Saturday, February 23, 2008

kenisah : arah sajadah moncil

ARAH SAJADAH MONCIL
 
"...dalam banyak hal, agama itu mengecewakan. Tidak hanya Islam, tentu saja. Fundamentalisme Kristen di Amerika saat ini juga menakutkan....Juga fundamentalisme Yahudi...
Sebetulnya yang disebut perang agama ini kan selamanya adalah perang dengan argumen agama. Perang ya perang saja...." (Goenawan Mohamad, Majalah Madina no.02,hal 36, Februari 2008)
 
 
Moncil anak kedua saya berumur hendak empat tahun , nama aslinya Nourmadani, artinya cahaya peradaban. Acapkali dia ikut sholat bersama saya dan mamanya. Lucunya, kadangkala dia mengubah - ubah arah sajadah yang dipakainya. Kadang malah berbalikan. Istri saya pernah setengah mati berusaha menyuruhnya agar Moncil ber-sholat dengan hadap yang benar, tetapi ketika mentok, maka kami membiarkannya saja.
 
Saya teringat puluhan tahun lalu, mungkin sekitar tahun 1978, ketika kami sekeluarga sholat di lapangan Rampal. Sholat Ied. Karena kami berada di shaf terdepan, maka kami kebagian dapat kejepret oleh juru foto mesjid. Saya nggak tau, apakah juru foto itu sholat atau enggak. Demikian juga dengan Ibu dan dek Ifah,--adik perempuan saya-- yang berada di shaf terdepan, kejepret pula.
 
Lucunya, pas dalam foto itu, adik saya yang masih berumur tiga tahun, dia sholat menghadap utara. Karena kasus inilah saya dan kakak sering meledek dia karena posisi sholatnya salah. Ya karena foto itu semata. Bapak juga mengetahui foto tersebut. Bocah sholat menghadap utara, Bapak tidak komentar hanya tersenyum simpul.
 
Tahun 1999, ketika saya membeli sebuah 'rumah bekas' di Bogor Utara, Bapak dan Ibu saya ajak meninjau rumah 'bekas' tersebut. Setelah memutar anak kunci yang rada keras, kami meninjau berkeliling dengan cepat. Di kamar tidur utama Bapak langsung mengintruksikan agar kami berada dibelakangnya. Tanpa wudhu tanpa alas kami bertiga sholat syukur mengikuti Bapak. Lantai berdebu itu kami biarkan aja menjejak tanda di  telapak tangan dan jidat kami.
Tambahan lagi, Ibu hanya berkerudung tidak mengenakan mukena. Setahu saya, mukena adalah syarat. Saya jadi teringat jaman masih SD, ketika Bapak sering mengajak saya jalan - jalan ke mesjid - mesjid. Kami juga pernah diajak ziarah ke mesjid - mesjid walisongo. Karena masih SD, tentu saya mengenakan celana pendek. Memasuki mesjid, Bapak selalu menginstruksikan agar melakukan sholat tahiyyatul-masjid. Penghormatan kepada Rumah Tuhan, walau toh hanya mengenakan celana pendek yang tentunya tidak memenuhi syarat menutup aurat. Saya pernah memprotesnya,"..saya kan pake celana pendek, Pak ?". Dan Bapak cuma tersenyum sambil menggiring kami ke shaf terdepan.
 
Ternyata tidak hanya lantai berdebu atau mukena yang tidak ada saat itu. Arah kiblatnya-pun salah. Melenceng sekitar tigapuluh derajat. Kami mengetahui hal tersebut sekitar satu jam setelahnya. Ketika saya pamer keahlian baru untuk mencari arah kiblat dengan menggunakan silet magnet. Kemelencengan ini  saya konfirmasikan kepada Bapak, beliau cuma tersenyum sambil ngomong,"...Dek Ifah dulu sholat Ied menghadap Utara...". Kami semua teringat foto itu dan jadi ikutan ngakak.
 
Secara logis, memang tidak bisa tidak, arah kiblat bisa diarahkan dengan menggunakan peralatan yang canggih. Tetapi, seringkali kecanggihan ini membuat congkak sehingga meninggalkan esensi. Ya. Teknologi dan peralatan canggih yang merupakan produk dari ilmu-ilmu logika seringkali membuat kita congkak. Dan ini sudah sering terjadi bahkan semenjak jaman dahulu. Al-Ghazali sudah jelas sangat mengkhawatirkan hal ini. Logika bisa membelokkan nilai-nilai esensi Islam. Logika akan menikam bila digunakan secara otoriter.
 
Dalam sebuah riwayat, Ali bin Abi Thalib pernah menyatakan kekhususan soal keterbatasan logika,"...andai Islam mengandalkan logika semata, tentunya kala berwudlu Rasulullah akan mengusap dasar sepatu, bukan bagian atasnya...". Sebuah peringatan akan keterbatasan logika, bahwa logika bukanlah segalanya.
Saya sendiri belum pernah berwudlu dengan mengenakan alas kaki. Konon, tuntunannya adalah seperti itu. Berwudlu boleh sambil mengenakan alas kaki, tetapi yang dibasuh adalah mukanya, bukan dasarnya. Tolong koreksinya.
 
Ali bin Abi Thalib adalah pintu gerbang ilmu pengetahuan. Demikian Nabi Muhammad menjulukinya. Memang Ali terkenal memiliki intelegensi yang tinggi, khulafaur rasyidin yang paling jago berfilsafat dan berlogika. Kita bisa nikmati kehebatannya dalam kumpulan khutbahnya di "Nahjul Balaghah". Namun, Ali sadar bahwa logika memiliki keterbatasan. Kita malah sering congkak berlogika melayang ke langit ke tujuh, dan lantas terjerembab.
 
Membaca kembali komentar Goenawan Mohamad di atas, seakan jadi tersadar, bahwa selama ini kita sering terkontaminasi oleh euphoria dan meninggalkan esensi. Dari hal sepele, dalam bahasa sansekerta 'agama' adalah kata terdiri dari dua 'a' dan 'gama' yang berarti tanpa-kekacauan. Tetapi apa buktinya ? Malahan sekarang jadi alasan buat berperang, setidaknya begitu menurut Goenawan Mohamad.
Memang banyak alasan berperang, dan lagi, saya bukan 'pakar perang' yang bisa berdebat dengan hebat masalah ini. Namun saya hanya bisa mensinyalir bahwa ada yang salah dalam pemahaman agama. Pemahaman yang melenceng ini berarti  'salah arah'. 'Salah arah' dalam arti yang sangat 'esensial'. Ketika seseorang menjalankan ibadah sholat, masjidnya menghadap kiblat, sajadahnya-pun diukur derajatnya menggunakan google-earth. Tepat. Antara kedua kaki dan jidat ditarik garis lurus  tepat akurat ke arah tengah - tengah kiblat karena memang menggunakan alat navigasi kelautan.....Tetapi hatinya tidak menghadap ke Tuhan. Tuhan yang mewahyukan agama. Agama, tanpa kekacauan. Hatinya menghadap ke nafsu angkara, niat kotor, fitnah, kebusukan. Dan, bisa kita lihat, atmosfir manusia sekarang penuh kebencian dan keributan.
Mungkin kita sering kehilangan esensi seperti ini. Kita terlalu berkutat di kehebatan logika sehingga malah salah arah. Pernyataan Goenawan Mohamad, peringatan Al-Ghazali, dan petuah Ali bin Abi Thalib bisa jadi benar......agama itu mengecewakan dan menakutkan, bila esensinya raib. [] haris fauzi - 23 februari 2008


salam,
haris fauzi
 


Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.

No comments: