RAGU DAN BEKU
Seseorang menyapaku dari luar sana, mengajak entah apa. Agak gentar saya menghampirinya. Dia masih beku tanpa ekspresi, walau jarak sudah berkisar lima langkah. Hanya menyapa, tak hendak mengapa. Saya terlarut dalam bekunya. Sebeku lambung yang menyiksa.
Bebarapa hari kemudian, bersua dengannya lagi, saya menghampirinya tanpa disapa. Ada sedikit nyali di hati ini untuk menatap kebekuan. Ah, kebekuan itu masih miliknya. Sebagaimana biasa, ketika rasa takut itu mulai menyingkir,--yang tinggal adalah kekhawatiran dan ketidak-sabaran. Sedikit rasa khawatir yang berlebihan sebagaimana bawaan lahir, tak cukup kuasa menahan ketidak-sabaran yang menggoda. Saya membuka kata. Dia membalas seperlunya. Saya tau mukadimah itu hanya alakadarnya, tanpa esensi. Maklum juga, bila tidak ada tanggapan yang berarti. Kami masih - masing terlelap kembali tercenung. Kebekuannya masih menyiksa lambung. Hanya patah kata yang dia kehendakilah yang bisa memecah penyiksaan ini.
"Apa makna manusia tanpa ilmu ?", saya nekad membuka pembicaraan, lagi.
Berkiblat dari beragam referensi dan perdebatan, saya memang beberapa kali harus berurusan dengan dia, seorang yang saya pandang cukup pintar, namun apatis terhadap ilmu itu sendiri. Sebuah kontradiksi. Seperti seorang murid yang kelihatan pintar, namun tidak naik kelas. Ya, betul, memang kepintaran seseorang tidak harus diukur melulu dari prestasi akademis.
Manusia bertahan hidup dan melangsungkan harkat ke-manusia-annya melalui satu poros, poros itu bernama ilmu. Dari milyaran model makhluk hidup, hanya manusia yang memperoleh ilmu. Dari poros ini, tumbuhkan tunas - tunas yang berjuta banyaknya, merimba dan bercabang - cabang, namun porosnya tetap satu.
Dalam legenda dikisahkan bahwa Zeus murka dengan hal ini. Mengapa Zeus marah kepada manusia ketika mengetahui bahwa manusia memiliki api ? Mungkin bisa jadi banyak penafsiran disini. Bagi saya, karena manusia memiliki dua adat, positif dan negatif. Zeus berniat menghukum manusia karena hal ini. Dari balik hatinya, Zeus mungkin khawatir, bahwa api itu, ilmu itu, akan disalah-gunakan oleh manusia, menjadi petaka bagi semesta yang berada dibawah naungan Zeus. Dan manusia adalah biang keroknya, dan api -ilmu itulah senjatanya.
Dalam Al-Quran juga dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk mulia bila ber-ilmu dan ber-amal dengan baik, bila berbuat kebajikan. Amal adalah tindakan, perbuatan. Namun status ini menjadi terbalik ketika manusia diturunkan derajatnya serendah - rendahnya, --bahkan lebih rendah daripada hewan,-- ketika amal perbuatannya tidaklah sesuai perkenan Tuhan. Klise, namun logis.
Ibarat senjata yang paling mumpuni, ilmu adalah alat bertahan hidup yang paling canggih yang dimiliki manusia. Semakin dalam ilmu itu, semakin banyak ilmu itu, bisa membuat manusia semakin 'abadi' dalam semesta ini. Dengan senjata ini manusia menjadi adikuasa di alam semesta, pun dia berhak menggunakan senjata tersebut semau - maunya. Hanya fitrah dalam kalbunya-lah yang bisa mengendalikan senjata tersebut.
Belum sempat saya menerawang lebih jauh, tangan ini telah menjangkau pintu mobil, lantas membukanya, duduk terhempas sejenak. Menyalakan mesin dan audio. Roda melaju menambah kecepatan. Angin menerpa dari sisa celah jendela. Timo Tolkki memainkan Capriccio di nada A minor.[] haris fauzi - 3 Juli 2008 |
Thursday, July 03, 2008
kenisah : ragu dan beku
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment