Sunday, July 27, 2008

kenisah : Mintun Si Pembual

 

Mintun Si Pembual

 

Kami memanggilnya Mintun. Julukan dari plesetan nama sebenarnya, julukan dari temen - temen sekelas. Ketika kami bermain sepenggal waktu di saat jeda sekolah, dia suka bercerita, lebih tepatnya membual. Karena, hanya mengobral kibulan sajalah keahlian dia. Bermain sepak bola, bermain kejar - kejaran, bukan kepintarannya. Apalagi akademis, dia jauh terbelakang. Memang Mintun memiliki sedikit gangguan, yakni daya tangkapnya lemah, maka dia pernah diganjar tinggal kelas. Dan di kalangan kami, murid SD asrama tentara, hal itu tidaklah khusus, karena banyak di antara kami yang juga menggalami tidak naik kelas, salah satu sebab yang menonjol adalah karena sikap badung. Ciri khas anak kolong.


Namun kekurangannya itu bukanlah alasan utama kenapa Mintun memiliki kebiasaan membual. Dan bila saya ditanya soal itu, hingga kini saya juga nggak tau apa alasannya. Padahal bila dihitung masa sekarang, maka saya sudah mengenalnya tiga puluh tahun yang lalu.

 

Pada sore hari, kadang Mintun menyempatkan datang ke rumah saya. Memang jarak rumah kami saling berdekatan. Juga dengan rumah murid - murid yang lain, sehingga kami dengan mudah saling mengetahui di mana seorang anak sedang nongkrong pada sore itu. Namanya anak SD, biasanya sih memang sekolahnya tidak terlalu jauh dari rumah. Berkerumun di sekitar situ sahaja.

Bila Mintun datang, kadangkala ada sejumput rasa jemu, karena toh dia akan membual lagi, membual lagi. Dan saya harus mendengarkan dengan muka kecut. Orang tua saya suka menasehati saya agar Mintun diajak bermain aja, dengarkan saja, ga usah ditanggapin, apalagi diledek. Toh nggak rugi sepeser jua. Apalagi kadang Mintun datang dengan membawa tas sekolah. Mungkin maksudnya belajar. Maka saya akan menemaninya hingga dia pulang, sekitar waktu isya. Walau bawa tas, niatnya belajar, tapi saya tau, sebagian waktunya pasti dipegunakannya untuk membual dihadapan saya sampai saya jemu mendengarnya. Ah, tapi Ibu saya bilang saya harus menemuinya. Maka saya menemui Mintun, walau dengan lunglai.

 

Beranjak ke jaman SMP, kami berpisah. Bertaburan ke sekolah baru, atau ada yang hilang jejak. Gak dinyana, suatu sore di hari libur, Mintun datang ke rumah. Saya hanya bisa geleng - geleng kepala. Belum sempat saya berkomentar, dia sudah membombardir dengan bualannya. Ibu saya ikut menemani, setengah tersenyum - senyum. Mungkin tau bahwa apa yang didengar kali ini hanyalah bualan belaka.

 

Entah kenapa, beberapa bulan sekali Mintun datang dengan rutin ke rumah, minta di dengarkan bualannya, dan dengan sapaan pamitan yang dari dulu itu - itu mlulu:"...Ris, awakmu kaet ndisik cilik ae, ga duwur - duwur...". Artinya kurang lebih : Ris, kamu dari dulu kecil mlulu, gak tinggi - tinggi...
Mintun memang berbadan tinggi kurus.


Hanya itu. Mintun datang, membual, lantas pulang. Tinggal saya yang sebel.

Gak cuma dimasa SMP, kala SMA hingga saya duduk di bangku kuliah-pun kadangkala dia masih rutin sambang ke rumah saya. Menurut beberapa informasi, Si Pembual ini juga sering berkunjung ke rumah teman - teman yang lain. Tapi repotnya, karena kami anak kolong, rata - rata teman sudah pindah rumah beberapa kali mengikuti tugas orang tuanya. Bahkan Mintun-pun katanya sejak lulus SD sudah berdomisili di seberang lautan, hanya beberapa waktu kadang dia pulang ke Malang. Nah, mungkin ketika ke Malang inilah dia menyempatkan berkunjung dan bermain ke rumah saya, untuk membombardirkan bualannya, dan saya mendengarkan dengan takzim...seperti yang dianjurkan orang tua saya.

 

Suatu hari saya pernah menjumpainya. Kami berbpapasan di ujung gang. Lucunya, kali ini Mintun berlaku sebagai seorang asisten mantri. Memang gitu, dia sering berlaku sperti obsesi yang sedang dipikirnya kala itu. Kadang Mintun berlagak menjadi pegawai di sebuah instansi, lantas membual-kan ihwal kerjaannya. Kadang datang dengan membawa gepokan proposal lantas ngibul tentang proyek - proyek, kadang berjumpa di jalan mengenakan kacamata dan berlagak seperti pegawai kelurahan. Macam - macam aksinya. Memang, walau akhir - akhir ini saya jarang mudik ke Malang, tetapi ketika mudik saya beberapa kali menjumpainya berkeliaran di dekat pasar di timur kampung saya. Bila berjumpa, saya berbasa - basi alakadarnya sebentar saja. Lantas pergi lekas.

 

Suatu ketika di saat saya berkesempatan mudik ke Malang, saya hendak mengantar Ibu ke mesjid. Mesjid itu berada di kampung Mintun, sebelah kampung saya, berbatasan dengan pasar dimana Mintun sering berkeliaran. Saya bersama adik saya. Tak tau kenapa tiba - tiba adik saya berkata sambil tertawa,"Mas..Ingat Mintun ?...tuh orangnya lagi di shaf depan...udah kayak ustadz aja dia sekarang...hehehehe...".

 

Dan bisa diduga tak lama kemudian, sekali lagi saya bersua dengan Mintun, Si Pembual itu. Dengan senyumnya yang khas, dia menghampiri lantas memulai percakapan bualannya. Yang saya pikirkan kali itu bukan bualannya. Namun saya terus terang merasa salut dengan semangatnya mengikat tali ukhuwah. Dia tidak pernah bosan berkunjung, bertatap mata, berbincang, dan membagi senyum. Bisa jadi disaat dia bertemu orang lain, lantas dicibirkan sebagai tukang bual, mungkin hatinya pedih. Tapi, saya selalu melihat, bahwa dia selalu tersenyum dan menyapa orang lain. Saya baru sadar, bahwa inilah yang dinasehatkan orang-tua saya tempo lalu saat saya masih SD. Bahwa saya harus tetap menerima kunjungan Mintun walau cuma sebal mendengarkan bualannya.

 

Saya mulai semakin mengerti, bahwa di dunia ini ternyata banyak para pembual layaknya juru kampanye, banyak pemimpin yang berbohong, banyak pengusaha yang mengakali rekan bisnis, banyak juragan yang nilep pajak, itu semua bohong dan ngomongnya membual ...hampir semua isi dunia ini dihuni oleh para pembual dan pembohong, mungkin salah satunya adalah saya. Jadi, kita semua sama, Mintun - Mintun yang memiliki profesi sebagai tukang bohong. Hanya saja Mintun dicibiri karena tidak berdasi, karena tidak berpangkat, karena tidak memiliki perusahaan. Hanya saja Mintun dicibiri karena dia tidak berkuasa, dan hanya bisa tersenyum agak bloon demi pertalian kekerabatan.

 

Mintun memang berbohong, membual. Tapi, saya sadar bahwa dia membual karena memang memiliki keterbatasan. Dan yang penting, saya merasa tidak dibohongi olehnya. Karena saya maklum. Dan, potongan style dia memang gak meyakinkan. Akhirnya saya tidaklah sakit hati mendengar bualan dia. Saya jadi melamunkan segala bentuk kebohongan yang pernah dilontarkan orang - orang terhormat. Semua bikin sakit hati. Bualan Mintun dan bualan para orang terhormat itu berbeda. Ya. berbeda ! Saya merasa absurd.

 

"Kamu sekarang dimana ?", tanya Mintun membuyarkan lamunan saya.
"...disini aja..tetep di rumah Ibuku..", jawab saya membatasi diri.
" Kalo saya sekarang lagi cuti kerja...berlibur...", bualan dia mulai lagi.
[] haris fauzi - 25 Juli 2008

salam,

haris fauzi

No comments: