Ketika jaman revolusi terjadi di tanah air, kedekatan Jakarta terhadap Moskow disinyalir telah mengakibatkan subyektifitas yang menguntungkan aliansi sosialis-komunis. Antara tahun 1950-1960, ketika organisasi - organisasi berbasis komunisme memperbesar pengaruhnya, beberapa aktifitasnya meresahkan masyarakat. Namun, karena kedekatan dengan poros Moskow, kala itu pemerintah mendiamkan kelakuan negatif kaum komunis. Mungkin pemerintah sedang sibuk. Namun lama-kelamaan ketika sikap pendukung komunis yang bermusuhan --dan cenderung bengis-- kepada kaum agamawan memuncak, hingga terjadi beberapa pambantaian umat Islam dan pengerusakan masjid, dan ini ternyata dibiarkan saja oleh pemerintah, maka yakinlah bahwa memang Partai Komunis Indonesia kala itu sedang di atas angin. Sebagai partai empat besar, sebagai partai dengan pertumbuhan tercepat, sebagai partai yang paling dekat dengan kekuasaan, tentulah PKI menjadi organisasi yang super-kuat. Partai yang kuat, tentunya bercita - cita menjadi penguasa. Wajar.
Dibalik beberapa keributan yang di-kompor-i oleh partai organisasi komunis di banyak daerah pada era 50-an, nyaris semuanya bertujuan merebut kekuasaan atau wilayah, seperti wilayah perkebunan, pendudukan kantor pemerintahan, atau penyerangan kepada tokoh agama dan tokoh masyarakat. Semua berujung ke "kekuasaan". Secara garis partai, provokasinya adalah "gerilya petani di desa, revolusi kaum buruh di kota". Pantaslah bila pada tahun 1965, pimpinan PKI DN Aidit menyatakan bahwa dia menghendaki eskalasi dari seluruh perjuangan yang telah ada. Apa bentuk eskalasinya ? Tidak ada yang jelas mengenai ini, tapi bila kata kuncinya adalah kekuasaan, maka titik puncak eskalasi yang dimaksud adalah "Pimpinan Negara". Bukankah begitu ?
Maka disusunlah rencana "merebut kekuasaan" yang menjadi puncak dari semua keributan-keributan perebutan kekuasaan yang telah pernah dijalankan itu. Puncaknya yakni PKI harus berkuasa menggantikan presiden Soekarno. Awalnya, bisa jadi bukan makar yang direncanakan, melainkan suksesi belaka. Namun apa lacur, Presiden Soekarno saat itu tak hendak lengser, walau kondisinya sedang sakit. Namun bukan masalah itu saja yang membuat PKI berancang - ancang sebuah makar. PKI sudah merasa bahwa suksesi yang bakal terjadi, tidak 100% mengarah mulus kepada PKI, melainkan ada kemungkinan mengarah kepada militer. Dalam arti, bila Soekarno turun jabatan, kondisi yang paling mungkin adalah adanya vacuum of power, yang mana sangat memungkinkan negara bakal diambil alih oleh militer. Andai ini terjadi, pupuslah sudah cita - cita PKI menjadi penguasa di Indonesia.
Namun, boleh jadi Aidit optimis perihal keberpihakan Soekarno kepada pihak sosialis. Aidit tentu ingat bagaimana ada berita dahsyat bahwa Soekarno pada tahun 1945 telah membuat surat wasiat kepada tokoh kiri kala itu, yakni Tan Malaka. Isi surat wasiatnya adalah --ringkas ceritera-- Tan Malaka sebagai suksesor Soekarno. Konon Hatta tidak menyetujui surat wasiat ke Tan Malaka ini. Dan kabar tentang surat wasiat itu semakin kabur dimakan waktu. Apalagi pada tahun 1948, ketika Belanda mencoba menjajah Indonesia, Tan Malaka memilih aliansi gerilya bersama Jenderal Soedirman. Aliansi ini kecewa dengan Soekarno yang malah memilih jalur diplomatik, walau posisinya tersandera. Dalam gerilya tersebut, Tan Malaka mengutuk Soekarno yang tak mau "masuk hutan gerilya". Kicauan Tan Malaka ini membuat Soekarno gusar. Soekarno memerintahkan beberapa pasukannya untuk memburu Tan Malaka, dalam perintah ini, Soekarno meledek "keras-kepala !" kepada Soeharto karena Soeharto tidak mau ikut memburu Tan Malaka. Belakangan baru ketahuan, Soeharto memburu "surat wasiat" tersebut, bukan Tan Malaka-nya. Walau jebakan yang dipasang Soeharto hanya bisa menjebak surat duplikatnya. Buntut pengejaran Tan Malaka berakhir ada Februari 1949 dimana muncul berita bahwa Tan Malaka ditembak oleh pasukan Letda Soekotjo. Penembakan Malaka malah membuat Hatta marah. Bagaimana-pun Malaka adalah tokoh perjuangan, harusnya ditangkap hidup - hidup. Kabar surat wasiat ini makin kabur ketika konon surat aslinya lenyap, sementara surat yang direbut Soeharto --belasan tahun kemudian setelah Malaka meninggal-- dari pasukan loyalis Tan Malaka adalah palsu dan lantas surat bermasalah itu dimusnahkan oleh Soekarno. Ada yang bilang bahwa begitu Sokarno memburu Tan Malaka, maka surat aslinya sudah diserahkan oleh aktivis partai Murba kepada Soekarno. Partai Murba adalah organisasi bentukan Tan Malaka, Ch Saleh, dan Sukarni. Ke-ghaib-an surat wasiat itu memang mengelikan, menggelikan sebagaimana Supersemar,-- tapi merujuk kisah surat wasiat ini, bisa jadi memang Soekarno lebih condong kepada tokoh - tokoh sosialis untuk jadi penerusnya. Ini yang dipercaya Aidit. Toh Hatta -yang tidak menyetujui suksesi ke Malaka-- kala itu seudah tidak menjabat sebagai Wakil Presiden.
Namun, boleh jadi Aidit optimis perihal keberpihakan Soekarno kepada pihak sosialis. Aidit tentu ingat bagaimana ada berita dahsyat bahwa Soekarno pada tahun 1945 telah membuat surat wasiat kepada tokoh kiri kala itu, yakni Tan Malaka. Isi surat wasiatnya adalah --ringkas ceritera-- Tan Malaka sebagai suksesor Soekarno. Konon Hatta tidak menyetujui surat wasiat ke Tan Malaka ini. Dan kabar tentang surat wasiat itu semakin kabur dimakan waktu. Apalagi pada tahun 1948, ketika Belanda mencoba menjajah Indonesia, Tan Malaka memilih aliansi gerilya bersama Jenderal Soedirman. Aliansi ini kecewa dengan Soekarno yang malah memilih jalur diplomatik, walau posisinya tersandera. Dalam gerilya tersebut, Tan Malaka mengutuk Soekarno yang tak mau "masuk hutan gerilya". Kicauan Tan Malaka ini membuat Soekarno gusar. Soekarno memerintahkan beberapa pasukannya untuk memburu Tan Malaka, dalam perintah ini, Soekarno meledek "keras-kepala !" kepada Soeharto karena Soeharto tidak mau ikut memburu Tan Malaka. Belakangan baru ketahuan, Soeharto memburu "surat wasiat" tersebut, bukan Tan Malaka-nya. Walau jebakan yang dipasang Soeharto hanya bisa menjebak surat duplikatnya. Buntut pengejaran Tan Malaka berakhir ada Februari 1949 dimana muncul berita bahwa Tan Malaka ditembak oleh pasukan Letda Soekotjo. Penembakan Malaka malah membuat Hatta marah. Bagaimana-pun Malaka adalah tokoh perjuangan, harusnya ditangkap hidup - hidup. Kabar surat wasiat ini makin kabur ketika konon surat aslinya lenyap, sementara surat yang direbut Soeharto --belasan tahun kemudian setelah Malaka meninggal-- dari pasukan loyalis Tan Malaka adalah palsu dan lantas surat bermasalah itu dimusnahkan oleh Soekarno. Ada yang bilang bahwa begitu Sokarno memburu Tan Malaka, maka surat aslinya sudah diserahkan oleh aktivis partai Murba kepada Soekarno. Partai Murba adalah organisasi bentukan Tan Malaka, Ch Saleh, dan Sukarni. Ke-ghaib-an surat wasiat itu memang mengelikan, menggelikan sebagaimana Supersemar,-- tapi merujuk kisah surat wasiat ini, bisa jadi memang Soekarno lebih condong kepada tokoh - tokoh sosialis untuk jadi penerusnya. Ini yang dipercaya Aidit. Toh Hatta -yang tidak menyetujui suksesi ke Malaka-- kala itu seudah tidak menjabat sebagai Wakil Presiden.
PKI berjudi. Belajar dari pengalaman membantai umat Islam dimana PKI merasa di-menang-kan, maka bisa jadi ketika hendak bergulat dengan TNI-AD -pun, PKI menghitung keunggulannya. Harapannya, Soekarno akan memihak dirinya sebagaimana pemerintah membiarkan PKI membantai umat terbesar di Indonesia. Maka disusunlah pola makar tersebut. Tujuannya adalah menghilangkan peluang TNI sebagai suksesor Soekarno. Caranya ? Ya melenyapkan tokoh - tokoh TNI-AD yang disinyalir bakal menjadi calon suksesor Soekarno. Sederhana. Trigger utamanya adalah isyu Dewan Jenderal akan mengkudeta Soekarno, mangkanya harus dilenyapkan.
Sebetulnya tidak hanya itu, PKI juga menyimpan kebencian kepada TNI-AD karena TNI AD selalu menjegal rencana PKI untuk membentuk angkatan ke-lima, yakni buruh dan tani yang dipersenjatai. Usulan angkatan ke lima ini sejatinya pada posisi draw di kepala Soekarno. Namun, selalu dimentahkan oleh perwira TNI. Dan, dengan pikiran sehat, Soekarno menyetujui penolakan dari TNI.
Makar gestapu ini rencana besar dan detil. Mereka berencana menculik para jenderal, kemudian memaksa jenderal mengakui adanya dewan jenderal yang hendak mengkudeta Soekarno. Bila ini terwujud, negara tidak percaya lagi kepada TNI AD, dan suksesi yang bakal terjadi adalah dari Soekarno ke PKI. Itu rencananya. Namun, rencana besar itu ternyata meleset karena dua faktor, yakni faktor ketergesa-gesaan, dan faktor khilaf.
Faktor ketergesa-gesaan, yakni Aidit sepertinya merancang dengan terburu - buru mengingat kesehatan Soekarno yang terus menurun, bila tidak tertolong, maka dikhawatirkan akan mempercepat terjadinya suksesi yang kemungkinan besar akan jatuh ke tangan militer.
Faktor Aidit tergesa - gesa juga diakibatkan oleh semakin dekatnya Soekarno terhadap Njoto, tokoh propaganda PKI. Soekarno dekat dengan Njoto karena Njoto mempopulerkan istilah "Soekarnoisme", yang demikian disuka oleh Soekarno. Soekarno-pun menyukai gaya flamboyan Njoto terhadap wanita. Sebagai tokoh komunis pro-moskow yang selalu berdandan dandy, Njoto terkenal flamboyan, apalagi memahami seni dan menguasai musik. Sokarno dan Njoto setipe dalam pandangan ihwal wanita. Ini berbeda dengan Aidit yang tipikal komunis pro-Peking, yang membenci adanya romantisme pria-wanita. Aidit pikirannya adalah buruh dan tani. Konon karena hal ini, Njoto pada tahun 1964 jabatannya dicopoti oleh Aidit karena ketahuan affair dengan gadis bule. Sementara Soekarno senyum sahaja mengetahui hal ini. Kedekatan Njoto mengundang cemburu Aidit. Bila terus berkelanjutan, bisa saja Njoto menjadi putera mahkota Soekarno.
Pilihan Soekarno terhadap Njoto ini nyaris benar, dari sisi loyalitas. Terbukti, dalam sidang menteri paska penculikan, Aidit tidak hadir. Malah Njoto yang hadir, padahal pangkat dia di PKI sudah dipreteli. Pada saat itu Njoto menyatakan bahwa kasus penculikan itu adalah masalah internal AD. Hal ini merujuk pada keterlibatan Letkol Untung yang menjadi komando lapangan. Kontan Soeharto yang juga hadir, nyaris berargumen. Untungnya Soekarno menenangkan keadaan dengan berkata," ... ini riak kecil dalam samudera...".
Ketergesa-gesaan Aidit juga terbukti dari hasil kerja Sjam Kamaruzzaman yang belum optimal. Sjam --salah satu biro khusus PKI-- bertugas menjalin koneksi dengan TNI. Dan terbukti bahwa jaringan Sjam baru bisa merangkul Tjakrabhirawa, dimana Letkol Untung berdinas, itupun kabarnya tidak semua. Itulah kenapa paska penculikan jenderal, hanya Tjakrabhirawa yang terlihat dominan berkonfrontasi dengan pasukan Kostrad. Tentu ini bukan pertempuran seimbang, sehingga Letkol Untung melarikan diri. Konon, Letkol Untung yang sangat loyal kepada Presiden dikabarkan termakan propaganda Sjam dengan dalih "menyelamatkan Soekarno dari Dewan Jenderal", serta janji pangkat dari PKI bahwa pangkat tertinggi adalah Kolonel bila revolusi berjalan lancar. Dan pangkat Untung hanya satu langkah dari pangkat tertinggi tersebut.
Pilihan Soekarno terhadap Njoto ini nyaris benar, dari sisi loyalitas. Terbukti, dalam sidang menteri paska penculikan, Aidit tidak hadir. Malah Njoto yang hadir, padahal pangkat dia di PKI sudah dipreteli. Pada saat itu Njoto menyatakan bahwa kasus penculikan itu adalah masalah internal AD. Hal ini merujuk pada keterlibatan Letkol Untung yang menjadi komando lapangan. Kontan Soeharto yang juga hadir, nyaris berargumen. Untungnya Soekarno menenangkan keadaan dengan berkata," ... ini riak kecil dalam samudera...".
Ketergesa-gesaan Aidit juga terbukti dari hasil kerja Sjam Kamaruzzaman yang belum optimal. Sjam --salah satu biro khusus PKI-- bertugas menjalin koneksi dengan TNI. Dan terbukti bahwa jaringan Sjam baru bisa merangkul Tjakrabhirawa, dimana Letkol Untung berdinas, itupun kabarnya tidak semua. Itulah kenapa paska penculikan jenderal, hanya Tjakrabhirawa yang terlihat dominan berkonfrontasi dengan pasukan Kostrad. Tentu ini bukan pertempuran seimbang, sehingga Letkol Untung melarikan diri. Konon, Letkol Untung yang sangat loyal kepada Presiden dikabarkan termakan propaganda Sjam dengan dalih "menyelamatkan Soekarno dari Dewan Jenderal", serta janji pangkat dari PKI bahwa pangkat tertinggi adalah Kolonel bila revolusi berjalan lancar. Dan pangkat Untung hanya satu langkah dari pangkat tertinggi tersebut.
Faktor khilaf yang menimpa skenario makar PKI ada dua. Yang pertama yakni, diluar perhitungan, semua jenderal yang diculik tidak ada satu-pun yang mengakui sebagai dewan jenderal. Hal ini membuat "geregetan" para penyiksa, yang akhirnya saking jengkelnya, membunuh jenderal - jenderal yang tak mau mengaku itu. Ini fatal dan diluar kendali PKI. Membunuh jenderal, sama saja dengan menantang bertempur. Semangat kesatuan militer itu tinggi, maka dengan adanya pembunuhan ini, --yang dibunuh jenderal pula-- nyaris semua tentara TNI AD bersedia dikerahkan dengan sekali perintah untuk melabrak PKI. Celah ini yang diambil oleh Soeharto. Soeharto meneriakkan komando "lawan pembunuh jenderal". Dan babak belurlah PKI dilindas tentara-tentara yang mengamuk tersebut.
Kasus khilaf yang kedua adalah PKI terlewatkan menculik Soeharto. Soeharto saat itu tidak masuk radar PKI karena sedang tidak dalam posisi terbaiknya. Soeharto sedang bermasalah dengan reputasi kerjanya saat di Jawa Tengah. Ada yang bilang Soeharto di mutasi dari Jawa Tengah karena terbelit kasus. Dengan adanya belitan kasus ini, PKI menganggap Soeharto bukanlah salah satu calon penganti Soekarno. TNI AD tak bakalan mencalonkan perwira bermasalah.
Akhirnya, gerakan penculikan yang populer dengan sebutan gestapu (gerakan september tiga puluh) itu berantakan. Rasa bersalah telah membesarkan komunis ditambah kelelahan yang mendera Soekarno, membuat Soekarno seakan - akan membiarkan TNI leluasa menghajar musuhnya. Belum puas dengan itu, Soeharto mengumumkan pembubaran PKI. Dengan dibubarkannya PKI, mereka yang dulu pernah dianiaya oleh PKI akhirnya ikutan mengangkat senjata menuntut balas. Aksi sporadis ini tanpa diduga terjadi spontan dimana - mana sebagai ungkapan dendam. Pemerintah yang masih compang-camping tidak siap menyetop aksi balas dendam ini, walhasil terjadilah "main hakim sendiri". Orang - orang berfaham komunis dibantai habis - habisan. Setelah beberapa bulan, barulah pemerintah mampu mengendalikan hal ini, namun korban sudah terlanjur berjatuhan.
Seperti yang dikhawatirkan Aidit, suksesi-pun akhirnya terjadi dari Soekarno ke tangan militer. Dan Soeharto, perwira yang tidak masuk radar tadi, akhirnya menjadi Presiden menggantikan Soekarno. [] haris fauzi, 1 okt 2015
No comments:
Post a Comment