Monday, November 05, 2007

kenisah : puzo

PUZO

Sekitar tahun 90-an, seorang kerabat membawa dua buku ke hadapan saya. "Wuaapikk iki, Ris", kerabat bilang gitu. 'Apik'. Tapi dalam bahasa Malang ditekankan menjadi seperti itu, diimbuhi huruf 'w' dan 'u', serta vokal 'a' yangdipanjangkan. Buku ini berjudul 'Orang - Orang Sisilia -buku satu' dan 'Orang - Orang Sisilia -buku dua'. Penulisnya seorang Amerika pelancong bernama Mario Puzo. Judul aslinya 'The Sicilian'. Sejak agak lama saya sudah mengetahui bahwa novel ini bagus, tetapi saya tidak kesampaian untuk membacanya.

Saya meminjam kedua buku tersebut, dan membacanya dengan secepat mungkin agar secepat itu pula bisa dikembalikan. Isinya yang paling membekas di benak adalah problem vendetta, balas dendam. Suatu rangkaian intrik antar gangster yang selalu memiliki milestone balas dendam, dalam bahasa Sisilia disebut dengan 'vendetta'. Dunia mafioso. Hanya itu yang dulu saya rekam dengan baik, bahwa Sisilia berlumuran vendetta. Dan buku itu segera saya kembalikan.

Seingat saya tahun 1995, ---ketika teknologi VCD merajalela, saya kedatangan kerabat lain lagi, "Ini pesanan kamu, jagoan kamu, Al Pacino...", begitu dia bilang sambil mengulurkan tiga bungkus VCD. Judulnya 'Godfather part 1-3'. Kumplit. Mungkin total sekitar 9 keping. Kabarnya nggak ada yang bilang bahwa film ini buruk. Saya menontonnya begitu ada kesempatan. Memang tidak 'khusyuk', tapi saya bisa mengambil beberapa hal yang mengesankan, bahwa ternyatadunia mafia itu rapi, tertib. Dan jelas, mereka mengejar kekayaan. Mempertahankan reputasi dan keluarga bisnis mereka sampai darah penghabisan. Benar - benar sekuel yang wajib tonton, apalagi bagi yang sudah pernah membaca 'The Sicilian', karena kisah Godfather ini adalah lanjutan dari buku tersebut. Keduanya karya Mario Puzo.

Kalau ini mungkin lebih presisi. Tahun 1997, atau tahun 1998, atau mungkin tahun 1999, ketika saya harus beberapa kali bepergian ke Solo, saya berusaha menyempatkan untuk menonton mini seri yang diputar di televisi swasta --yang kadangkala berbenturan jadwal dengan kepergian saya itu. Judulnya 'Tha Last Don'. Film-nya digarap modern berdasarkan tulisan Mario Puzo juga. Keren abis, namun sayangnya saya hanya menikmatinya ketika menonton di rumah, tidak ketika bepergian. Sungguh tidak masuk akal untuk menikmati film itu dengan baik selagi kita bepergian atau sambil berleha - leha di hotel, ketika harus menginap. Atau ketika mengenakan kemeja premium lantas memasuki resto sambil makan malam bareng pacar saya.

Film seri itu bercerita tentang suksesi di tubuh organisasi mafia. Hingga kepemimpinan terakhir. Don terakhir, seperti ekor kadal. Mereka memang ada, tapi taringnya makin meredup. Film 'Tha Last Don' menyisakan titik bagi saya, titik itu bernama 'kekuasaan'. Kekuasaan itu seperti pusaran air. Mereka berusaha memusarkan air kehidupan mereka sekencang - kencangnya supaya air memusar makin lebar dan makin lebar. Namun suatu kala pusaran itu mengecil.
Sudah setengah mati saya berusaha mendapatkan seri film ini. Namun tak kunjung juga mendapatkan. Yang saya tau, saya pernah sekilas melihat bukunya yang bersampul hitam di sebuah toko buku, namun saya tidak membelinya walau sempat menimang - nimangnya.

Seminggu lalu saya menyempatkan membeli buku 'The Sicilian', ya buku yang saya ceritakan di atas tadi, 'Orang - Orang Sisilia'. Cetakan baru, digabung jadi satu setebal hampir enam ratus halaman. Saya membelinya karena ingin membacanya ulang. Ternyata membaca buku pinjaman berbeda dengan milik sendiri. Dan, jauh lebih banyak yang menarik bagi saya karena saya bisa membacanya step-by-step, dan mengulang apa yang tidak saya fahami. Bolak - balik depan belakang, mencari titik temu dan benang merah. Mencoba mencari tau mengapa satu hal terkait dengan yang lain lewat rajutan yang mana dan bagaimana. Mengapa seorang pahlawan Sisilia bernama Guiliano harus bertempur melawan mafia, dan lantas berkolaborasi. Turi Guiliano mirip lakon dalam film Braveheart, yang muncul secara tidak sengaja karena ketertindasan yang kebetulan.

