligus mematut usaha kita, doa kita, dan selintas introspeksi terhadap semua keterkaitan tersebut ?
Ya. Itu semua terangkai, dan masih banyak serabut halus yang menjalin satu sama lain membentuk tilam kehidupan kita. Merajut namun mungkin tak kasat mata oleh kita. Rejeki, nikmat, dunia, akhirat, usaha, doa, dan sebagainya. Adalah sebuah kenikmatan sendiri untuk mengamati dan menikmati hal ini. Setidaknya, dengan mengikuti jalinan halus ini, kita bisa lebih banyak mengerti apa yang membentuk hidup kita, apa yang menjadi latar belakang takdir terhadap diri kita, lantas kita menginsyafinya. Jauh lebih nikmat menginsyafi hal ini daripada menggerutu bahwa kita di-dzalim-i oleh takdir. Ah, sebaiknya saya sudahi saja tulisan ini. Saya bukan ahlinya mengobral fatwa soal takdir. [] haris fauzi - 26 februari 2008
salam,
haris fauzi
haris fauzi
Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.