JALAN SIAPA
Saya tinggal di rumah - rumah berderet. Orang menyebutnya dengan kompleks perumahan. Nggak cuma rumahnya, ternyata kompleks juga permasalahannya. Kompleks tersebut memiliki dua akses jalan utama, yang gerbang utama menuju jalan raya, yang pintu 'belakang' menembus jalan kampung. Nah, marilah kita baca bersama - sama ceritera tentang tembusan jalan kampung tadi, saudara - saudara sekalian.
Jalan belakang tadi akhirnya menyatu dengan jalan kampung. Dan pihak pengembang ikut berpartisipasi dalam perbaikan jalan tersebut. Sejauh ini tidak masalah. Namun, jalan kampung itu sendiri cuma pendek, hanya berkisar 200 meter, yang mana lantas tiba di pertigaan dan menyambung dengan sebuah jalan. Jalan terakhir ini merupakan jalan akses ke barak militer dari arah jalan raya. Ya, jalan belakang kompleks saya akhirnya bisa menjangkau jalan raya juga, namun harus melewati dua ruas jalan lainnya, yakni jalan kampung dan jalan akses militer.
Problem muncul ketika di barak militer tersebut ada proyek pengerukan tanah. Puluhan truk tanah melewati jalan akses militer tersebut tiap harinya. Walhasil jalan tersebut hancur lebur babak belur. Sungguh tersiksa mobil tua saya melewatinya.
Ditilik dari sejarahnya, memang gak gampang. Katanya tukang ojek, dulu jalan itu gak ada. Baru setelah barak militer itu mulai ada, maka jalan itu ada. Saya kurang sepakat karena tukang ojek itu ada setelah kompleks mulai banyak penghuninya. Sementara jalan kampung dan jalan militer itu sudah lama ada sebelum para tukang ojek mendominasi daerah ini. Dan lagi menurut penjual buah, jalanan itu dulu sudah ada tetapi berupa jalan kampung. Kecil dan nggak beraspal. "Seperti jalanan dekat kuburan itu", gitu jelasnya. Di kuburan itu ada jalan semi setapak. Namun kini sudah di aspal. Dulunya ya jalan tanah kalo boleh dikata malah semi makadam.
Dengan kiprah militer dalam merenovasi jalanan tersebut, maka terjadi petakompli. Soalnya kini jalanan tersebut hancur lebur, juga karena proyek militer. Beberapa tetangga yang senantiasa melewatinya mungkin bertanya-tanya,"...kok jalanan ini jadi hancur, begini, ya... siapa yang musti benerin....?", sambil garuk - garuk kepala. Warga ditepian jalanan tersebut mungkin menggaruk kepalanya lebih keras, sambil berjalan manggut - manggut mengukur jalan seperti Sokrates,"..ini jalan siapa ya ?..ini jalan siapa ya ?".
Lain lagi rumah orang tua saya di Malang. Karena membeli tanah di kapling kampung, dimana lokasinya berada di tengah, maka harus menyediakan tanah membujur sebagai jalan. Membujur hingga menembus ke jalan kampung. Ya kalau semua di bangun rumah tentunya malah gak bisa masuk. Apalagi masih terhalang satu kapling punya orang lain. Jadinya janjian dengan tetangga kapling tersebut."Pren, ntar kalo bangun rumah, You musti sisain tanah buat jalan kita - kita nih...Ogut juga gitu...", mungkin deal-nya seperti itu.
Walhasil semakin pembangunan merangsek ke tengah, maka jalanan itu bertambah panjang jua seiring pembangunan rumahnya. Akhirnya setelah genap beberapa rumah, maka jalanan itu sudah panjang. Jalan ini menembus ke jalan kampung sebagai semacam gang. Rumah orang tua kami berada di posisi kedua dari ujung gang yang menjadi akses ke jalan kampung tadi. Tetangga kapling menjadi rumah pertama dalam gang tadi. Jalan ini namanya jalan wakaf. Istilah di kampung sono seperti itu. Mungkin hampir sama dengan tempat tinggal PakLik saya di Bandung. Beliau ini membangun rumah dan tinggal di pemukiman yang semula tanah kapling. Saya rasa begitu. Akhirnya mereka membuat jalan - jalan seperlunya --makin banyak penghuni maka jalanan juga makin panjang--, dan diberi nama seperlunya juga.
Rumah kakek saya ada di desa Gentan. Kakek dari pihak Ibu. Pekarangannya luas, mungkin seluas lapangan sepak bola. Rumahnya juga cukup besar --mungkin berkamar 10. Pekarangan seluas itu tidaklah berpagar. Kanan - kiri berpagar batas dengan tetangga, tetapi depan - belakang tidak berpagar. Blong - blongan begitu saja. Orang lalu lalang dari tepi warung depan nembus ke tepi kombong. Memang Nenek saya punya warung terletak di ujung halaman depan, dan kandang ayam (kombong) di belakang rumah. Dua sisi ini sengaja tidak berpagar,"...Biar orang banyak lewat sekalian menambah pahala. Dan lagian kalau di pagar repot musti nge-gembok segala...", gitu alasannya.
Ternyata rumah Nenek saya dari pihak Bapak juga begitu. Ada dua sisi yang tidak berpagar dan boleh dilewati siapapun termasuk maling. Bahkan di pekarangan rumah ini orang bisa melintas dari kiri ke kanan rumah...melewati depan pendopo sekalian. Bisa saja sekalian ngembat jemuran.
Dan rumah itu sudah berusia lebih lima puluh tahun, otomatis jalan itu juga sudah jamak. Jalan itu tidak beraspal, hanya tanah liat yang mengeras berselaput pasir khas gunung Merapi. Karena memang aslinya kan pekarangan, ngapain juga di aspal - aspal segala. Yang lewat sudah banyak sekali, anak sekolah, pedagang, kadangkala pick-up sayuran juga menyempatkan lewat. Ya, bahkan kendaraan bermotor-pun boleh berseliweran lewat. Soalnya jaman sekarang sudah sedikit yang mengendarai sepeda kayuh. Bayangkan, halaman depan tembus halaman belakang, bebas merdeka. Kalau suatu saat jalan itu akhirnya harus ditutup, entah gimana jadinya. Atau akan muncul Sokrates lagi ? [] haris fauzi - 21 Nopember 2007
salam,
haris fauzi
haris fauzi
Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.