Mario Puzo memang edan. Dia bisa merangkai hubungan mafia, pemberontak, keuskupan, pemerintah, koruptor, dan partai politik untuk berkusut - kusut ria menjadi satu ditimpali vendetta dan muntahan lupara yang berdarah - darah. Jalinan romantisme juga dilibatkan, tapi bisa kita kesampingkan.
Tengoklah kisah Don Croco dalam buku ini, yang mana memiliki adik pendeta bernama Benjamino. Croco banyak menerima informasi penting dari Benjamino. Benjamino menyampaikan kepada kakaknya, bahwa ada seorang pembunuh yang mengaku membunuh orang kepercayaan Croco, mungkin karena perselisihan bisnis. Pembunuh ini hanya mengaku lewat bilik pengakuan dosa kepada Benjamino yang pendeta. Tak salah Benjamino menginformasikan kepada Don Croco, karena Don adalah kakaknya. Lantas Don Croco mengumumkan vendetta, dan tak lama kemudian mayat pembunuh itu tergeletak di persimpangan jalan dengan daging tercincang ratusan peluru dari lupara, malam tadi.

Memang vendetta menguasai jalannya cerita, balas dendam. Seperti apa yang saya baca dari buku pinjaman. Tapi di buku pinjaman, saya hanya mencari siapa membalas siapa, mengetahui siapa membunuh siapa. Berbeda. Dalam buku yang saya beli, walau saya yakin isinya sama,-- saya menemukan lebih banyak ketimbang sekedar pembunuhan balas dendam. Bahwa konflik kepentingan bisa berujung pengkhianatan. Dan di dunia mafia berbeda dengan kalangan bandit. Mafia tidak pernah berbohong, walau kepada musuhnya. Mereka bisa mengobrol sambil berbagi cerutu dan saling menuangkan capucino di restoran mahal dengan baju jahitan London atau Roma, ... sementara nanti malam para kepercayaan mereka merencanakan untuk saling membunuh. Mereka merestui, dan lantas mengumumkan perhitungan dengan jantan tanpa menunggu fajar merekah. Dunia yang penuh perhitungan.

Bagaimana sebuah negara ditentukan oleh partai politik, dan bagaimana mafia mengendalikan partai politik, bagaimana kaum mafia menjalar hingga barisan eksekutif dan kepolisian, dan lantas mereka mengajak mafioso kompetitor menjadi sekutu dalam satu kepentingan tertentu, dan mungkin saja mereka lantas bertempur lagi begitu meninggalkan meja pejamuan. Kehebatan Puzo tidak berhenti disitu sahaja. Puzo menjalin kata bagaimana seorang bandit pegunungan bernama Turi Guiliano bisa melumpuhkan hukum kepolisian, hingga masyarakatpun begitu terganggu oleh derap jalan patroli polisi. Rakyat Sisilia lebih menyukai rombongan pemberontak ini yang berjalan dengan rokok-nya melintas jalan desa. Rakyat melindungi pemberontak bernama Guiliano itu.

Diceritakan bagaimana jalan karir bandit Guiliano sehingga dia menjadi perhitungan kaum mafia tertinggi, sehingga dia membuat calon Perdana Menteri gusar. Ditingkahi adu tawar - menawar soal kepentingan, juga tak kurang sering disela oleh salak lupara. Dahsyat. Peluru berhamburan sebanyak hitungan nyawa dan geram balas dendam. Moncong lupara --senapan otomatis tanpa laras-- suatu saat berbicara lebih banyak ketimbang pemiliknya. Ini semua rasanya tidak saya jumpai ketika saya membaca buku pinjaman pertama kali. Mungkin karena tegesa - gesa.

Tentang sisa Trilogi-nya, 'Godfather' hingga 'The Last Don', akhirnya saya membuat skenario tersendiri. Bahwa saya harus membeli buku 'Godfather' terlebih dahulu, melahapnya sampai habis, lantas menonton filmnya. Kemudian saya membeli buku 'The Last Don', dan membacanya dengan baik, lantas.....bila saya tidak jua menemukan film-nya, maka saya hendak mengobrolkan akhir trilogi ini dengan anda. [] haris fauzi - 3 Nopember 2007

Untuk ulang tahun adik bungsu saya, ... juga untuk Fao, yang menyodorkan buku Puzo ke hadapan saya.

No comments: