Suatu hari --entah sekitar 10 tahun lalu, mungkin,-- saya mendapat kabar bahwa seorang tetangga saya meninggal dunia karena kecelakaan kendaraan bermotor. Usut punya usut, akhirnya seorang temannya menceritakan bahwa almarhum memang kalo pulang kantor sering ngebut, katanya hendak mengejar waktu sholat jamaah di masjid kampung. Mendengar itu saya cuma menggulung jidat (bisa gitu yak ? nggulung jidat --ah, ini cuma nyoba istilah baru selain menekuk jidat). Apa gitu lho, mengejar sholat ?
Beberapa tahun setelah kejadian itu, saya lupa. Saya asik dengan beberapa hal, diantaranya, semenjak tahun 2006, pabrik dimana saya bekerja menghimbau kepada para karyawannya untuk berjamaah sholat di masjid. Nama masjid-nya Al-Amaal. Bahkan jam istirahat sore mengikuti jadwal adzan Ashar, serta waktunya diperpanjang dari 10 menit menjadi 20 menit, karena ada acara sholat jamaah. Sementara saat istirahat makan siang, diatur bagaimana caranya agar sholat bisa berjamaah rame-rame di masjid, setelah itu baru makan siang. Hal ini memicu saya untuk berusaha dan makin berusaha menggenapkan sholat wajib berjamaah di masjid. Misalkan, dalam perjalanan pulang kantor berusaha untuk mampir masjid saat menjelang adzan maghrib atawa isya.
Beberapa tahun menjalani hal tersebut, saya pindah kerja, dimana kantor baru tersebut tidak punya masjid, namun ada masjid berjarak sekitar 200 meter. Dari sinilah gundah gulana itu mulai terasa. Saya seperti kehilangan ritual dhuhur dan ashar di masjid yang selama ini saya jalani.
Suatu malam, sekitar lima belas menit menjelang sholat isya, kebetulan saya sedang dalam perjalanan bersama beberapa teman. Saya menyarankan untuk stay di masjid terlebih dahulu, menunggu isya, ba'da sholat isya barulah melanjutkan perjalanan. Ternyata usul saya tidak disetujui audiens, terutama karena rekan yang paling senior memang mengusulkan untuk go a head aja karena mengejar waktu. Dan kami-pun melanjutkan perjalanan. Lima belas menit kemudian kala kami semua sedang berkendara duduk di jok mobil, terdengar adzan isya, dan kami masih dalam perjalanan. Yang terjadi adalah hati ini merasa sangat bersalah, karena kehilangan kesempatan tersebut.
Kejadian kedua adalah ketika saya mengejar waktu maghrib, terburu - buru saya parkir, ganti sandal, lantas bergegas menuju arah asal adzan berkumandang. Dalam rangka itu, tak dinyana berjumpa dengan teman lama di area parkiran. Kita ngobrol sebentar, namun saya segera mengisyaratkan menuju panggilan adzan. Sang teman mengangguk, namun dia bersegera memenuhi urusan yang lain. Dan kami-pun bersimpang jalan.
Teman senior dan teman lama dalam dua paragraf sebelum ini, mungkin saja belum mengalami apa yang saya alami, bahwa hati ini kebat - kabit ketika ada adzan masjid, namun kita men-cuek-i-nya. Dari sini saya baru faham, mengapa tetangga saya ngebut hingga akhirnya mengalami kecelakaan. Apa-pun, mengebut itu tidak benar. Namun, setidaknya harus ada usaha untuk berusaha menepati janji dalam rangka sholat berjamaah di masjid tepat waktu. Karena itu sejatinya wajib bagi pria. Wallahu'alam. [] haris fauzi, 30 mei 2015
No comments:
Post a Comment