Thursday, July 03, 2008

kenisah : ragu dan beku

RAGU DAN BEKU

Seseorang menyapaku dari luar sana, mengajak entah apa. Agak gentar saya menghampirinya. Dia masih beku tanpa ekspresi, walau jarak sudah berkisar lima langkah. Hanya menyapa, tak hendak mengapa. Saya terlarut dalam bekunya. Sebeku lambung yang menyiksa.


Mungkin karena tak kuasa, saya tinggalkan kebekuan menjadi miliknya. Saya beranjak sembari berucap salam. Dia membalas sambil tetap tanpa ekspresi. Wajahnya seperti malam, sunyi tanpa bunyi.

Bebarapa hari kemudian, bersua dengannya lagi, saya menghampirinya tanpa disapa. Ada sedikit nyali di hati ini untuk menatap kebekuan. Ah, kebekuan itu masih miliknya. Sebagaimana biasa, ketika rasa takut itu mulai menyingkir,--yang tinggal adalah kekhawatiran dan ketidak-sabaran. Sedikit rasa khawatir yang berlebihan sebagaimana bawaan lahir, tak cukup kuasa menahan ketidak-sabaran yang menggoda. Saya membuka kata. Dia membalas seperlunya. Saya tau mukadimah itu hanya alakadarnya, tanpa esensi. Maklum juga, bila tidak ada tanggapan yang berarti. Kami masih - masing terlelap kembali tercenung. Kebekuannya masih menyiksa lambung. Hanya patah kata yang dia kehendakilah yang bisa memecah penyiksaan ini.

"Apa makna manusia tanpa ilmu ?", saya nekad membuka pembicaraan, lagi.
"Apa makna ilmu tanpa amal ?", dingin dia bertanya.
"Hanya teori dan embrio bencana ".
"Kali ini kamu benar. Apakah kamu masih mau mengejar hal itu ?".
"Manusia ditakdirkan untuk mengejar ilmu ", saya berkilah.
"Takdir ditentukan Tuhan, tetapi manusia berhak memilih ", dia beranjak pergi.
Mengajarkan sesuatu. Pergi dengan kebekuannya yang sedikit mencair. Tak lama kemudian saya melangkah mengukur tanah.

Berkiblat dari beragam referensi dan perdebatan, saya memang beberapa kali harus berurusan dengan dia, seorang yang saya pandang cukup pintar, namun apatis terhadap ilmu itu sendiri. Sebuah kontradiksi. Seperti seorang murid yang kelihatan pintar, namun tidak naik kelas. Ya, betul, memang kepintaran seseorang tidak harus diukur melulu dari prestasi akademis.

Manusia bertahan hidup dan melangsungkan harkat ke-manusia-annya melalui satu poros, poros itu bernama ilmu. Dari milyaran model makhluk hidup, hanya manusia yang memperoleh ilmu. Dari poros ini, tumbuhkan tunas - tunas yang berjuta banyaknya, merimba dan bercabang - cabang, namun porosnya tetap satu.


Di dunia legenda eropa kuno, manusia-lah yang mempunyai nyala api, selain obor dewa Zeus. Nyala api itu sendiri alkisah berasal dari obor dewa Zeus. Dalam kitab suci, Tuhan menyampaikan pesan pertama kepada Muhammad sebagai bentuk kiasan ,"Bacalah !".

Dalam legenda dikisahkan bahwa Zeus murka dengan hal ini. Mengapa Zeus marah kepada manusia ketika mengetahui bahwa manusia memiliki api ? Mungkin bisa jadi banyak penafsiran disini. Bagi saya, karena manusia memiliki dua adat, positif dan negatif. Zeus berniat menghukum manusia karena hal ini. Dari balik hatinya, Zeus mungkin khawatir, bahwa api itu, ilmu itu, akan disalah-gunakan oleh manusia, menjadi petaka bagi semesta yang berada dibawah naungan Zeus. Dan manusia adalah biang keroknya, dan api -ilmu itulah senjatanya.

Dalam Al-Quran juga dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk mulia bila ber-ilmu dan ber-amal dengan baik, bila berbuat kebajikan. Amal adalah tindakan, perbuatan. Namun status ini menjadi terbalik ketika manusia diturunkan derajatnya serendah - rendahnya, --bahkan lebih rendah daripada hewan,-- ketika amal perbuatannya tidaklah sesuai perkenan Tuhan. Klise, namun logis.

Ibarat senjata yang paling mumpuni, ilmu adalah alat bertahan hidup yang paling canggih yang dimiliki manusia. Semakin dalam ilmu itu, semakin banyak ilmu itu, bisa membuat manusia semakin 'abadi' dalam semesta ini. Dengan senjata ini manusia menjadi adikuasa di alam semesta, pun dia berhak menggunakan senjata tersebut semau - maunya. Hanya fitrah dalam kalbunya-lah yang bisa mengendalikan senjata tersebut.


Ali Syariati --revolusioner Iran-- pernah berpendapat, bahwa 'kesadaran' lebih penting daripada kedalaman ilmu itu sendiri. Yang dimaksud disini adalah kedalaman kepada nilai - nilai luhur, yang bagaimanapun, terasa sulit untuk di jabarkan tetapi dalam konteks kemanusiaan, hal ini sangat nyata. Syariati menyampaikan kesadaran 'sebagai makhluk ciptaan Tuhan'. Inilah fitrah dalam kalbu yang harus dipertahankan. Dan, apapun tindakan seseorang pastilah berlandaskan 'kesadaran' ini. Semacam super-ideologi yang menjadi 'pengendali'.


Betapapun dalam ilmu seseorang, semuanya dinilai berdasar tindakannya, tergantung amal-nya. Untuk apakah gerangan ilmu itu digunakan. Dan semua itu dibawah kendali 'kesadaran' manusia itu sendiri. Demikian juga kebalikannya, apabila memang ilmu seseorang tidaklah terlalu dalam, namun apabila digunakan dengan semestinya, maka dia lebih bisa bertahan menjadi manusia seutuhnya, manusia mulia. Bertahan ? Menjadi raja di semesta ini ? Menghindar dari kepunahan ? Hanya kiamat yang memusnahkan yang sanggup mengalahkan ?

Belum sempat saya menerawang lebih jauh, tangan ini telah menjangkau pintu mobil, lantas membukanya, duduk terhempas sejenak. Menyalakan mesin dan audio. Roda melaju menambah kecepatan. Angin menerpa dari sisa celah jendela. Timo Tolkki memainkan Capriccio di nada A minor.[] haris fauzi - 3 Juli 2008


No comments: