Berhubung ini perihal ngaji langgam jawa, ya mungkin tulisan ini akan diselingi dengan boso jowo. Sakwijining dino, seperti kita ketahui, pada bulan Mei 2015, pak Presiden mengadakan acara peringatan Isra' Mi'raj di istana. Dan, yang ngaji adalah mas Arafat. Ngajinya pake logat jawa, istilah yang kemudian populer adalah ngaji langgam jawa.
Heboh ? Jelas. Walau model ngaji ini sudah pernah dilakukan beberapa tahun silam, tapi baru kegaduhannya ngetop sekarang ketika tampil di istana negara. Itu dia. Grup-grup diskusi dan dunia maya kontan dibanjiri posting pro - kontra ihwal ngaji langgam jawa yang dilakukan mas Arafat di istana. Pak menteri agama kondang ngetop mendadak. ini baru namanya kontroversial sesial-sialnya.
Yo uwis lah. Setelah membaca di banyak posting, menurut saya ada beberapa anggapan ihwal ngaji langgam jawa ini, tapi mengerucut menjadi dua pandangan pokok. Pandangan pertama adalah mereka yang beranggapan bahwa mengaji itu merupakan seni membaca yang bisa berbaur dengan budaya setempat. Penganut faham ini pasti tidak ragu - ragu ihwal pembauran budaya seperti halnya musik rock diselingi gamelan. Boleh jadi faham ini bertolak pikir dari penyelenggaraan lomba - lomba keindahan baca al-Qur'an. Karena yang dilombakan keindahannya, maka semakin atraktif dan inovatif, bisa jadi dianggap semakin indah. Untungnya belum ada ngaji dengan dilatari koreografi tari. Tapi kalo mengaji di-blend dengan orkestra, rasanya sudah pernah ada.
Ini oleh para pendukungnya, mengaji langgam jawa itu di-klaim sebagai masalah kultur, budaya. Konon, jaman dahulu, walisongo menggubah lagu - lagu jawa untuk mendakwahkan Islam. Ini memang kurang pas bila disamaratakan dengan men-dalang-kan mengaji al-Qur'an. Memang banyak lagu - lagu jawa gubahan walisongo. Isinya dakwah. Contohnya lagu 'lir-ilir', tetapi, belum ada saya temui lagu langgam jawa gubahan walisongo yang murni sebagai mengaji al-Qur'an.
Balik maneh nyang ukoro keindahan membaca, tentu tidak ada hubunganya dengan ritual ibadah. Tidak ada syarat harus wudlu dulu, atau bisa jadi dalam keadaan junub boleh saja membaca. Ini titik lemah pandangan yang menganggap mengaji adalah bukan ibadah, mengaji hanya sekedar seni membaca. Mengaji bukan hal sakral, bahkan bagi mereka mungkin lagu Indonesia Raya lebih sakral ketimbang al-Qur'an. Buktinya ketika saya lemparkan survey-survey-an tentang dangdutisasi Indonesia Raya, mereka membanjir kutukan.
Balik maneh nyang ukoro keindahan membaca, tentu tidak ada hubunganya dengan ritual ibadah. Tidak ada syarat harus wudlu dulu, atau bisa jadi dalam keadaan junub boleh saja membaca. Ini titik lemah pandangan yang menganggap mengaji adalah bukan ibadah, mengaji hanya sekedar seni membaca. Mengaji bukan hal sakral, bahkan bagi mereka mungkin lagu Indonesia Raya lebih sakral ketimbang al-Qur'an. Buktinya ketika saya lemparkan survey-survey-an tentang dangdutisasi Indonesia Raya, mereka membanjir kutukan.
Pandangan kedua adalah mereka yang beranggapan mengaji adalah ibadah, yang memiliki ritual tertentu, tidak boleh sedang berjunub (musti mandi dulu coy). Mangkanya, mereka yang berpandangan bahwa mengaji adalah ibadah tentunya lebih saklek. Bahkan, secara ekstrim, kalangan ini mengeluarkan statemen seperti," kalo mengaji gaya jawa, besok kalo mati dikafani batik aja". Hahaha... Ngguyu kemekelen aku. Lha bayangkan, betapa ngerinya bila ada yang dikubur pake kain mayit batik, atau dibungkus kain jeans sekalian. Hahaha.
Lepas dari pro-kontra, memang kecenderungannya lebih benar dan aman bagi mereka yang menganggap mengaji adalah ibadah. Pro kepada pandangan kedua. Namun jangan salah. Pedukung fanatik presiden Jokowi banyak perpihak pada pandangan pertama, yang menganggap bahwa mengaji adalah seni membaca. Dampak positifnya adalah, kasus ini menjadi ujian loyalitas pendukung Jokowi. Apakah mereka memang benar - benar mendukung semua yang terjadi di istana sebagai kebenaran mutlak,... atau mereka cuma berhenti sampai sini dan kemudian mulai menyadari bahwa idola mereka memang memiliki banyak kelemahan. Yo wis lah. Iki ora omongan soal presiden.
Lha saya ? Terus terang, saya penganut paham kedua, atas dasar dua alasan utama. Alasan pertama adalah, nabi Muhammad SAW pernah mencontohkan ibadah mengaji, walau tanpa melagu-lagukan. Dan ada beberapa sahabat Rasul yang mengaji dengan cara melagukan, namun direstui oleh Rasulullah. Sayangnya, semua sahabat yang melagukan pembacaan al-Qur'an, tidak ada yang memakai logat jawa. Maka, saya beranggapan bahwa sunnah mengaji yang dicontohkan oleh Rasulullah adalah tanpa lagu, dan yang dicontohkan oleh sahabat adalah melagukan ala arab, bukan ala jawa. Ya, jelas, wong sahabat nabi gak onok sing seko jowo, opo maneh sing penggawean-e ndalang. Untuk itu, tauladan mengaji yang dilagukan adalah dalam model arab.
Alasan kedua mengapa mengaji harus dalam cara arab, adalah al-Qur'an itu bagian bacaan dari sholat. Kita sholat --mengikuti tauladan Rasulullah-- bacaannya bahasa arab. Untuk itu, maka mengaji juga dicontohkan dalam langgam arab. Karena mengaji dan sholat itu satu model. Apa jadinya jika kita misalnya, dalam sholat trus membaca al-Fatihah dalam langgam jawa ? Lak gak genah, sholat-e durung rampung, malah mari ngono metu wayang-e. Hahaha.... [] haris fauzi - 27 mei 2015
No comments:
Post a Comment