WALK OUT
Though my eyes could see I still was a blind man
Though my mind could think I still was a madman
.....
And if I claim to be a wise man
It surely means that I don't know
Though my mind could think I still was a madman
.....
And if I claim to be a wise man
It surely means that I don't know
("Carry On Wayward Son" - Kansas)
"Mas, tarip jemputan sekolahnya Salma naik", gitu suatu petang istri saya bilang.
"Berapa ?", saya nanya ogah - ogahan.
"Dari dua ratus ribu jadi dua setengah". Maksudnya pasti menjadi dua ratus lima puluh ribu.
"Ya.Oke..masih mending. 'Kan dua puluh lima persen, sementara bensin naiknya tiga puluh persen. Gapapa". Tukas saya.
Begitulah. Salma berangkat sekolah menggunakan fasilitas antar jemput, bareng temen - temennya. Kali ini tarip jemputannya naik. Setelah pembicaraan kami sore itu, tak lama kemudian telpon di rumah tak kunjung berhenti berdering. Sesama orang tua saling telpon untuk memperbincangkan kenaikan tarip jemputan anak tersebut. Ada yang berhitung dan menentukan harga versi masing - masing, namun pada intinya kebanyakan 'berkeberatan' dengan kenaikan tarip tersebut.
Selidik punya selidik, ternyata ada keputusan untuk melakukan aksi "walk out". Maksudnya, para pelanggan jemputan tersebut walk out alias nggak melanjutkan langganan. Pasalnya gara - gara naik lima puluh ribu sebulan.
"Kayaknya tinggal Salma yang gak keberatan dengan kenaikan itu. Ibu - Ibu yang lain pada keberatan dan gak pada ngelanjutin langganan jemputan", gitu papar Istri saya.
Saya spontan tertawa. Menertawakan kecerobohan saya yang gak terlalu peduli dengan kenaikan lima puluh ribu rupiah itu. Yang jelas saya menertawakan Salma. Dalam jemputan itu, Salma terbilang paling sedikit uang jajannya. Salma dalam seminggu bawa uang sangu cuma seribu perak, yang lain ada yang lima ribu sehari.
Saya mencoba berpikir realistis, dan berkaca bilamana saya menjadi pengusaha jemputan itu. Kenaikan harga yang relatif rasional menurut saya. Saya masih mampu juga membayarnya. Dan dalam pandangan saya, menilik dari uang jajan anak - anaknya, menilik dari gonta - gantinya mobil orang tuanya --bahkan ada yang menyindir mobil saya agar segera di ganti karena sudah ketuaan--, menilik dari rumah - rumah mereka yang bahkan ada yang berharga sepuluh kali lipat rumah saya. Saya jadi bingung, mengapa mereka keberatan dengan kenaikan lima puluh ribu rupiah sebulan ? Membuat reaksi walk-out ? Tidak meneruskan langganan dan hubungan yang terjalin baik selama ini ? Ah, entahlah.
Bicara tentang walk-out, minggu lalu ada siaran dialog di televisi, bicara soal aksi mahasiswa kontra kenaikan BBM. Dihadiri banyak mahasiswa, dan beberapa tokoh pemerintah dan kepolisian. Entah kenapa, para mahasiswa yang mengikuti dialog tersebut akhirnya banyak yang walk out keluar studio televisi. Saya lihat presenternya cukup kecewa dengan walk out-nya puluhan mahasiswa itu.
Saya jadi membayangkan, betapa perasaan tetangga saya yang mengusahakan jemputan itu pastilah kecewa. Dari ukuran operasional, dia menaikkan tarif di bawah biaya konsumable yang harus ditanggung. Masih ditambah walk out para pelanggannya. Ah.
Tulisan ini agak beralih. Maaf. Dalam sehari, tukang sayur bergantian lewat bisa lima kali. Mereka kepanasan dan biasanya pake payung atau kerudung handuk. Saya beberapa kali menegur Istri saya supaya jangan terlalu menawar rendah dagangan mereka, "..mereka sudah kepanasan....", dalih saya. Memang kala tulisan ini dibuat para pedagang sayur juga telah menaikkan harga dagangan mereka, sekitar sepuluh persen.
Menurut pengakuan mereka, keuntungan mereka memang turun gara - gara harga kulak naik, dimana kenaikan harga kulak tersebut belum sempat diimbangi dengan kenaikan harga jual mereka. Mereka takut para pelanggan bakal walk-out, karena hal ini membuat dagangan mereka malah gak laku sama sekali. Dan ujung - ujungnya membuat mereka kehilangan mata pencaharian. Keputusan yang bijak, sabar, dan legowo. Para pedagang sayur itu ternyata memiliki jiwa berkorban lebih unggul.
Para pedagang sayur mungkin adalah komunitas yang paling buta terhadap berita dan statistika gejolak ekonomi dan harga yang tidak menentu ini. Namun, mungkin karena ketidak-tahuannya inilah, karena kekurang - tahuannya inilah, saya merasa bahwa merekalah yang paling bijak dalam menyikapi kasus ini.[] haris fauzi - 5 Juni 2008
salam,
haris fauzi
No comments:
Post a Comment