Wednesday, April 02, 2008

kenisah : yang dijanjikan

YANG DIJANJIKAN
 
Masih belum terlalu rapuh untuk terlupa, masih pula tepian kata belum berjumpa. Sepuluh tahun lalu, katanya di mulai masa reformasi untuk bangsa ini. Benar kata Goenawan Mohamad, reformasi kala itu memang merubah, tetapi tidak menjanjikan sesuatupun. "Siapa yang berjanji ?". Kepalang basah. Sekarang sebagian mulut sudah berteriak mengerang menagih janji yang sebenarnya tidak ada itu. Mereka kini menuntut, menuntut, dan membakar. Sejatinya reformasi yang terjadi hanya merubah. Namun perubahan ini sebenarnya memberikan harapan, walau kecil. Mengumpan harapan, bukan menebar janji. Tidak harus tinggal diam. Ini hidup yang terus bergerak, terus berupaya.
 
Dalam tataran yang lebih realistis, ada beberapa bait yang selalu tertuang dalam prasasti dasar  sebuah organisasi atau perusahaan. Harapan dan target organisasi. Apakah itu janji ? Sekali lagi bukan. Dalam konteks ini, saya lebih condong untuk menyebutnya dengan harapan akan perubahan, dan perubahan menuju yang diharapkan. Berubah menuju target yang dicanangkan. Dalam realitas, janji boleh diumbar, tetapi harapan adalah sesuatu yang bisa menjadi  kenyataan, lebih realistis.
 
Selayang pandang, hampir sepuluh tahun lalu saya menikah. Langkah awal menyusun keluarga dengan seorang gadis yang saya pilih dengan keterhati-hatian yang berlebihan, kuatir mengecewakan orang tua dan sesepuh keluarga. Dengan tertatih - tatih, dengan mata tajam, saya menyampaikan niat saya kepada keluarga tentang gadis pilihan saya. Pramida Wardhani, wanita Solo. Saya berusaha agar pilihan saya, pacar saya, satu - satunya dan pertama kali,  mampu menembus opini dan bisa diterima oleh para sesepuh. Apa yang menjadi kehendak saya tidak harus gagal kali ini.
Bingo. Dan saya menikahinya. Apakah menikah berarti mengikat janji ? Apa yang dijanjikan dalam sebuah prosesi pernikahan? Itu adalah istilah orang kebanyakan, itu adalah lagu - lagu cengeng. Bagi saya tidaklah seperti itu. Hanya ada janji formalitas, dan kebetulan saya bukanlah pemuja formalitas. Saya akan menumpukkan formalitas itu dalam sebuah peti yang berdebu. Selebihnya adalah perubahan, seperti reformasi itu sendiri. Perubahan status, dan harapan untuk membentuk keluarga. Janji ? Kau menyingkirlah dari hadapanku. Aku hanya menapak dalam makadam harapan, karena langkah - langkah ini hendak melaju sesuai perubahan kali itu.
 
Sepertinya kali ini saya terlalu antipati dalam menyikapi sebuah janji. Halal dan sah anda berpendapat demikian. Memang saya berusaha untuk mensinisi janji, karena janji itu membelenggu. Bila sudah dijanjikan, sepertinya kita akan meletakkan seluruh hidup kita pada janji tersebut. Lantas nenanti, dan menanti. Dengan wajah bodoh. Sebuah budaya yang mungkin tidak kita sadari.
 
Seluruh pusaran derai janji adalah lipstik, yang selalu hendak dinampakkan di depan, namun seringkali diingkari di belakang. Itulah nisbat janji kebanyakan. Bertebaran, namun suatu saat akan terpenggal. Etalase toko kosong. Etalase yang selalu dibersihkan hingga berkilau, namun kehampaan di baliknya. Semakin berkilau, semakin hampa sejatinya.
Seperti pernikahan, seperti reformasi, janji adalah secuil formalitas. Namun, hidup bukan hanya itu. Hidup laksana tenda dengan berjumlah pasak, yang senantiasa hendak tegar, bila tergoyah oleh badai, maka pasaknya bolehlah ditambah. Tak layak bila pasak itu hanya ditancapkan pada sebuah fenomena janji, fenomena lipstik. Yang naifnya, seringkali berkilauan dan menyilaukan mata, menjadikan kita rabun terhadap percik asa yang semakin menjauh tertiup angin.
Suatu kali, seuntai janji memberikan secercah harapan. Bagi saya, yang layak untuk dipandang bukanlah janji, tetapi harapan itu. Harapan laksana cahaya, walau terpantik kecil, namun dia bisa memompa jiwa agar terbangkit. Tidak seperti janji yang malah membodohi.
 
Hidup adalah suatu perjalanan, harus menempuh badai bila memang ada. Berusaha bertahan dengan tapak kaki yang mencengkeram seperti kaki kelinci yang hendak melompat, tercakar tajam ke tanah. Bila kau terjungkal, setidaknya masih ada goresan di tanah yang menjadi saksi. Perjalanannya menempuh jarak yang mungkin panjang, mungkin pula pendek. Menuju lentera asa, lentera harapan.
Seorang Aulia berpesan kepada saya,".....Dalam perjalanan ini, jangan kau tapakkan kakimu kepada mozaik janji yang rapuh, yang hendak retak. Janji itu mozaik kaca yang licin, tak bisa kau jejakkan pesan disana, dan suatu kali akan membuatmu terpeleset dan terluka. Tapakkan saja pada tanah bumi yang dingin, kasar, namun berwujud dan meninggalkan pesan. Tatapkan matamu kepada lentera harapan yang ada.... walau kecil. Jangan kau silaukan matamu dengan kemilau janji - janji yang bertebaran namun membodohi". Aku meminta maaf kepada pengembara itu, aku masih terlalu bodoh. [] haris fauzi - 2 april 2008


salam,
haris fauzi
 


You rock. That's why Blockbuster's offering you one month of Blockbuster Total Access, No Cost.

No comments: