Tuesday, February 05, 2008

kenisah : tentang tiga orang tanpa nama

TENTANG TIGA ORANG TANPA NAMA
 
Yang jelas, siapa orang yang hendak saya tulis bukanlah Ayah saya yang demikian kuat mempengaruhi diri saya. Juga bukan Ibu, Istri, kakak, anak, atau siapapun dalam lingkup saudara kerabat yang sudah terlalu sering berkeliaran dalam pena tulisan saya. Juga bukan tokoh - tokoh hebat yang mengacak - acak pola pikir serta menghabiskan energi otak saya seperti Edward W.Said, Ali Syariati, Albert Camus, AA.Navis.....atau tokoh super hebat Muhammad.
 
Yang hendak saya tulis adalah tiga orang teman, sahabat, mungkin lebih dari sekedar itu, orang --dekat atau jauh-- yang dengan ikhlas memberikan kontribusi perubahan terhadap diri saya. Sadar atau tidak. Maksud tulisan ini hanyalah dedikasi kepada mereka bertiga, karena saya merasa tidak punya kemampuan untuk membalas apa yang telah mereka berikan kepada saya. Tolong catat, mereka bukan orang tenar, bukan orang 'terbaik', dan pasti memiliki kekurangan layaknya orang lain. Orang biasa yang memberi dampak luar biasa kepada saya. Orang biasa. Mangkanya, tidaklah terlalu bermanfaat bila saya cantumkan nama mereka disini. Dan kalau ternyata jumlahnya ada tiga, mungkin pada kesempatan ini baru mereka bertiga, sisanya saya susulkan kemudian.
 
Saya terlahir sebagai anak tentara, dari Ayah tentara wajib militer yang alumni IAIN Syarif Hidayatullah, Ayah pengagum Khomeini dan Ali Syariati. Terbiasa bercengkrama di kalangan Islam modernis, karena sesepuh keluarga banyak yang simpasitas Muhammadiyah. Hingga suatu ketika saya berkenalan dengan seorang yang berasal dari komunitas Nahdatul Ulama."Tetapi saya banyak ketidak-cocokan dengan tokoh mesjid di kampung", gitu urainya. Dia bercerita bahwa sering adu mulut dengan para guru ngajinya, hingga para guru ngaji itu beristighfar, bahkan ada yang menuduhnya setengah kafir. Dari cerita - ceritanya saya tau dia pemberani dan tukang berontak. Dan, dia matang lewat pemberontakan seperti itu. "Pemberontak intelek", gitu suka saya sindir dia. "Kamu juga", balas dia.
 
Kami berdua memiliki latar belakang berbeda. Contohnya adalah soal maen keluar rumah. Saya harus lapor dengan jelas ke orang tua, maen kemana dan pulang jam berapa. Sementara dia bisa kabur dan kembali kapan dia mau. Itu baru satu contoh. Latar belakang yang agak berbeda inilah yang membuat kami malah sering bersama, dan juga sering berdebat akhirnya. Setelah banyak berdebat dengan dia,  walhasil saya juga jadi pendebat mendiang Ayah saya.
 
Dengan kondisi seperti itu, dia jelas - jelas seorang anti kemapanan dan menanamkan bibit anti 'anut grubyuk' ke jiwa saya. Saya menjadi lebih oposan semenjak bergaul dengan dia. Bagi saya, dia adalah pembebas dari fanatisme yang berlebihan. Namun lebih dari itu, karena gagasan - gagasannya yang sering mengundang tanda tanya, akhirnya dia memaksa saya untuk memperluas wawasan, membaca segala hal, dan bermain di ranah filsafat. Dia memang jagoan untuk mencerna artikel - artikel ruwet, dan saya banyak berguru kepadanya. Dunia lebih luas semenjak saya mengenal dia. Dan yang paling penting, saya menjadi mengerti saya harus menjadi apa.
 
Dia memiliki akselerasi. Dia cepat belajar, dan saya menangguk untung dari kelebihannya itu. Dia orangnya sangat akademis, logis, runtut, dan perfeksionis. Biasa saya menyukai musik perfeksionis, maka saya juga bisa mengimbangi gaya gaulnya. Dibanding dia, saya lebih pragmatis. Suatu saat kami berdebat hingga ujung langit. Kami berdua saling adu argumen dan adu jago menahan emosi, sampai bibir ini bergetar. Adu lihai mencari argumen dan referensi, tidak asal debat. Pertarungan logika, dan tidak boleh berdiam sejenak. Kami berdua sama kuat saat itu hingga waktu azan Ashar tiba. Akhirnya dia berkata dengan penuh wibawa,"Ayo solat, Ris...".
 
Orang kedua yang hendak saya tuliskan belum saya kenal dalam waktu lama. Namun dia termasuk orang yang memberi impak cukup dalam kepada saya. Terutama ke sikap saya, kali ini dari sisi emosi. Bisa jadi karena saya cenderung bersifat reaktif. Ya karena, kalo kata teman - teman-- saya seringkali 'meledak' hingga tak karuan lontaran mesiunya. Dahsyatnya, dia bisa menahan hal ini. Itulah kesaktiannya. Dia memaksa saya untuk berpikir dua kali sebelum 'meledak'. Ya, cuma itu. Kadang dengan gaya meledek, kadang sinis, kadang dengan gaya memohon, kadang dengan gaya bertutur seperti seorang guru, dia mengajari saya tentang itu.
 
Sebetulnya --aslinya-- saya tidak sesering itu untuk reaktif meledak - ledak. Tidak sesempit itu, soalnya reaksi bisa saja --biasa-- meledak ketika menyetir mobil, ketika ada problem di kantor, ketika pada posisi 'tidak menguntungkan', atau sekedar capek sahaja. Seperti ceritera di paragraf atas,  saya memang seringkali kurang elegan, kurang tata krama. Tabiat. Dan ketidak-sesuaian dengan keadaan sering membuat saya bereaksi negatif seperti menggerutu, mengumpat, atau menunjukkan sikap kecut. Dan dia memaksa saya untuk mencoba mengatur itu, tanpa memaksa saya menjadi kebo penurut. Kalo orang petama yang saya tulis tadi membuat saya sering melawan, dia malah membuat saya untuk tidak spontan 'lempar tonjok' dalam bereaksi. Aslinya dia menganjurkan untuk tidak reaktif --sama sekali--, tetapi tidak semudah itu bagi saya untuk menuruti apa katanya,  menjadi orang yang sama sekali tanpa reaksi. Hasil transponirnya adalah nilai tengah, pengendalian reaksi.
 
"Kali ini kamu mengubah saya", gitu suatu kali  saya berkata kepada dia. Dan dia cuma berkomentar pendek, "... saya gak merasa dan bermaksud seperti itu....kalau memang berubah jadi baik ya syukurlah...".
Kalau saya amati, kata - kata paling sering yang dilontarkannya kepada saya cuma dua kata: "sabar" dan "syukur". Itu saja kata 'sakti' miliknya.
 
Saya nggak cukup tau, dari mana dia mendapat kesaktian seperti itu, apakah dari Ibundanya yang kalo gak salah denger adalah seorang pendidik. Atau memang dari 'titisan'-nya sono. Sekali lagi saya tidak bisa berceritera banyak tentang orang ini, karena latar belakang dan segala hal tentang dia saya kurang hafal. Ya. Orang ini memang baru saya kenal, dan detik ini-pun saya belum jua bisa menjumpainya lagi.
Suatu ketika pernah terlontar keinginan hendak mencomot sedikit banyak profil beliau dalam tulisan saya, dan saya mengatakan bakal mengkonfirmasikan tulisan tersebut terlebih dahulu kepada yang bersangkutan. Tetapi perjanjian ini terpaksa akan saya langgar sekarang. Karena tulisan ini sudah terlalu lama mendekam dan hendak terkirim, sementara saya kesulitan hendak mengkonfirmasikan kepadanya. Lewat pesan singkat dia cuma berkata,"..ya nanti saya pasti baca..". Gitu doang. Yo wis. Nekad, show must go on.
 
Orang ketiga adalah orang eksentrik, pemberani ulung. Bersama dia, saya menghadapi banyak situasi dan manusia dengan tanpa takut, dan --catat--  tanpa beradu fisik. Itu hebatnya dia. Melewati sarang preman --sedang berjudi lagi, dan kami lewat di tengah - tengah mereka--, rombongan pemabuk, pengedar obat bius, atau apapun, dia mengerti situasi. Masuk hotel berbintang atau pejamuan resmi, dia percaya diri walau hanya mengenakan kain sarung.
 
Dia bersahaja dan sangat menguasai situasi. Mau dan cepat mempelajari detil lingkungan. Dia tau detil sampai merek rokok yang sedang dijepit jari preman pasar. Saya ketakutan, boro - boro lihat merek rokoknya. Kami berdua menyukai kisah - kisah detektif Sherlock Holmes, tetapi dia menerapkan dalam keseharian. Dia pintar dalam berbagai hal, tetapi kabarnya pernah  tidak naik kelas ketika sekolah dulu.
 
Dia seakan bisa menjadi tukang pukul, menjadi aparat, bisnisman, atau ustadz sekalipun.
"Dalam ukuran jaman nabi Muhammad, bisa jadi kita lebih kafir dibanding orang kafir jaman itu. Jangan sombong dengan ritual ibadahmu hingga memaksa kamu mengaku - ngaku sebagai orang beriman. Terlalu jauh. Kita adalah penghuni neraka...", gitu ujarnya suatu kali. Saya tersadar. Kata - kata itu benar adanya. Ya, saya masih terlalu 'satanik'. Dia mengajarkan kepada saya tentang apa - apa yang tidak dianjarkan oleh orang lain. Karena dia memang memandang dunia ini dari sudut pandang yang berbeda dengan orang kebanyakan. Dan dia memandang dengan teliti. Itulah untungnya saya mengenal dia. Diantara kepulan asap rokoknya, mulutnya melontarkan keresahan Albert Camus, pernyataan menyengat orang yang berputus-asa, dan kebijakan Zen. Campur seperti soda gembira yang dia bayar buat minum saya, suatu malam.
 
Dia tertarik kepada hal - hal besar maupun kecil. Pernah suatu hari dia bertanya soal koleksi lagu - lagu Led Zeppelin ke saya. Saya keheranan, ngapain dia tanya soal yang diluar otaknya. Saya tau dia nggak perhatian soal musik. "Saya bingung, seperti apa sih Led Zeppelin itu. Kok konser reuninya sampai heboh dan peminat pendaftaran beli tiketnya hingga jutaan orang. Sebesar apakah Led Zeppelin itu, se-istimewa apa karyanya, saya pengen tau sehingga dia bisa mengguncang dunia seperti itu...", gitu alasannya.
 
Salah satu cirinya adalah dia jarang menulis. Kemampuan bahasa tulisannya payah. Dia hanya sering membaca --apapun, bahkan mungkin sehari dia melahap lima judul koran-- dan pada akhirnya mengutip ujaran orang - orang terkenal, dan di cobanya sebagai 'perangkap'. Namun saya jarang terperosok ulah dia ini. "Ris, kamu selalu berusaha mendebat dan menukas dengan caramu sendiri. Sementara saya hanya sering mengutip...", kilah dia lewat pesan pendek ke ponsel saya. [] haris fauzi - 5 februari 2008


salam,
haris fauzi
 


Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.

1 comment:

Anonymous said...

katanya, orang itu dilihat dari dengan siapa dia bergaul. dari siapa teman2nya. kamu beruntung memiliki teman yang beraneka ragam dan berperan dalam "melengkapi" kita. But most of all, the way you "value" them is really wonderful.

(udah kaya cerita fiksi saja temen2 kamu... ;)

rgds,
bi