Friday, November 27, 2015

antara kartu kredit dan kartu ATM

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Al-Baqarah: 278) Makajika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. Al-Baqarah: 279)


Saya selalu merasa ada penekanan yang berbeda setiap ada kajian Islam atau bahasan --entah di grup atau di manapun-- mengenai riba. Ya, riba, hal yang terkait dengan rentenir, meminjamkan uang, dengan imbalan sehingga uang yang dikembalikan menjadi lebih besar, atau jauh lebih besar.

Dimanakah yang berbeda ? Begini, kebanyakan pembahasan - pembahasan itu 'hanya' menekankan kepada dua macam traksaksi, yakni transaksi cicilan dan transaksi kartu kredit. Bukankah begitu ? Saya tidak menyalahkan pembahasan tersebut. Saya setuju bahwa praktek cicilan dan kartu kredit merupakan praktek - praktek yang sering kita jalani, dan ternyata praktek - prektek itu mengandung riba. Setuju.

Tapi, itu kurang komplit. Muncul pertanyaan, mengapa ustadz, pakar, dan hampir semua pembahas riba itu melupakan "bunga rekening" ?

Saya salut dengan para pembahas riba yang kebanyakan memiliki pengalaman terlilit hutang dan kemudian berhasil melepaskan diri dari praktek cicilan dan praktek kartu kredit. Mangkanya beliau - beliau ini senantiasa membahas praktek riba di ranah cicilan dan ranah kartu kredit.

Berlatar itulah, maka jargon melepas dari praktek riba adalah "potong kartu kredit-mu !". Tapi tahukah kita, bahwa tidak hanya "potong kartu kredit" saja ? Mengapa hanya "kartu kredit" ?
Bukankah seharusnya "potong kartu ATM-mu sekarang !" juga merupakan jargon utama anti riba ?

Begini ceritanya, sejatinya dalam kasus riba, ada pelaku pemakan riba, ada pelaku pemberi riba. Pemakan riba adalah mereka yang memakan keuntungan riba, bukan orang yang makan dengan berhutang. Melainkan mereka yang "makan" atau membeli makan dengan hasil membungakan pinjaman, rentenir. Tahukah kita semua, bahwa "memakan riba" itu berdosa besar, dan pelaku riba berdosa melebihi zina ?

Mari kita bahas "pemakan riba", yakni orang yang memakan riba. Bukan orang yang meminjam duit, bukan orang yang berhutang. Melainkan mereka yang meminjamkan duit, mencari rejeki menjadi rentenir. Tidak hanya rentenir. tetapi juga penyimpan uang di bank (non-syariah), yang mana kemudian pihak bank meminjamkan dana terkumpul tadi, dengan pengembalian cicilan berikut bunga, sehingga penyimpan duit akan menerima sebagian bunga tadi, dan ini tercantum dalam transkrip rekening.

Tentu pemakan riba ini berbeda dengan pemberi riba. Pemberi riba adalah orang yang terjerat hutang, dan mencicil dengan memberikan bunga. Inilah yang disebut dengan terjerat hutang, itulah yang disebut korban riba. Apakah korban riba tidak berdosa ? Walaupun Islam menegaskan untuk membantu seseorang agar terbebas dari hutang, tetapi jelas pelaku "pemberi riba" ini jelas berdosa, karena diidentifikasi sebagai pelaku riba pula, karena memberikan riba atau membayar bunga. Siapakah mereka ? mereka adalah mencicil, pemegang kartu kredit, mereka yang berhutang sana - sini dengan membayar bunga.

Dari jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulis dan kedua orang yang menjadi saksi atasnya” Ia berkata: “Mereka itu sama (saja).” (Hadits riwayat Muslim, 3/1219.)

Jadi, sejauh ini yang dibahas dalam konteks "pembebasan riba" selalu -kebanyakan-- adalah pemberi riba. Korban rentenir, korban kartu kredit, korban cicilan rumah, cicilan mobil, dan sebagainya. Jarang sekali membahas mengenai pemakan riba. Siapakah pemakan riba ? Rentenir, tentunya. Siapa lagi ? Ya tentunya pemilik nasabah di bank, pemilik rekening, yang mana duitnya diperpinjamkan oleh bank kepada peminjam (pemberi riba), kemudian riba tersebut dibagi menjadi "bunga" yang disaldokan dalam rekening. Siapakah mereka ? Mereka adalah pemilik rekening, pemilik kartu ATM.

Beberapa orang tidak mempermasalahkan hal ini, karena bunga tersebut bisa diambil dan lantas disumbangkan masjid. Tahukah anda apakah resiko menyumbangkan uang hasil bunga bank ?

Resiko pertama adalah anda beramal dengan sesuatu yang buruk, ini dibenci oleh Allah SWT. Sebagaimana Qabil yang kurbannya tidak diterima Allah karena membuat persembahan dari hasil yang buruk. Resiko kedua adalah, perbuatan menyumbangkan bunga bank sama sekali tidak menyelesaikan masalah korban riba, karena bunga yang dia berikan, kita serahkan kepada orang lain, bukan di kembalikan. Cara menyelesaikan korban riba, pemberi riba, adalah membebaskannya dari hutang. Bukan dengan membayarkan bunganya sebagai amal ke masjid. Ini salah kaprah.

Lantas mengapa kedua orang,-- pemakan riba dan pemberi riba-- sama - sama berdosa ? Tahukah kita bahwa dalam kasus penjajahan, kebanyakan orang beranggapan bahwa selalu saja "penjajah" dianggap yang bersalah. Tahukah kita bahwa dalam kasus perkosaan, selalu saja "pemerkosa" dianggap bersalah sendirian. Padahal penjajah itu tidak akan bisa menjajah bila tidak ada yang mau dijajah. Demikin juga pemerkosa tentu tidak akan melakukan pemerkosaan bila hasratnya tidak dipancing, kecuali penjajah dan pemerkosa yang sudah membabi buta.

Lihatkah kasus penjajahan di Indonesia, ada saja warga Indonesia yang berkolaborasi memperlancar-langgengkan negara lain menjajah negeri ini. Lihatlah kasus perkosaan, banyak yang terjadi gara - gara wanita mengenakan baju minim. Demikian juga dengan kasus rentenir. Tidak jarang mereka yang terjepit finansial memohon pinjaman kepada rentenir dengan konsesi bunga yang akhirnya mencekik mereka sendiri. Kadang, penjajahan, pemerkosaan, rentenir dimulai dari negeri yang mau dijajah, wanita yang pamer aurat, dan orang yang mengadu ke rentenir. Itulah kenapa mereka juga berdosa.

Akhirul kalam, paradigma riba itu tidak hanya di kartu kredit, tetapi juga di kartu ATM. Kartu kredit adalah fenomena pembayar riba, sementara kartu ATM (non-syariah) adalah fenomena pemakan riba. Keduanya berdosa, sebagaimana semua yang terlibat dalam urusan riba tersebut. Wallahu'alam. [] haris fauzi, jum'at 27 Nopember 2015

No comments: